DUA MASALAH: Pertama status Ahok sudah terdakwa. Kedua prosesi serah terima jabatan Gubernur DKI dilakukan sebelum masa habis kampanye. Akankah ini diperhatikan oleh pemerintah? (FT/lip.6)
DUA MASALAH: Pertama status Ahok sudah terdakwa. Kedua prosesi serah terima jabatan Gubernur DKI dilakukan sebelum masa habis kampanye. Akankah ini diperhatikan oleh pemerintah? (FT/kmps)

JAKARTA | duta.co – Mulusnya Basuki (Ahok) Tjahaja Purnama kembali menduduki jabatan Gubernur DKI Jakarta, dinilai banyak pengamat hukum sebagai musibah besar tegaknya keadilan. Kebijakan Presiden Jokowi membiarkan Ahok lenggang kangkung menjadi gubernur, dianggap sama dengan memberangus keadilan. Sementara bagi pejabat lain, kebijakan pemberhentian sementara – mengacu Pasal 83 ayat (1) UU tentang Pemerintahan Daerah  — sudah banyak makan korban.

Ada perdebatan menarik antara Prof Dr Mahfud MD dengan Todung Mulya Lubis, yang beredar di WhatsApp. Dalam pandangan Mahfud MD, Ahok seharusnya diberhentikan sementara sesuai dengan Pasal 83 ayat (1) UU tentang Pemerintahan Daerah. Pasal ini sudah diterapkan kepada pejabat-pejabat lain.

“Bang Todung, dulu ketika UU dibuat sudah didiskusikan tanpa demonstrasi dan belum ada perkara Ahok, juga sudah diterapkan kepada yang lain,” begitu keluh Mahfud. Artinya, Pasal 83 ayat (1) UU tentang Pemerintahan Daerah mestinya juga diterapkan kepada Ahok. Kalau tidak, ada apa? Mengapa Ahok begitu istimewa di depan hukum?

Apa yang disampaikan Mahfud MD sebagaimana terkutip di atas, ditanggapi oleh Todung Mulya Lubis. “Debat soal Ahok apakah musti dinonaktifkan atau tidak tak bisa dilakukan dalam iklim politisasi yang didorong oleh demonstransi dan tekanan massa,” tulis Todung.

Jawaban Todung ini terasa lucu dan aneh. Bukankah justru dalam kondisi krusial seperti ini, hukum harus ditegakkan. Kalau pun harus ada perdebatan, mengapa tidak, ini demi kesamaan semua orang di depan hukum. Bukankah Pasal 83 ayat (1) UU tentang Pemerintahan Daerah sudah makan korban.

Masih ingat kita, bagaimana garangnya pasal ini menghadapi Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi. Ia langsung diberhentikan, sebelum jadi tersangka dalam kasus narkoba. Bahkan dalam kasus ini, sikap tegas Mendagri dinilai di luar kelaziman, karena lazimnya kepala daerah diberhentikan sementara setelah menyandang status terdakwa.

Begitu juga yang diterapkan kepada Wakil Wali Kota Probolinggo HM Suhadak. Ia diberhentikan sementara oleh Mendagri Tjahjo Kumolo pada 22 November 2016 setelah menjadi terdakwa kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2009. Kalau yang lain hukum (Pasal 83 ayat (1) UU tentang Pemerintahan Daerah) ditegakkan, mengapa tidak untuk Ahok?

Perdebatan makin melebar. Anggota DPR RI belakangan sudah mulai kasak-kusuk mempersoalkan ketidakadilan ini. Bahkan, belakangan beredar secara massif, pendapat  Ferdinand Hutahaean, mantan pendukung kuat Presiden Jokowi. Ferdinand membuat judul bombastis: Aktifkan Ahok, Pemerintah Menantang Amarah Rakyat.

“Berulang kali sudah rejim ini diberikan masukan dan kritik oleh pihak-pihak yang mencintai bangsa ini dan mencintai tegaknya aturan. Namun tampaknya rejim pimpinan Jokowi ini sudah tuli dan hanya beretorika dengan kata-kata semata. Kesan yang diumbar rejim seolah ingin mengajak semua pihak untuk membangun  negeri ternyata isapan jempol yang membodohi,” tulisnya.

Catatan yang dibuat pada hari Sabtu 11 Februari 2017, bertepatan dengan kembalinya Ahok menjadi gubernur itu,  juga mengkritisi semangat mengembalikan Ahok. “Masa kampanye berlangsung sampai tanggal 11 Februari 2017, artinya bahwa kampanye masih berlangsung hingga pukul 24.00 nanti malam. Masih tersisa sekitar 8 jam lagi masa kampanye, namun Ahok sudah diaktifkan kembali,” katanya.

Menurutnya, ada kekeliruan yang sangat fatal dilakukan oleh rezim Jokowi dalam skandal pengaktifan kembali Ahok ini. Yang pertama, Ahok diaktifkan kembali sebagai Gubernur di sela waktu kampanye yang belum berakhir. Yang kedua, Ahok diaktifkan kembali sebagai Gubernur dengan melanggar UU Pemerintahan Daerah No 23 Tahun 2004 khususnya pasal 83 ayat 1 yang berbunyi bahwa setiap kepala daerah yang telah menjadi terdakwa dengan ancaman hukuman 5 tahun wajib diberhentikan sementara.

Apa pun alasannya, tegas Ferdinand, argumen yang digunakan oleh Pemerintah untuk membenarkan kesalahan fatal pengaktifan kembali Ahok hanyalah argumen yang membodohi logika dengan cara bodoh. Dalam UU 23 tahun 2004 tersebut secara jelas dan terang, tidak bisa ditafsirkan lain karena dalam penjelasan UU tersebut juga tertulis cukup jelas. Artinya 2 faktor penyebab kepala daerah wajib diberhentikan sementara yaitu menjadi terdakwa dan diancam 5 tahun sudah terpenuhi. Ancaman hukuman dalam KUHP pasal 156a sebagai dakwaan primer yaitu 5 tahun, Ahok sudah menjadi terdakwa sejak dakwaan dibacakan Desember 2016 lalu.

“Lantas, alasan dan logika apa yang digunakan rejim Jokowi ini untuk mengaktifkan Ahok? Saya tidak habis pikir kecuali penerintah menggunakan logika tidak waras,” jelasnya.

Ia melihat pengaktifan Ahok ini patut diduga sebagai keberpihakan rezim berkuasa kepada Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini. Pemerintah tidak netral karena tidak melaksanakan UU secara lurus dan benar. Pemerintah malah mensiasati UU demi kepentingan politik sesaat.

“Presiden dalam hal ini dapat dimakzulkan karena dengan sengaja dan secara sadar melanggar UU. Presiden telah melanggar sumpah jabatan yang harus menjalankan Undang-undang selurus-lurusnya. Presiden melanggar konstitusi dan layak diberhentikan dari jabatannya,” begitu pendapat Ferdinand.

Sayang, sampai berita ini diturunkan, wartawan duta.co belum berhasil mengontak Ferdinand untuk melakukan konfirmasi terhadap tulisan tersebut. (hud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry