Oleh: Nadirsyah Hosen

Rasulullah bersabda:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan, “Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah’, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka lakukan itu maka mereka telah menjaga darah dan harta dariku kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka diserahkan kepada Allah.”

Bagaimana memahami Hadits di atas? Benarkah Rasulullah hendak memerangi semua orang agar mereka tunduk dan takluk sehingga masuk Islam? Dengan kata lain benarkah Islam disebarkan dengan pedang dan memaksa orang memeluk Islam? Bagaimana konteks pernyataan Rasul itu agar sesuai dengan ayat  “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS.2:256)?

Kita bahas pelan-pelan yuk, sambil menyampaikan shalawat dan salam kepada junjungan kita Rasul yang mulia Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.

Pertama, Hadits di atas itu memang Hadits sahih, terdapat di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dan berbagai kitab Sunan (kecuali Ibn Majah) dengan berbagai redaksi.  Tapi kita harus memahami konteks Hadits itu seperti penjelasan para ulama. Konteks ini yang sering tidak dipahami kalau kita hanya membaca teks (terjemahan)  semata. Hadits tersebut muncul setelah turunnya perintah perang dalam surat al-Taubah, yang ditujukan kepada kaum musyrikin. Jadi konteks Hadits ini dalam suasana peperangan, bukan dalam suasana normal.

Itu sebabnya Ibn Hajar dalam kitabnya Fathul Bari mengatakan Hadits ini dipakai untuk menafsirkan QS al-Taubah;5: “Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang  musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jadi, konteks ayat dan Hadits ini Nabi diperintah untuk memerangi kafir harbi musyrikin yang mengancam eksistensi komunitas Islam, bukan untuk ahlul kitab yang sudah terikat perjanjian damai dan membayar jizyah. Ini disebabkan kata “manusia” dalam Hadits di atas dipahami oleh para ulama dalam makna khusus (al-‘am alladzi urida bihi al-khas) yaitu musyrikin. Itu sebabnya dalam redaksi Sunan al-Nasa’i (hadits nomor 3903) dipakai kata musyrikin bukan manusia: “umirtu an uqaatila al-musyrikin”. Ini namanya Ibn Hajar sedang mengajarkan kita untuk memahami satu Hadits dengan Hadits lainnya.

Kedua, memerangi itu bukan berarti membunuh. Ibn Daqiq al-Id (1228-1302) dalam kitabnya Syarh al-‘Umdah menjelaskan panjang lebar menolak paham yang hendak membolehkan membunuh mereka yang tidak shalat dengan memakai Hadits di atas secara keliru. Alasannya bentuk muqaatalah berasal dari wazan mufaa’alah yang mengharuskan adanya interaksi dari kedua belah pihak, yaitu saling memerangi. Sedangkan kata al-qatlu tidak seperti itu.

Argumen Syekh Daqiq al-‘Id, seorang ulama besar mazhab Syafi’i yang maqamnya pernah saya ziarahi di Mesir, ini berpijak pada pengunaan teks. Itulah sebabnya selain tidak bisa mencerabut konteks hadits kita juga tidak bisa mengandalkan terjemahan semata. Bahasa Arab juga harus kita pelajari biar lebih josss. Pemahaman teks dan konteks di atas juga dikuatkan dengan narasi Baihaqi yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i:

‎لَيْسَ الْقِتَالُ من الْقَتْل بسبيل فقد يَحِلُّ قِتَالُ الرَّجُلِ وَلَا يَحِلُّ قَتْلُهُ

“Perang tidaklah sama dengan membunuh karena boleh jadi kita dibolehkan memerangi seseorang tapi tidak boleh membunuhnya”.

Kedua, perdebatan Hadits ini muncul pada masa khalifah Abu Bakar disaat beliau hendak memerangi kaum yang enggan bayar zakat. Kenapa mereka enggan? Dulu pada masa Nabi mereka membayar zakat dan setelah itu Nabi mendoakan mereka sesuai ayat:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Taubah: 103).

Doa Nabi itu makbul makanya mereka senang membayar zakat karena bakal didoakan Nabi. Begitu Nabi wafat dan digantikan Abu Bakar sebagai khalifah, mereka merasa doa Abu Bakar belum tentu makbul seperti doa Nabi, akhirnya mereka menolak membayar zakat. Abu Bakar murka. Sayyidina Umar mengingatkan Khalifah Abu Bakar akan Hadits Nabi ini bahwa kita tidak boleh memerangi mereka yang sudah baca syahadat.

Khalifah mengatakan karena mereka memisahkan kewajiban shalat dan zakat sehingga enggan bayar zakat maka syarat dalam Hadits ini tidak berlaku kepada mereka, dan karenanya wajib diperangi.

Bagi Abu Bakar ini adalah pembangkangan terhadap perintah agama dan juga terhadap pemerintah, maka Abu Bakar berketetapan memerangi mereka: “Sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat”. Umar kemudian setuju atas tindakan khalifah Abu Bakar.

Abu Bakar memang memerangi mereka yang tidak mau bayar zakat dengan tujuan memaksa mereka menjalankan kewajiban, bukan untuk membunuh mereka. Ibn Hajar menegaskan: “dalam konteks ini tidak ada riwayat satupun yang menunjukkan Abu Bakar membunuh mereka yang menolak membayar zakat”. Sekali lagi, memerangi tidak sama dengan membunuh.

Tafsir Ibn Katsir mengutip pernyataan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam:

‎وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ: أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ الصَّلَاةَ إِلَّا بِالزَّكَاةِ وَقَالَ: يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا بَكْرٍ مَا كَانَ أَفْقَهَهُ

“Allah tidak mau menerima salat kecuali dengan zakat. Dan ia mengatakan, ‘Semoga Allah merahmati Abu Bakar, alangkah mendalam pemahaman fiqihnya.'”

Itulah konteks spesifik penggunaan Hadits di atas oleh Abu Bakar, bukan dalam arti memerangi semua manusia sampai mereka memeluk Islam, sebagaimana yang dipahami sebagian kalangan untuk melegetimasi meneror, membunuh dan mengebom orang lain atas nama dakwah Islam.

Ketiga, sesuai konteks penerapan Hadits tersebut oleh Khalifah Abu Bakar justru dipahami oleh para ulama: barang siapa yang sudah mengucapkan syahadat, shalat, zakat, maka mereka orang Islam, dan tidak boleh diperangi karena darah dan kehormatan mereka terjaga. Perkara apakah keimanan dan ibadah mereka benar atau tidak, itu urusan Allah. Jadi, Hadits ini bukan bermakna harus memerangi semua manusia sampai masuk Islam.

Wa hisabuhum ‘alallah (hisab mereka diserahkan kepada Allah). Menurut Ibn Hajar kalimat ini bermakna:

‎وَقَدْ تَقَدَّمَ مَا فِيهِ وَيُؤْخَذُ مِنْهُ تَرْكُ تَكْفِيرِ أَهْلِ الْبِدَعِ الْمُقِرِّينَ بِالتَّوْحِيدِ الْمُلْتَزِمِينَ لِلشَّرَائِعِ وَقَبُولُ تَوْبَةِ الْكَافِرِ مِنْ كُفْرِهِ مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ بَيْنَ كُفْرٍ ظَاهِرٍ أَوْ بَاطِنٍ

“tidak boleh mengkafirkan mereka yang dianggap berbuat bid’ah, yang masih mengikrarkan tauhid dan melaksanakan syariat, dan menerima taubatnya orang kafir terlepas itu dilakukan secara zahir atau batin.”

Jadi, jangan hanya karena saudara-saudara kita kalian anggap berbuat bid’ah terus dikafir-kafirkan dan diancam mau dibunuh. Bukan begitu pemahaman yang benar menurut Ibn Hajar, ulama besar yang diakui otoritasnya dalam men-syarah-i kitab Shahih Bukhari. Ini bukan penjelasan model ustadz dadakan di medsos yang tidak jelas sanad keilmuannya.

Kesimpulan pembahasan kita ini: para ulama membahas penggalan pertama Hadits ini dalam konteks peperangan melawan kaum musyrikin seperti diatur dalam QS al-Taubah: 5, bukan dalam suasana damai. Penggalan Hadits berikutnya dipahami para ulama dalam konteks tidak boleh menumpahkan darah sesama Muslim kecuali dengan alasan yg dibenarkan agama karena darah dan harta orang Islam itu harus dijaga. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.

Penulis adalah Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry