Oleh  Hardiyono, SHI, MSi (*)

PILKADA DKI Jakarta telah usai. Gubernur baru pun mulai bekerja menjalankan roda pemerintahan. Namun, persoalan ternyata belum selesai. Di grass root dan media sosial, “perang udara” masih terjadi. Isu-isu terkait suku, agama, dan ras masih menjadi sarana yang efektif untuk mendiskreditkan sejumlah kelompok.

Inikah hasil dari pemilihan kepala daerah ? Lalu bagaimana nanti kalau terjadi pemilihan legislatif, pemilihan presiden, atau bahkan pilkada di beberapa provinsi yang akan terjadi pada tahun 2018.  Akankah suasana intoleransi ini eskalasi semakin meningkat ataukah meredup.

Salah satu yang bisa mengukur hal tersebut adalah hasil survei beberapa lembaga terhadap isu intolernsi.

Survei dari Wahid Foundation pada 2016 misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia masih rawan prilaku intoleran.  Meski 40,4 persen masyarakat muslim telah bersikap toleran, namun masih ada 38,4 persen yang intoleran terhadap nonmuslim.

Survei dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta yang dilakukan pada 1 September – 7 Oktober 2017 di 34 provinsi di Indonesia memberikan gambaran bagaimana sikap siswa/mahasiswa, guru/dosen di sekolah maupun di perguruan tinggi terhadap intoleransi agama dan radikalisme agama. Dari perilaku keagamaan, siswa/mahasiswa memiliki perilaku radikal hanya 7,0 persen dan aksi intoleransi eksternal 17,3 persen. Sedangkan aksi intoleransi internal, cenderung lebih tinggi yakni 34,1 persen.

Menariknya, model pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berpotensi membentuk radikalisme siswa. Hal ini dipengaruhi oleh opini radikal guru/dosen yang mencapai 23 persen. Kondisi ini menunjukkan guru/dosen menjadi faktor penting dalam pembentukan seseorang menjadi intoleran dan radikal.

Sementara itu, dalam buku Kontroversi Gereja di Jakarta,  yang merupakan hasil kolaborasi penelitian dari Yayasan Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gajah Mada, dan Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) menunjukkan bahwa aktor utama penyebab terjadinya kekerasan agama adalah pemerintah, yang dimulai dari RT dan RW, kepala-kepala daerah, dan juga aparat kepolisian. Aktor kedua, yang mempengaruhi kekerasan antar agama adalah tokoh-tokoh agama, dan disusul oleh organisasi kemasyarakat (ormas).

 

Pemerintah

Faktor penyebab intoleransi yang menempatkan pemerintah sebagai aktor utama merupakan bentuk kritik yang membangun. Pemerintah dalam konteks ini tidak hanya merujuk pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan segala yang melingkupnya. Jika merujuk pada hukum administrasi, pemerintah dalam perspektif di atas adalah pemerintah yang bermakna luas yang menekankan pada pemerintah sebagai pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas yang diserahi wewenang untuk mencapasi tujuan negara.

Pemerintah, dalam konteks ini, memang selalu menjadi sasaran yang selalu disalahkan. Namun, perlu diingat, pemerintah di era reformasi merupakan pemerintah yang terbuka dan demokratis. Karakteristiknya berbeda dengan pemerintah di era Orde Baru. Era keterbukaan ini mendorong sejumlah aliran keagamaan apa pun, termasuk informasi-informasi melalui media sosial, melakukan penetrasi ke masyarakat. Medium-medium inilah yang digunakan untuk memancing di air keruh, yang tujuannya membuat suasana toleransi antar umat beragama di Indonesia terkoyak.

Untuk itu, menurut Musdah Mulia, paling tidak ada empat faktor yang harus dijaga oleh pemerintah untuk merawat toleransi beragama demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertama, faktor kultural. Faktor ini menekankan pada upaya mempertahankan kultur yang mengedepankan toleransi melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya. Di sini peran pendidikan keluarga menjadi penting untuk menanamkan kepada anak-anaknya hormat pada orang lain, menghargai perbedaan suku, bahasa dan agama. Situasi ini diperkuat dengan pendidikan formal, yang menekankan pada pengajaran agama. Dalam hal ini, pengajaran agama harus lebih banyak menanamkan nilai kemanusian, universal, seperti rasa empati, keadilan, kesopanan, kebenaran, kejujuran, solidaritas, kebersihan dan keindahan.

Kedua, faktor struktural. Faktor ini merujuk pada sejumlah kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengandung unsur diskriminasi terhadap umat beragama. ICRP mencatat ada sebanyak 147 UU yang diskriminatif dalam hal agama. Apabila peraturan perundang-undangan ini dibiarkan, bisa berpotensi menimbulkan perilaku kekerasan dalam masyarakat.

Ketiga, faktor teologis. Faktor ini menekankan bahwa setiap agama mengandung klaim kebenaran atas dirinya. Karena itu, perlu membangun interpretasi agama yang lebih ramah terhadap kelompok lain. Inilah pentingnya membangun pluralisme agama. Di dalamnya ada sikap menghormati orang yang berbeda dan berkomitmen kuat untuk membangun damai dengan mereka.

Keempat, faktor politik. Dalam hal ini, pemerintah harus tegas dan netral menghadapi intoleran dan anarkis. Pemerintah harus tegas berpijak pada Pancasila dan Konstitusi. Aparatur penegak hukum seperti polisi, hakim, dan jaksa harus kuat dan berwibawa. Mereka tidak boleh tunduk pada kelompok yang mengatasnamakan umat atau Tuhan.

Faktor-faktor inilah yang harus diusahakan, dilakukan, dan ditindak lanjuti oleh pemerintah untuk menjaga toleransi dan merawat kebhinekaan di Indonesia. Tujuannya tentu satu yakni menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

*Penulis adalah  peneliti di Pusat Kebijakan Publik Lamongan

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry