Syair Hubbul Wathon karya Mbah Wahab perlu dipopulerkan. Isinya luar biasa, mendorong terciptanya kemerdekaan yang hakiki. (FT/DUTA.CO/DOK)

“Dari Nahdlatul Wathon (NW) inilah KH Abdul Wahab dan KH Mas Mansur memulai menanamkan nasionalisme Islam, paham kebangsaan berbasis nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, kepada generasi muda Islam yang kala itu lebih familier disebut kaum santri.”

Oleh: Choirul Anam

Syair dan lagu Hubbul Wathon ciptaan KH Abdul Wahab Chasbullah, yang kini diaransir oleh Nasar Al-Batati dari Lesbumi (Lembaga Seni Budaya NU Jawa Timur), akan diluncurkan hari Ahad 20 Agustus 2017, di halaman Gedung Astranawa, Surabaya. Peluncuran yang mengembil tema, “Membangkitkan Kembali Semangat Nasionalisme Santri Melalui Syair dan Lagu Hubbul Wathon”, itu, juga akan dihadiri Mensos Khofifah Indar Paranwansa bersama keluarga besar Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, siswa-siswi Pesantren Amanatul Ummah, mahasiswa Sekolah Tinggi  Agama Islam Taswirul Afkar, Surabaya, dan sejumlah tokoh NU-Muhammadiyah serta  warga nahdliyin.

Mbah Wahab (panggilan populer KH Abdul Wahab Chasbullah), menggubah syair dan lagu Hubbul Wathon (Cinta Tanah Air) pada tahun 1916, ketika beliau bersama KH Mas Mansur (Muhammadiyah) mendirikan sekolah kebangsaan bernama Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air) yang berpusat di kampung Kawatan, Surabaya. Setelah mendapat Rechtspersoon (pengesahan badan hukum) dari Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda, Mr. J.P. graaf van Limburg Stirum, tersusun pula posisi pengasuh: KH Abdul Qohar (Direktur), KH Abdul Wahab Chasbullah (Ketua Dewan Guru Keulamaan), KH Mas Mansur (Kepala Sekolah) dibantu KH Mas Alwi dan KH Ridwan Abdullah.

Selain mengajarkan ilmu agama dan umum sebagaimana layaknya sekolah, Nahdlatul Wathon juga membuka kursus bagi pemuda berusia17-25 tahun yang berminat mendalami masalah sosial kemasyarakatan dan kebangsaan. Penanganan administrasi kursusan yang dilebeli Jam’iyah Nashihin (semacam kelompok propaganda) ini dipercayakan kepada KH Abdul Halim bin Kedung (asal Cirebon). Para pengajar kursusan yang mengambil waktu sore dan malam hari ini, selain KH Abdul Wahab dan KH Mas Mansur, juga dibantu KH Bishri Syansuri dari Jombang, KH Masjhuri dan KH. Cholil dari Lasem, Jawa Tengah. Sedangkan pimpinan peserta kursusan Jam’iyah Nasihin dipercayakan kepada tokoh muda Surabaya, Abdullah Ubaid.

Dari Nahdlatul Wathon (NW) inilah KH Abdul Wahab dan KH Mas Mansur memulai menanamkan nasionalisme Islam, paham kebangsaan berbasis nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, kepada generasi muda Islam yang kala itu lebih familier disebut kaum santri. Selain sebagai sarana menanamkan nasionalisme Islam, pendirian NW tentu juga dimaksudkan untuk melengkapi pendirian organisasi nasionalis lain semisal Syarikat Islam (1911) dan Budi Oetomo (1908). Ini terlihat dari kedekatan Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansur dengan tokoh nasionalis HOS Tjokroaminoto dan Dr Soetomo yang ikut membantu pendirian NW. Bahkan dua tahun setelah berdirinya NW, Dr Soetomo mengizinkan sayap organisasi Budi Oetomo bernama Soerjo Soemirat membuka kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Cakrawala Pemikkran–1918) yang dipimpin KH Achmad Dahlan ( pengasuh Pesantren Kebondalem Surabaya).

Tashwirul Afkar yang bermarkas dekat Masjid Ampel juga menyelenggarakan pendidikan sebagaimana NW. Namun aktifitas utamanya, mempertemuan para kiai dan golongan nasionalis dalam forum diskusi membahas masalah kebangsaan. Nama Tashwirul Afkar sendiri terinspirasi oleh surat kabar Tasvir-i Efkar (1862) yang diterbitkan oleh penyair Turki, Ibrahim Sinasi (1826-1871). Penyair yang pernah belajar di Prancis ini menerbitkan koran Tasvir dalam kerangka reformasi Turki menuju bangunan politik yang lebih demokratik. Dari sini terlihat bahwa wawasan dan imajinasi Kiai Wahab berskala global.

NW berkembang cepat membentuk cabang di berbagai daerah dengan nama beragam, guna menghindari kecurigaan Belanda. Di Wonokromo bernama Ahlul Wathon (Warga Bangsa), di Pacarkeling Khithabatul Wathon (Pembela Bangsa), di Gresik dan Malang Far’ul Wathon (Elemen Bangsa), di Jombang dan Jagalan Hidayatul Wathon (Pencerah Bangsa), dan di Semarang Akhul Wathon (Solidaritas Bangsa).

Hanya dalam waktu singkat, sekolah kebangsaan ini berkembang di hampir seluruh tanah Jawa dan Madura. Dan nilai yang ditanamkan menyangkut dua hal pokok. Pertama, cinta tanah air bagian dari iman (hubbul wathon minal iman). Kedua, membangun semangat kaum muda untuk membela bangsa agar lepas dari cengkeraman penjajah Belanda (wala takun ahlal hirman).

Syair dan lagu Hubbul Wathon kemudian menggelora bukan hanya di kalangan NW, melainkan juga dinyanyikan secara heroik para santri di seluruh pesantren. Dan memang, jika Syair gubahan Kiai Wahab itu diresapi benar, akan menumbuhkan jiwa patriotisme yang membaja di setiap dada anak bangsa. Ini bisa dilihat dari cuplikan Syair yang akan diluncurkan Ahad 20 Agustus: “Wahai patriot bangsa, wahai patriot bangsa. Cinta tanah air itu bagian dari iman. Cintailah tanah airmu wahai patriot bangsa. Jangan kalian jadi bangsa jajahan.” dst.

Kerjasama kedua ulama pejuang, Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansur, yang kemudian keduanya dikenal sebagai tokoh utama NU dan Muhammadiyah, bukan cuma terbatas pada pendirian NW. Pada tahun 1937, ketika kekuatan Islam tercabik-cabik oleh perdebatan masalah khilafiyah-furu’iayh, Kiai Wahab bersama Kiai Mas Mansur dan KH Achmad Dahlan (Tashwirul Afkar) serta W Wondoamiseno (Syarikat Islam), bersepakat untuk berupaya keras menghentikan perdebatan yang tidak produktif tersebut. Mereka lalu menggelorakan pentingnya ukhuwah Islamiyah (persatuan kekuatan Islam) untuk kemudian berkolaborasi dengan kekuatan nasionalis lain, guna melepas belenggu penjajah yang sudah beratus tahun mencekik leher bangsa Indonesia.

Maka, keempat tokoh tersebut bersepakat membentuk suatu badan federasi sebagai tempat berkumpulnya para pemuka organisasi Islam. Dan pada September 1937 terbentuklah badan federasi itu bernama Al Majlisul Islamil A’laa Indonesia disingkat MIAI. Badan Federasi MIAI inilah yang kemudian berkolaborasi dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) menuntut Indonesia berparlemen sekaligus mempersiapkan kemedekaan bangsa Indonesia dari imperialis Belanda. Sampai kemudian lahir pernyataan kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam bentuk Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang, oleh Soekarno dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dinyatakan dan diyakini serta ditetapkan “menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.

Dari fakta sejarah tersebut, nasionalisme Islam yang ditebarkan Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansur bisa dimaknai sebagai koreksi paham nasionalisme Barat sekuler yang, selama ini secara terus menerus, dibenturkan dengan agama akibat trauma masyarakat Eropa terhadap dominasi politik Gereja Abad Pertengahan. Dengan mendasarkan kebangsaan pada nilai-nilai Islam, Kiai Wahab telah meletakkan dasar konsep nasionalisme religius dan Islam yang nasionalis. Praktik bernegara, dengan demikian, harus didasarkan pada motivasi agama. Sebab, jika asas bernegara bukan agama, pembelaan terhadap negara kehilangan nilai transenden yang terhubung langsung kepada Allah Swt–Tuhan Yang Maha Esa.

Pancasila sebagai dasar negara harus pula dimaknai sebagai bagian dari Islam dan, oleh karena itu, tidak boleh dipertentangkan. Pancasila pernah disempurnakan Islam dengan tujuh kata yang kemudian dihilangkan. Namun dalam tradisi politik Sunni selalu saja ada jalan kompromi: “Sesuatu yang tidak bisa diraih semua, jangan ditinggal semua–ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu.” Karena itu, Kiai Wahab lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno dan Majelis Konstituante, agar Piagam Jakarta tetap menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan dengan konstitusi negara.

Bagi Kiai Wahab, pelaksanaan syari’at Islam bagi pengaturan kehidupan kaum muslimin membutuhkan negara. Negara (sistem dunia) dibutuhkan demi tegaknya sistem agama (nidham al- dunya syarth li nidham al- din). Sehingga hubungan antara agama dan negara menjadi mutualistik: agama adalah dasar sedangkan negara menjadi penyangga (al-dinu asasun wa al- shulthanu harisun).

Persoalannya adalah, bisakah generasi penerus Kiai Wahab (NU) dan Kiai Mas Mansur (Muhammadiyah) memelihara, melestarikan dan mengembangkan prinsip-prinsip dasar nasionalisme Islam yang telah diletakkan oleh kedua ulama pejuang tersebut? Jawabnya, untuk sementara, marilah kita mendengar dan meresapi saja dulu Syair dan Lagu Hubbul Wathon dengan pikiran jernih, dan hati yang bersih. (*)

*Choirul Anam, Dewan Kurator Museum Nahdlatul Ulama.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry