
Dr. Rudi Umar Susanto, M.Pd. – Dosen S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar
PERKEMBANGAN teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan.
Guru Bahasa Indonesia, yang memegang peran penting dalam membentuk kompetensi literasi dan komunikasi siswa, kini dituntut untuk tidak hanya menguasai materi ajar, tetapi juga memiliki keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan literasi digital.
Kedua kemampuan ini menjadi bekal utama agar guru mampu menyikapi derasnya arus informasi dan memanfaatkan teknologi secara bijak dalam proses pembelajaran.
Literasi tidak lagi hanya dipahami sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan memahami, menganalisis, mengevaluasi, serta memproduksi informasi dalam berbagai bentuk dan media. UNESCO (2006) menyebutkan bahwa literasi merupakan “kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, mencipta, mengomunikasikan, dan menghitung menggunakan bahan cetak dan tertulis dalam konteks yang berbeda.” Dalam dunia digital, literasi berkembang lebih luas menjadi literasi digital, yang mencakup keterampilan menggunakan perangkat digital, memahami informasi yang beredar di media daring, serta memilah kebenaran data dari maraknya informasi palsu (hoaks).
Bagi guru Bahasa Indonesia, literasi digital penting agar mereka dapat mencontohkan pada siswa bagaimana cara berinteraksi dengan teks di internet, bagaimana mengutip sumber dengan benar, serta bagaimana menulis dan berargumentasi dengan etis di ruang digital. Dengan demikian, guru tidak hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga membimbing siswa menjadi warga digital yang cerdas.
Pentingnya Critical Thinking
Berpikir kritis merupakan kemampuan menganalisis informasi secara logis, mengevaluasi argumen, serta mengambil keputusan yang tepat berdasarkan bukti. Menurut Facione (2011), critical thinking melibatkan enam keterampilan utama: interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, eksplanasi, dan regulasi diri. Dalam konteks pembelajaran Bahasa Indonesia, berpikir kritis dapat diwujudkan melalui kegiatan menafsirkan teks sastra, menganalisis berita, hingga mendiskusikan isu-isu aktual dengan argumentasi yang kuat.
Di era digital, di mana informasi berlimpah dan tidak selalu valid, guru yang memiliki kemampuan berpikir kritis dapat menjadi filter penting bagi siswa. Guru mampu membedakan informasi yang kredibel dengan yang menyesatkan, serta membimbing siswa agar tidak mudah terjebak pada opini dangkal atau manipulasi media.
Literasi dan berpikir kritis tidak dapat dipisahkan. Literasi digital memberi bekal pemahaman, sedangkan critical thinking membantu mengevaluasi informasi tersebut. Guru Bahasa Indonesia perlu menyeimbangkan keduanya dalam pembelajaran. Misalnya, saat membahas teks berita daring, guru dapat mengajak siswa:
- Menganalisis, apakah berita tersebut berasal dari sumber terpercaya.
- Mengevaluasi, struktur teks dan gaya bahasa yang digunakan.
- Membandingkan, dengan berita dari sumber lain untuk melihat perbedaan sudut pandang.
- Mendiskusikan, dampak informasi tersebut terhadap masyarakat.
Melalui strategi ini, siswa tidak hanya memahami isi teks, tetapi juga belajar berpikir kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi.
Tantangan bagi Guru Bahasa Indonesia
Namun, membangun literasi dan critical thinking tidak lepas dari sejumlah tantangan. Pertama, masih ada guru yang kurang akrab dengan teknologi digital sehingga pembelajaran berbasis daring belum optimal. Kedua, derasnya arus informasi membuat guru membutuhkan waktu ekstra untuk menyaring materi yang sesuai dengan kurikulum. Ketiga, masih minimnya pelatihan yang secara khusus membekali guru dengan keterampilan literasi digital dan berpikir kritis.
Agar guru Bahasa Indonesia mampu membangun literasi dan critical thinking di era digital, beberapa strategi berikut dapat diterapkan:
- Pelatihan Berkelanjutan – Guru perlu mengikuti workshop atau pelatihan literasi digital dan berpikir kritis yang relevan dengan pembelajaran.
- Pemanfaatan Sumber Daring – Menggunakan e-book, artikel ilmiah, dan jurnal online sebagai bahan ajar agar siswa terbiasa mengakses informasi kredibel.
- Kolaborasi – Membentuk komunitas guru untuk saling berbagi pengalaman, materi, dan strategi pembelajaran berbasis digital.
- Modeling – Guru harus menjadi teladan dalam menggunakan media sosial secara bijak, mengutip sumber secara benar, dan menyampaikan argumen secara rasional.
- Integrasi dalam Kurikulum – Literasi digital dan critical thinking sebaiknya dimasukkan dalam perencanaan pembelajaran, misalnya dengan proyek analisis teks, debat, atau penulisan artikel opini.
Membangun literasi dan critical thinking bagi guru Bahasa Indonesia dalam dunia digital bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan. Di tengah derasnya arus informasi, guru harus mampu menjadi fasilitator yang cerdas, kritis, dan adaptif. Dengan literasi digital, guru mampu menavigasi dunia maya secara bijak, sementara dengan berpikir kritis, guru dapat membekali siswa agar tidak mudah terpengaruh oleh informasi palsu. Sinergi keduanya akan menciptakan pembelajaran Bahasa Indonesia yang lebih bermakna, relevan, dan kontekstual, sekaligus melahirkan generasi yang literat, kritis, dan siap menghadapi tantangan masa depan.