Oleh: SOETANTO SOEPIADHY
 
BERBICARA serikat pekerja/buruh, masalah upah selalu menjadi bahan unjuk rasa dan aksi demonstrasi buruh yang paling utama, dan bisa jadi, inilah sebuah masalah krusial yang tak bisa pernah mencapai titik temu. Yaitu, sebuah titik temu yang saling memuaskan antara buruh dan pengusaha. Dimana buruh ingin upah tinggi, tapi pengusaha sebaliknya.
Aksi tuntutan kenaikan upah buruh ini selalu ada alasan kuatnya, seperti kondisi saat ini kalau dihubungkan dengan kenaikan harga barang akibat tingginya ongkos produksi. Misalnya, kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik industri yang tidak bersahabat, sehingga mendorong harga barang menjadi naik. Terjadinya biaya produksi makin tinggi, itu karena kebanyakan majikannya ber-kongkalingkong dengan politisi untuk mengawal kepentingan bisnisnya melalui kebijakan negara, sekaligus memperbesar pemasukan bagi perusahaannya.
Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Surabaya mengusulkan kepada Pemprov Jatim untuk menaikkan upah minimum sektoral kota (UMSK) 2018 sebesar 5 persen dari upah minimum kota (UMK). Pengusulan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan para pekerja. Tahun ini UMK di Surabaya Rp 3.583.312,61. Jika usulan UMSK Surabaya tersebut disetujui oleh gubernur, upah buruh di sektor-sektor yang disetujui naik menjadi Rp 3.762.478,24.
Apakah dengan kenaikan UMSK, kaum buruh berunjuk rasa atau tidak? Pada dasarnya, ada banyak persoalan perburuhan yang perlu dijadikan issue yang bisa disampaikan. Seperti kenyataan nasib kaum buruh di Indonesia yang setiap tahunnya tidak pernah membaik. Kondisi kesejahteraan yang tidak pernah berpihak kepada kaum buruh di Indonesia ini bisa digambarkan dalam pepatah: “sudah jatuh tertimpa tangga”. Dimana kaum buruh, terutama buruh pabrik yang jumlahnya puluhan juta orang dengan memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan serta skill yang rendah. Di dalam serba keterbatasan itu mereka dijajah pula oleh majikannya. Di sinilah faktor pentingnya diperlukan organisasi pelindung buruh.
Sayangnya, hampir semua organisasi pelindung buruh itu tidak maksimal dalam melindungi hak-hak kaum buruh. Jangankan serikat pekerja di tiap perusahaan dan berbagai organisasi sipil buruh, kaum politisi di partai politikpun tak berkutik. Padahal, hampir semua parpol di Indonesia punya sayap organisasi buruhnya.
Di Golkar ada Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI). Di Gerindra ada Sentral Gerakan Buruh Indonesia Raya (SEGARA). Di PAN punya Petani Buruh Reformasi. Di Hanura ada Kesatuan Buruh Hanura (KBH). Di PKS ada Serikat Pekerja Keadilan dan Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia. Di Demokrat punya Bakti Karya Perjuangan Demokrat (BKPD). Di PPP ada Persatuan Organisasi Buruh Islam se-Indonesia (PORBISI). Tak terkecuali di NasDem, organisasi sayap buruhnya bernama “Gemuruh”, akronim dari Gerakan Massa Buruh. Parpol pengklaim berbasis massa kelas bawah seperti PKB juga tak berdaya. Terlebih lagi PDI Perjuangan yang identik dengan wong cilik dan ada Repdem sebagai sayap organisasi buruhnya. Jadi, di tubuh parpol sendiri tak kurang sayap organisasi yang memperjuangkan hak-hak buruh dan bertugas melindungi buruh.
 
Aktor Perubahan
Kalau kenyataan tidak adanya perlindungan buruh yang memadai, juga tidak adanya partai politik yang mampu memperjuangkan hak-hak kaum buruh itu, maka tak terlalu salah kalau mulai dipikirkan lagi betapa pentingnya kaum buruh membangun alat politik baru dalam wujud partai politik.
Dengan instrumen partai politik milik sendiri itu, kaum buruh tentu dapat menempatkan anggota-anggota terbaiknya pada posisi strategis, seperti di DPRD, DPD, DPR, dan pemerintahan, bahkan menjadi presiden dan wakil presiden. Dengan begitu kepentingan untuk memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh, akan gampang tercapai. Dan idealnya, ke depan kaum buruh Indonesia akan menjadi sejahtera.
Bukan tidak pernah kaum buruh memiliki partai politik sendiri. Pernah, bahkan cukup banyak. Karena banyak itulah yang membuat perjuangan buruh lantas tidak fokus, terpecah-pecah. Mengapa bisa terpecah-pecah? Tak lain karena kegagalan mereka mengelola konflik internalnya dan lebih menonjolkan ego pribadi masing-masing.
Sejarah partai buruh di Indonesia adalah sejarah penuh perpecahan. Tidak pernah menjadi kuat dan jarang bisa memenuhi persyaratan administrasi untuk bisa mengikuti pemilihan umum.
Disayangkan, seperti pada Pemilihan Presiden 2014, suara buruh terpecah dalam dua kubu. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) mendukung capres dan cawapres Jokowi-JK. Di sisi lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pertanyaannya, mengapa suara buruh ini tidak dipersatukan menjadi satu kekuatan besar dan menjadi aktor perubahan yang bisa mengubah peta politik nasional menjadi ramah kepada kepentingan buruh sekaligus wong cilik?
Kalau memang benar buruh ingin menyejahterakan dirinya, maka tidak bisa lain, harus membangun sebuah alat politik berupa partai politik. Yaitu sebuah partai buruh yang betul-betul profesional, kokoh dan kuat. Dan itu bisa terwujud asalkan mereka bisa melepas egoismenya.***
 
*Soetanto Soepiadhy adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Untag Surabaya dan Pendiri “Rumah Dedikasi” Soetanto Soepiadhy.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry