Oleh Ali Damsuki*

 

Propaganda negatif yang terjadi selama ini memang sudah merajah di berbagai lini masyarakat. Hal ini juga didukung dengan kemajuan teknogi era modern. Propaganda negatif ini berimplikasi pada sekte-sekte yang tidak sepakat pada sebuah kebhinekaan. Hal ini tentu kontra dengan ideologi bangsa Indonesia sebagai negara pancasila. Berbagai macam polemik seperti perpecahan antar golongan dan ujaran kebencian melalui media sosial pun mulai terlihat. Inilah salah satu wajah negara kita yang penuh dengan intrik perpecahan antar golongan, agama, suku, ras, dan budaya.

Dewasa ini pemberitaan tentang terorisme dan radikalisme telah booming di berbagai media, baik media cetak maupun online. Pada hari Jumat 10 Maret 2017, terjadi pelaporan tentang warga Indonesia oleh Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Sudan dan Eritrea kepada Badan Nasional Penanggulan Teroris (BNPT). Dalam pelaporan tersebut terdapat dua mahasiswa asal Indonesia  yang ditangkap oleh aparat setempat disebabkan oleh pelibatan secara langsung dengan kelompok pendukung ISIS di Sudan.Kedua orang tersebut merupakan mahasiswa Indonesia yang berasal dari kalangan menengah ke bawah yang dikiri oleh Yayasan dari Indonesia dengan media “iming-iming” beasiswa untuk memasuki Perguruan Tinggi (nasional.sindonews.com).

Pergolakan pemikiran dan doktrinisasi era modern memang mudah untuk menyelinap dalam pikiran kaum muslimah yang lemah. Kondisi ini dapat kita lihat pada masyarakat muslim  yang sebagian besar mengikuti Ormas berbasis Jihad. Gerakan-gerakan yang digalakan saat ini cenderung pada paradigma fundamentalis.  Sehingga  mengaplikasikan “Jihad” justru keluar dari koridor dan identik dengan “kekerasan”.

Konsepsi Jihad dalam Islam tidak secara kaku dimaknai dengan “kekerasan”. Sebab dalam Islam konsep ini memliki relevansi dengan term “fi sabililillah” (berjuang di jalan Allah Swt). Orang yang beriman diperintahkan untuk berjuang dengan harta (mal) dan jiwa (nafs) karena Allah Swt.  Namun era-modern sekarang ini, konsep tersebut hanya dimaknai secara kaku dengan mengaitkan satu makna sebagai “sebuah perjuangan dengan jiwa atau peperangan”. Hal ini sangat tidak relevan dengan kondisi Indonesia saat ini dengan ideologi pancasila dengan pluraslime_nya.

 

Islam Nusantara

Al-Mawdudi (1972) medeskripsikan Islam sebagai sebuah ideologi revolusioner yang bertujuan mengubah tatanan sosial dan membangunnya kembali berdasarkan ideologinya sendiri. Dalam hal ini Jihad dapat diaplikasikan dengan frase “amar ma’ruf nahi munkar”. Dalam Alquran surat Ali Imron : 104, “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Qs. Ali Imron: 104).

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (agama bagi semua umat di dunia), hal ini tentu tidak menjadi sebuah dualisme dalam negera Indonesia sendiri sebagai negara Pancasila. Walaupun Di Indonesia,  Islam merupakan agama dengan jumlah terbesar dibandingkan agama lainnya. Multietnik Indonesia menjadi sebuah keberagaman, agar saling menghargai dan toleran. Hal ini dijelaskan dalam Alquran surat al-Hujurat : 13, “Allah swt menciptakan manusia berbagai macam jenis, laki-laki dan perempuan, berbagai macam suku, antar golongan, ras agar saling mengenal”.

Dalam doktrin keberagaman, Islam nusantara perlu diaplikasikan dalam konsep negara Indonesia yang berideologi Pancasila. Menurut paradigma Azyumardi Azra dalam bukunya “Cendekiawan Muslim Indonesia”, menjelaskan tentang apa sesungguhnya makna terdalam dari konsep Islam Nusantara. “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter Wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global”.

Ekspektasi besar pada negara Indonesia sangat menghargai masyarakat pluralis. Semoga dalam paradigma ini dapat menumbuhkan sikap toleransi umat beragama yang dapat didasarkan pada nilai-nilai ke-Islaman dan Pancasila. Kedua ideologi tersebut mampu membentuk negara Indonesia sebagai tendensi kuat dalam menciptakan keberagaman dalam konteks-konteks tertentu sesuai dengan koridornya. Berbagai macam problematika terkait isu SARA yang kini kian booming dapat diminimalisir secara intens. Semoga Indonesia mampu menciptakan masyarakat yang satu dalam memajukan negara dengan nilai-nilai Islami dan Pancasila. Wallahu’alam bi As-Shawab.

 

*Penulis adalah Mahasiswa Program Megister UIN Walisongo Semarang, Pengajar di Darul Afkar Institute Semarang.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry