Oleh: Suparto Wijoyo

ERUPSI Gunung Semeru di Lumajang (4/12) telah memberikan pengabaran duka lara tiada terkira. Berpuluh jiwa melayang dan ribuan lagi merasakan keperihan atas luka dan rusaknya harta benda. Debut abu vulkanik menghempas nafas rakyat dan deras air mata  tidak terbendung adanya. Prahara ini memang nyaris serupa dengan erupsi gunung api yang lazim terjadi di dunia.   Ragam peristiwa erupsi memang sering menggelegak  di ruang cincin api aktif. Hal ini tidak hanya di Semeru. Erupsi Gunung Kusatsu-Shirane, Jepang;  erupsi Gunung Mayon, Filipina, maupun erupsi Gunung Agung, Bali.

Dalam lingkup ini jangan sampai ada gerutu menyesali diri tinggal di negeri ini.  Ungkapan yang acapkali terlontar bahwa negara ini rawan erupsi, banjir, gempa, longsor, bahkan diumpamakan sebagai “pasar bencana”.   Ketahuilah bahwa erupsi tidaklah berarti  “kutukan”. Tulisan Lawrence Blair dan Lorne Blair yang mengintrodusir Indonesia ada dalam lingkaran api (Ring of Fire) bukanlah pernyataan yang harus didramatisir. Justru  penuh pesan bahwa  wilayah pegunungan api adalah tanah subur yang dikreasi penuh keseimbangan oleh Tuhan. Hanya rumpun geografis demikianlah yang menjanjikan kemakmuran, karena “tarian erupsi” itu sejatinya “lembah ilmu” agar manusia terpanggil menjaga alam. Buku Mark Heyward Crazy Little Heaven (2018) menguatkan sungging senyum syukur itu, karena pesona  surga,  tetaplah di ring of fire.

Cincin Api ini memanjang 40.000 km yang membentang dari Selandia Baru melewati Indonesia, Jepang, Amerika Utara sampai Amerika Serikat. Untuk itulah letusan gunung api di Indonesia kian sering terjadi dan diterima sebagai “tradisi” yang acapkali “menyapa”.   Sejatinya sebuah letusan gunung (termasuk Semeru) adalah sejuta pengharapan atas nikmat Tuhan. Tentu negara harus menata secara organisatoris agar letusan tidak menjadi “kesengsaraan” dengan korban jiwa, harta dan benda.

Bangsa Indonesia terus belajar agar “terlatih” menghadapi dan menyikapi   erupsi. Kampung berselimut lumpur vulkanik seolah terjadi  tanpa proposal permohonan. Kini  mata dan hati warga negara terketuk tertuju ke Lumajang untuk selanjutnya tergerak membantu dalam kesetiakawanan tanpa tepi.  Semeru melahirkan duka  yang  ternyata mampu memupuk kembali persaudaraan anak bangsa. Sengsara itu sejatinya membangunkan optimisme menjadikan erupsi sebagai literasi pembangunan nasional. Erupsi Semeru membuat negara banyak belajar dan warga mencoba mendengar suara alam lebih khidmat. Bukankah setiap “bencana alam” dapat dijadikan sebagai madrasah?

Negara yang memberi amanat melalui Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah” harus tampil terdepan mengelola bencana.  Setiap kejadian dalam manajemen negara dan dunia pendidikan  niscaya dapat menjadi resources penting lahirnya ilmu kebencanaan dengan segala perangkatnya, termasuk aspek yuridisnya, sehingga erupsi tidak semata-mata berarti disaster atau catastrophe.

Di Indonesia tercatat bahwa 157 juta jiwa rakyat Indonesia tinggal di daerah rawan bencana. Data informatif ini sungguh membuat tertegun, dan bukan decak kagum. Angka yang mendengungkan lolong kekhawatiran yang mengerikan apabila tidak segera diberi solusi. Ratusan juta jiwa yang terancam bencana merupakan tata nyawa yang harus diselamatkan negara, agar negara bermakna adanya. Sejak gempa yang diikuti tsunami di Aceh pada 2004, gempa  ternyata     berulang setiap tahun di Sumatera. Hal ini akan membuat negara beranjak lebih sigap dan rakyat pun mudah bergerak mengevakuasi diri.

Publik tidak hendak menyaksikan 157 juta jiwa itu menjadi angka statistik yang diantrikan nyawanya dalam helatan bencana.  Seluruh sendi  negara ini sudah sedemikian  gamblang bertutur mengenai bencana, berikut anggaran dan dasar hukumnya.  Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki otoritas untuk menjaga warganya terhindar dari bencana. Setelah memetakan daerah rawan bencana,  negara wajib  meredesain kawasan permukiman maupun  membuat road map kebencanaan dan mengkonstruksi infrastruktur yang   sesuai  dengan kondisi alamnya. Warga yang berada dalam koridor rawan bencana akan mudah melakukan mitigasi karena mendengar suara alam lebih jernih, dan beradaptasi dengan realitas alam yang telah dipetakan.

Belajar pada referensi tua sekaliber Desa Warnnana atau Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) maupun Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389) dapat diketahui bahwa untuk mengatasi bencana itu diawali dari tingkat wilayah negara terkecil, yaitu desa. Setiap kampong di Aceh, Desa di Jawa atau Nagari di Sumatera, sudah semestinya ada peta kebencanaan, sehingga setiap jengkal teritori negara terdapat papan informasi tata ruang sedasar dengan status alamnya. Selama langkah ini tidak dilakukan, saya khawatir ada yang sedang mengundi nasib  menjadi persembahan bencana.

Dalam lingkup inilah, seluruh warga negara mutlak sadar bahwa erupsi juga hakekat untuk memperoleh kekuatan.  Thomas L. Friedman dalam buku The World Is Flat  juga  mengisahkan tulisan temannya, Jack Perkowski,   yang menuliskan pepatah Afrika pada lantai pabriknya: Setiap pagi di Afrika seekor gazelle (kijang) terjaga/Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari singa tercepat atau ia akan mati/Setiap pagi seekor singa terjaga/Ia tahu bahwa ia harus bisa mengejar gazelle terlambat atau ia akan mati kelaparan/Tidak peduli apakah kamu seekor singa atau seekor gazelle/Ketika matahari terbit, kamu harus mulai berlari.

Terus berulangnya tragedi akibat gunung api yang rajin “bersilaturahmi” di berbagai titik geografis, yakinlah semua ada hikmah agar negara semakin berkhirmat. Dalam batas ini, keterjagaan negara adalah opsi tunggalnya.  Siapapun yang memanggul amanat negara, pastilah terpanggil   membangun wilayah yang berkeselamatan. Pray for Semeru.

*Akademisi Hukum Lingkungan dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga a

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry