Oleh: Dr H Ahmad Siboy SH MH*

PERATURAN Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) merupakan salah satu produk hukum yang dapat diterbitkan dalam kondisi darurat negara. Penerbitan Perpu merupakan kewenangan subyektif Presiden sebagaimana amanat Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945. Syarat penerbitan Perpu adalah dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal ihwal kegentingan memaksa merupakan penilaian Presiden terhadap suatu kondisi dan situasi Negara. Sedangkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2019, memaknai hal ikhwal kegentingan memaksa dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Secara hirarkis dan muatan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) dengan Undang-undang (UU) memiliki kedudukan yang setara berdAsarkan pada ketentuan pasal 7 ayat (1) UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebagaimana diubah dengan UU 15 tahun 2019).

Penerbitan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganana Pandemic Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) oleh Presiden dalam memberikan kepastian hukum dalam hal Corona merupakan suatu hal yang tidak dapat dikatakan berlebihan. Sebab, dalam kondisi hiruk pikuk Corona maka proses normal untuk membentuk UU merupakan suatu hal yang tidak memungkinkan baik secara teknik maupun proses pembahasan.

Namun, Perpu yang diundangkan pada Pada tanggal 31 Maret 2020 tersebut menjadi Perpu yang dinilai merugikan hak konstitusional warga Negara. Beberapa warga Negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya seperti Amien Rais, Din Syamsudin dan kawan-kawan telah meresgistrasikan permohonan uji materi (constitutional review) kepada Mahkamah Konstitusi pada Selasa 14 April 2020.

Permohonan yang diajukan oleh Amien Rais dan kawan-kawan merupakan perwujudan kongkrit dari bentuk perlindungan hukum refresif Negara terhadap warga negaranya. Yakni, setiap warga Negara yang merasa dirugikan oleh kebijakan/keputusan (baik regeling maupun beshiking) dari pemerintah maka dapat mencari keadilan melalui mekansime peradilan.

Dalam hal permohona uji materi ke Mahkamah Konstitusi tersebut maka dapat berisi dua jenis permohonan pengujian yakni pengujian secara formil maupun materil. Pengujian secara formil berkaitan dengan prosedur pembentukan undang-undang ataupun Perpu atau mengenai legal standing (kedudukan hukum) pemohon. Sedangkan pengujian secara materil berkaitan dengan argumentasi pemohon mengenai isi Perpu yang dinilai bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pengujian secara materil ini merupakan pengujian dimana pertarungan pendapat antara pembentuk Perpu dengan pemohon di dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang dihadapan sembilan hakim konstitusi yang dipertaruhkan adalah pendapat.

Pada uji materi Perpu tersebut maka akan lebih dominan pada aspek uji materil. Yakni, mempertentangkan isi Perpu dengan UUD NRI tahun 1945 melalui kontruksi hukum yang diibuat oleh para pemohon. Para pemohon mengajukan beberapa Pasal yang dinilai inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Yakni, Pasal 2 Perpu dengan Pasal 23 dan 23 A UUD NRI TAHUN 1945, Pasal 27 dengan 23 dan 23 A, Pasal 28 dengan Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 Jo. PMK 138/PUU-VII/2009.

Permohonan pemohon mayoritas berkutat dengan masalah kewenangan mengenai pengelolaan keuangan negara. Sebab, mekanimse pengelolaan keuangan Negara sebagaimana diatur dalam Perpu dianggap tidak sesuai dengan konstitusi. Dimana mengenai pengaturan keuangan Negara dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan peruntukkannya merupakan kewenangan dari dua lembaga Negara yakni eksekutif dan legislatif. Di mana pemerintah mengajukan rancangan APBN kepada DPR untuk dibahas dan setujui bersama. Persetujuan dari Pemerintah dan DPR ini bersifat mutlak. Artinya, apabila salah satu lembaga tidak setuju maka RAPBN tidak dapat disahkan menjadi UU APBN.

Secara normatif, argumentasi yang diajukan pemohon sangatlah beralasan bahwa pengaturan dalam Perpu yang berkaitan dengan keuangan Negara merupakan sesuatu yang inkonstitusional. Namun, dibalik semua itu, para Pemohon sejatinya juga menyadari bahwa: Pertama, pengaturan tentang pengelolaan keuangan dalam Perpu tersebut merupakan pengaturan untuk mengantisipasi keadan darurat Corona dan dampaknya. Artinya, pengaturan tersebut hanya dibuat dalam kondisi darurat semata. Sedangkan pengaturan dalam konstitusi khususnya Pasal 23 merupakan pengaturan dimana Negara dalam keadaan normal. Tentu saja, standart atau parameter keadaan normal kurang tepat apabila dijadikan landasan untuk menilai sesuatu yang darurat. Kondisi hukum keadan normal dan darurat berbeda. Apa bisa keadaan darurat disamakan dengan keadaan normal. Tentu dalam keadaan darurat maka segala sesuatu mendapatkan “ruksoh” atau kemudahan untuk menyimpangi atas sesuatu yang harus dilakukan dalam keadaan normal.

Kedua, apa yang diatur dalam Perpu Corona tersebut tidak dalam rangka untuk mengalienasi kewenangan DPR dalam hal keuangan Negara. Ketiga, Perpu tersebut juga tidak dalam rangka untuk memberikan kekebalan hukum kepada pemerintah. Payung hukum berupa Perpu diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum yang adil dalam penegeloaan keuangan Negara dalam kondisi darurat Corona. Hal ini penting diatur supaya pemerintah yang sedang berfikir keras dan membuat kebijakan berkaitan dengan upaya menanggulangi Corona kemudian dipidanakan karena kebijakannya. Apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi Corona merupakan suatu ijtihad dan setiap ijtihad pasti mendapatkan pahala walaupun ijtihed itu salah (Al ijtihedu la Yunkuduh bil ijtihed). Rasanya menjadi tidak adil apabila ijtihed pemerintah ditakut-takuti. Adakalanya, dalam menghadapi kondisi darurat seperti ini, warga Negara tidak hanya berpengangan pada “hitam-putih” semata. Dalam kondisi dan situasi bangsa yang seperti sekarang maka bahasa yang paling tepat adalah bahasa persaudaraan.

*Penulis adalah Dosen Pascasarjana Unisma dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry