Tampak KH Said Khumaidy, pengurus MUI Kabupaten Lamongan saat memimpin ibadah Sa'i dengan diselingi bacaan Pancasila secara berjamaah. (FT/youtube)

“Dilihat dari ranah manhajy dengan pendekatan insya’i bacaan Pancasila pada saat melakukan sa’i adalah sesuai dengan hadits/sunnah khususnya bagi jama’ah Indonesia.”

Oleh: Prof Dr Kasuwi Saiban, MAg*

MASIH ingat video viral beberapa hari lalu, seorang muthowif yang membaca Pancasila dan diikuti jamaahnya setelah membaca do’a sa’i (duta.co/aneh-dan-unik-ibadah-sai-diselingi-baca-pancasila-berjamaah/).
Muthawif tersebut bernama KH Said Khumaidy, beliau termasuk jajaran pengurus MUI Kabupaten Lamongan.
Langkah beliau ini mendapat reaksi keras dari umat Islam Indonesia. Bahkan tidak sedikit mereka mengkategorikan sebagai perbuatan bid’ah. Seperti yang dilangsir republika.co.id. pada tanggal 13 Pebruari 2018 dengan tema “Baca Pancasila Saat Sa’i tak Sesuai Sunnah dan Bisa Bid’ah”.
Menanggapi masalah tersebut Sekjen Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Firman M Nur mengatakan, bahwa hal tersebut (pembacaan Pancasila) jelas tidak sesuai dengan sunnah dan menyelisihi apa yang dianjurkan oleh salaf.
Jika pembacaan Pancasila tersebut dilakukan dengan keyakinan untuk mengharap fadhilah atau keutamaan tertentu, maka hal itu termasuk kotegori bid’ah. (www.republika.co.id.berita-jurnal-haji).
Stigma bid’ah (dalam arti menyimpang dari syari’at) tentang bacaan Pancasila saat melakukan sa’i tersebut menurut hemat penulis hanya dilakukan secara spontan dan emosional, tanpa didasari dalil yang akurat baik naqly maupun aqly.
Memang hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang ulama pun, namun bukan berarti hal-hal yang belum dilakukan ulama terdahulu semuanya menyimpang. Justru di sini perlu adanya kreatifitas berpikir ulama kontemporer Indonesia untuk menjawab permasalahan baru yang terus berkembang di masyarakat.
Masalah-masalah baru yang terus bermunculan itu tidak boleh dibiarkan tanpa kepastian hukum, bahkan harus segera diselesaikan dengan metode insya’i; yaitu menetapkan hukum baru dengan metode yang telah digariskan oleh para ulama ushul terdahulu.
Sudah saatnya ulama Indonesia melihat suatu permasalahan tidak hanya terbatas pada ranah qauly yang berupa produk fiqih seperti yang telah ditulis dalam kitab-kitab klasik yang tentu merupakan potret dari kondisi saat itu.
Lebih dari itu ulama kontemporer Indonesia harus melihat ranah manhajy yang berupa metode dalam memproduk fiqih tersebut sehingga fiqih menjadi hidup sesuai dengan situasi dan kondisi yang senantiasa berkembang.
Karena itulah Imam Syafi’i selama kurun waktu kehidupan beliau membuat dua madzhab; yaitu qaul qadim (ketika beliau masih di Baghdad) dan qaul jadid (ketika beliau di Mesir). Di kalangan Nahdlatul Ulama, penyelesaian masalah secara manhajy  ini sebenarnya sudah diamanatkan MUNAS NU Lampung tahun 1992, hanya saja prakteknya di kalangan ulama nahdhiyyin sendiri masih terasa berat, mungkin karena SDM yang belum siap.
Selanjutnya dalam menyelesaikan masalah bacaan Pancasila saat melakukan sa’i tersebut harus dilihat dari ranah manhajy dengan pendektan insya’i ; yaitu dengan mengembalikan masalah tersebut kepada Alquran dan as-Sunnah, serta metode penetapan hukum yang telah ditetapkan para ahli ushul fiqih.
Dalam hal ini langkah pertama yang harus ditempuh adalah  mencari ayat Alquran yang terkait dengan sa’i, yang secara tekstual bisa ditemukan pada surat al-Baqarah ayat 158 sebagai berikut :
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ.
Artinya : Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (QS. 2:158).
 Ayat di atas ternyata hanya menyinggung sa’i secara umum sehingga perlu dicari penjelasannya pada hadits.Dalam hal ini imam ad-Darimi meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas sebagai berikut :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللَّهَ أَحَلَّ فِيهِ الْمَنْطِقَ ، فَمَنْ نَطَقَ فِيهِ فَلاَ يَنْطِقْ إِلاَّ بِخَيْرٍ- رواه الدارمى
Artinya : “ Rasulallah SAW bersabda : “Thawaf di Baitullah itu (seperti) shalat, hanya saja sesunguhnya Allah membolehkan berbicara di dalamnya. Maka barang siapa yang berbicara hendaklah tidak berbicara kecuali yang baik-baik” -HR ad-Darimi; (Sunan ad-Darimi vol. 5, h. 434).
Dalam hadits di atas diperbolehkan berbicara yang baik-baik ketika melakukan thawaf, dan tidak disebut ketika melakukan sa’i. Jika dalam thawaf saja diperbolehkan, sementara sa’i lebih longgar dari pada thowaf maka dengan menggunakan metode qiyas aulawi atau mafhum muwafaqah berbicara yang baik-baik dalam sa’i hukumnya diperbolehkan bahkan sesuai dengan hadits/sunnah di atas.
Pancasila adalah lima sila yang mengandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, bahkan sangat erat kaitannya dengan ayat-ayat Alquran maupun as-sunnah. Oleh karena itu dilihat dari ranah manhajy dengan pendekatan insya’i bacaan Pancasila pada saat melakukan sa’i adalah sesuai dengan hadits/sunnah khususnya bagi jamaah Indonesia. (*)
*Prof Dr Kasuwi Saiban, MAg, Guru Besar Universitas Merdeka Malang.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry