Keterangan foto kompas.com/antara

“Fakta, PT 20% membutuh biaya mahal. Adanya cost politik tinggi membuka peluang politik transaksional. Ini acap kali berujung pada perilaku korupsi besar-besaran.”

Oleh Holili*

MENARIK! Semangat juang Ketua DPD RI H LaNyalla Mahmud Mattaliti, menghapus angka presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) menjadi 0%, sangat menarik kita ikuti. Apalagi, perbincangan soal presidential threshold (PT) 0% ini telah menjadi perbincangan serius, utamanya bagi sosok LaNyalla Mahmud Mattaliti.

Perbincangan itu akhir-akhir ini kembali mendapat sorotan, terlebih beberapa kalangan yang kembali menyuarakan dan menyetujui terhadap wacana tersebut. Bukan cuma politisi, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri juga menyampaikan hal yang sama.

Menurut Firli, seharusnya ambang batas syarat calon presiden atau presidential threshold bukan 20 persen, melainkan 0 persen. Pandangan Firli diamini Wakil Ketua Umum DPP Demokrat Benny Kabur Harman. Ia ikut merespons dengan menyatakan sepakat.

Dia bahkan yakin, Presiden Jokowi juga akan setuju dengan PT 0 persen. Menurut Benny, banyak yang bertanya terhadapnya mengenai sikap Jokowi terkait dengan usul Firli soal PT 0 persen ini. Meski dirinya tak tahu pasti, Benny memprediksi Jokowi pasti setuju dengan usul ini.

Tentu, LaNyalla menyambut baik respon ini. Baginya, berlaku juga bagi beberapa kalangan yang setuju terkait PT 0%, karena PT 20% tidaklah datang dari kehendak rakyat. Stetmen demikian diperkuat dengan hasil survei yang dilakukan oleh Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI).

Survei pada masyarakat Jawa Timur, dengan melibatkan responden sebanyak 1200 orang yang tersebar di 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur ini, menghasilkan sebanyak 80,4% masyarakat Jawa Timur menginginkan presidential threshold 0%. Adapun respon terdiri dari orang yang memiliki hak pilih dalam Pemilu. Hal ini disampaikan oleh Baihaki Sirajt dalam acara reses di Surabaya, Jawa Timur (17/12/21).

Hasil survei tersebut tentu sangat patut mendapat apresiasi, termasuk dari LaNyalla. Dengan adanya hasil survei ini cukup memperkuat pendapat LaNyalla bahwa PT 20% itu bertentangan dengan kehendak rakyat. Alih-alih mendukung, elemen masyarakat malah semakin masif menyuarakan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait presidential threshold.

Praktek Korupri

Adapun dasar konstitusi presidential threshold 20% yang banyak mendapat pertentangan oleh banyak kalangan, terdapat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 222.

Perjuangan LaNyalla mengubah presidential threshold 0% pantas mendapat acungan jempol. Bagaimana tidak, setelah sebelumnya banyak gugatan terkait presidential threshold terhadap Mahkamah Konstitusi tertolak. Gugatan ini kembali muncul melalui LaNyalla. Karena menurutnya, selain tidak berasal dari kehendak rakyat, juga menciderai demokrasi, bahkan merusak kedaulatan rakyat Indonesia (detik.com).

Faktanya, presidential threshold 20% membutuh biaya cukup mahal. Adanya cost politik tinggi ini sekaligus membuka peluang adanya politik transaksional yang acap kali berujung pada perilaku korupsi.

Sementara, realisasi terhadap presidential threshold 0%, jika saja ini berjalan akan berdampak pada cost politik yang relatif rendah. Adapun cost politik rendah berpeluang untuk menutup, atau paling tidak menekan politik transaksional yang berujung pada perilaku korupsi.

Perilaku korupsi tentu merupakan musuh bersama yang harus segera tertangani. Kerugian dari perilaku korupsi tidak hanya membebani negara, tapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data hasil laporan Indonesian Coruption Watch (ICW, 2021), bahwa kerugian negara akibat korupsi pada tahun 2021 mencapai 26,8 triliun. Jumlah ini meningkat 47,63% kalau kita bandingkan tahun lalu yang berkisar pada angka 18,17 triliun.

Meski tidak bisa terbantahkan, bahwa perilaku korupsi tidak hanya ada pada persoalan politik. Dengan kata lain, sekalipun presidential threshold berjalan, lalu berhasil menepis perilaku korupsi politik transaksional seperti tersebut di atas. Tetap saja, hal itu tidak menutup kemungkinan masih adanya perilaku korupsi di sektor-sektor lain. Namun, melalui presidenstial threshold 0%, paling tidak realisasi ini dapat mengurangi perilaku korupsi di Indonesia. Setidaknya ikut memberangus praktek korupsi gila-gilaan. (*)

*Holili adalah Direktur Political Education Center Jawa Timur

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry