“Kita tunggu, ke mana arah policy pemerintah Indonesia dalam ‘berkawan’ di dunia internasional? Apakah memilih NATO atau BRICS dalam upaya mengatasi problem nasional?”
Oleh M Sholeh Basyari*
KALAU tidak ada aral melintang, insya Allah, mulai 20 Oktober 2024 pemerintahan Prabowo Gibran resmi memegang tongkat kepemimpinan nasional. Sejumlah program unggulan kampanye tengah dirapikan menuju finishing untuk di-launching dalam seratus hari pertama.
Wajah kebijakan luar negeri, pertahanan, ekonomi, sosial politik dan hukum, paling ditunggu publik. Tulisan berikut lebih fokus pada kebijakan luar negeri dan policy Prabowo menyangkut Islam.
Pilih BRICS atau NATO
Geopolitik dunia yang terus membara, mendorong Indonesia – mau tidak mau – memilih antara blok Barat dalam NATO atau BRICS, koalisi lintas benua pimpinan Rusia. Brazil, Rusia, India, China serta Afrika Selatan, yang disusul Arab Saudi dan Emirat Arab di Timur Tengah adakah jangkar utama koalisi ini. sejumlah negara antre masuk seperti Malaysia dan Thailand. Tetapi, Indonesia di tangan Jokowi tampak ambigu: NATO atau BRICS?
Dengan komposisi lintas benua seperti itu, blok pertahanan ini, memegang kendali atas minyak, gas, uranium, serta kebutuhan pangan dunia. Secara teknologi, Rusia dan China, cukup untuk mengimbangi Amerika. Sementara secara ‘ideologi’, komposisi negara-negara yang tergabung dengan BRICS, relatif lebih dekat dengan Islam.
Hal ini, tentu, berbeda secara diametral dengan mayoritas negara yang tergabung dalam NATO, yang umumnya resisten dengan Islam. Sementara, kita tahu, gerakan anti-Islam marak di Prancis, Inggris bahkan di Amerika, negara yang kini dipandang sebagai kiblat satu-satunya HAM dan demokrasi.
Nah, dengan bergabung ke BRICS, sekali mendayung dua tiga ‘pulau’ bisa digapai Prabowo: kekuatan Islam dalam negeri dan paket program dari BRICS itu sendiri.
Meski secara umum karakter Prabowo dekat dengan semua kekuatan Islam, tetapi jika di-track, putra begawan ekonomi Orde Baru ini, cenderung “kekanan-kananan”. Sejumlah politisi Islam “kanan” kontemporer, berbaris rapi di kanan kiri Prabowo. Mereka antara lain: Fachri Hamzah, Anies Matta (dua mantan eksponen PKS), bahkan politisi veteran Yusril Ihza Mahendra (pewaris tunggal partai Masyumi) bahkan Habib Rizieq Syihab (HRS).
Tawaran Program BRICS
Lalu, keuntungan lain yang potensial dinikmati Prabowo (Indonesia) ketika bergabung dalam BRICS adalah, bidang pertahanan, pangan, hingga migas. Melonjaknya subsidi pupuk, akibat tersendatnya pasokan bahan baku natrium, pospor dan kalium (NPK) dari Rusia, mudah diatasi ketika Prabowo membawa Indonesia ke dalam BRICS, seperti yang dilakukan Anwar Ibrahim dengan Malaysia.
Tanpa itu, Indonesia bisa diprediksi akan mengalami kelangkaan pupuk. Efek selanjutnya adalah melambungnya harga pupuk yang bisa membebani APBN. Bisa saja Prabowo mengambil kebijakan tidak popular, missal, dengan mencabut subsidi pupuk, agar tidak membebani neraca keuangan. Tetapi kebijakan ini beresiko pada ketahanan pangan nasional yang parah. Padahal ini menjadi target utama pemerintah.
Masalahnya, seperti diketahui, selama ini para aktivis Islam ‘kanan’ lebih berisik menyuarakan kepentingan, aspirasi dan solidaritas Islam internasional, dibanding kelompok Islam tradisional (NU). Maka, selain mengatasi ‘subsidi’ harga pupuk, dengan bergabung ke BRiCS, Indonesia juga diuntungkan dengan ” discount” harga minyak, gas serta teknologi dan alutsista dari Rusia maupun China, seperti yang lebih dulu dinikmati oleh Thailand.
Jadi? Kita tunggu, ke mana arah policy pemerintah Indonesia dalam ‘berkawan’ di dunia internasional? Apakah memilih NATO atau BRICS dalam upaya mengatasi problem nasional?(*)
*Dr M Sholeh Basyari — adalah Direktur Ekskutif CSIIS (Center for Strategic on Islamic and International Studies)