”Ketika kader terorisme  bermunculan dengan bendera agama,  maka komunitas agama dan elemen negara harus gencar membumikan doktrin kemanusiaan dan keadaban yang diregulasi oleh agama.”

Oleh: Abdul Wahid*

SIAPA PUN elemen bangsa di negeri ini punya kewajiban melawan segala bentuk penyakit atau musuh yang bermaksud menghancurkan republik Indonesia tercinta ini. Salah satu musuh utama bangsa ini adalah teroris.

Kasus Surabaya mengisyaratkan, bahwa teroris tidak saja biadab dalam menjalankan gerakannya, tetapi teroris berhasil mendapatkan dukungan bermacam-macam bibit dalam mewujudkan misinya.

Gerakan teroris yang bernyali tinggi dalam membumikan ideologi eksklusif dan fundamentalistik, serta gencar mengajak siapapun untuk memasuki ”rumahnya”, menjadi ”proyek” jihad utama setiap elemen bangsa untuk digalakkan terus menerus, pasalnya jika tidak, bisa jadi mereka akan mendapatkan dukungan aktif kekuatan kader atau bibit-bibit unggul (kaum muda).

Elemen negara juga benar-benar sedang ditantang oleh model kederisasi terorisme yang sepertinya tidak pernah kehabisan stok. Ada saja figur yang dinaikkan sebagai ”leader” atau mesin gerakan oleh jaringan terorisme setelah tokoh lainnya tertangkap atau tertembak mati oleh aparat.

Kematian tokoh atau elemen-elemen terorisme seperti Azahari, Nurdin M. Top, Dulmatin, dan lainnya, tidak menjadikan tanda titik nadirnya gerakan terorisme. Ada saja sosok yang mengambil alih tongkat estafetisme gerakan, minimal dengan mengisi ranah publik kalau kematian sang tokoh tidaklah sebagai pertanda kekalahan atau berakkhirnya misi yang dibelanya.

Dalam naskahnya yang dipenuhi ilustrasi ayat Alquran, Abdullah Sonata (pentolan teroris) ini pernah meminta para alumni daerah konflik bersatu dan bergabung bersamanya melawan Densus 88. ”Ya akhi (Hai saudaraku), jangan antum merasa cukup karena pernah berjihad di Afghanistan, Moro, Ambon, Poso, dan tempat lainnya. Jangan antum merasa cukup karena sudah bergelar alumni, kemudian sekarang antum diam dan mundur ke belakang.”

Dia (Sonata) juga mengkritik para mantan narapidana terorisme yang setelah keluar dari penjara justru membantu polisi ”Mereka telah menjadi ansharu thaghut (penolong setan). Bahkan, ada di antaranya yang sadar atau tidak sadar telah menjadi Bani Abas, anak buah Nasir Abas (Nasir Abas adalah mantan ketua mantiqi JI (Jamaah Islamiyah) yang sekarang bersama Densus 88 aktif memerangi terorisme)”

Ajakan itu setidaknya mengisyaratkan, kalau sebenarnya teroris itu bukan hanya mempunyai jaringan yang terorganisir, tetapi dirinya sudah dikondisikan oleh ”instruktur”-nya untuk menjadi kader-kader yang tidak gampang dibeli oleh kekuatan lain, termasuk oleh negara. Alumni teroris yang pernah lama mendekam di tahanan yang melakukan pembelotan, langsung dihakimi oleh jaringan terorisme sebagai pengkhianat atau pembangkang yang ”dihalalkan” darahnya untuk ditumpahkan.

Keterangan foto Kaskus.co.id

Ajakan tersebut dapat dibaca dari sisi lain, bahwa seseorang menjadi teroris bukan hanya dilatih menjadi sosok yang trampil menggunakan senjata, tetapi juga digiring lewat doktrin eksklusif dan bersubstansikan  klaim kebenaran (truth claim) supaya menjadi kader yang benar-benar militan atau meyakini kalau apa yang dilakukan bukan karena keterpaksaan, melainkan didukung unsur niat, tekad, atau semangat menjadi kader yang selalu siap, baik sebagai anggota maupun di kemudian hari untuk menjadi ”leader”.

Diingatkan oleh Fahmi Maulana (2009), bahwa kalau negara ingin mengurangi atau mengalahkan terorisme, maka bibit-bibit yang potensial (rentan) digiring menjadi kader terorisme harus dipangkas.

Suatu organisasi kejahatan apapun di muka bumi ini, yang tetap ”eksis” mampu menjalankan modus operandinya, adalah didukung oleh kemampuanya dalam melakukan rekrutmen dan pembentukan kader atau bibit-bibit yang diandalkan. Tanpa bibit-bibit yang dibentuk demikian, organisasi kejahatan apapun tidak akan bisa bertahan.

Itu dapat ditafsirkan, bahwa menghabisi  pola, sistem, atau atmosfir yang menjauhkan seseorang menjadi teroris, merupakan langkah riil menuju kemenangan besar dalam peperangan melawan teroris, karena terorisme  bisa kehilangan aktor dan sekaligus mesin yang menentukan kekuatannya, yang kesemua ini bersumber dari kader yang dimilikinya.

Ketika banyak sebagian elemen masyarakat yang mendesain dirinya sebagai teroris, minimal cenderung tertarik mengikuti jejaknya teroris atau mentolelir kekerasan (pembantaian) sebagai opsi gerakan, maka yang seharusnya merasa tergugat adalah lembaga-lembaga pesantren, sekolah-sekolah berlabel agama (Islam), atau elemen negara yang mempunyai kewajiban khusus untuk menghentikan akserelasi ideologi teroris.

Ketika kader-kader terorisme  terus bermunculan dengan membawa bendera agama,  maka komunitas agama dan elemen negara harus menunjukkan kinerja maksimalnya dengan cara gencar membumikan doktrin kemanusiaan dan keadaban yang diregulasi oleh agama.

Kekuatan strategis itu tidak cukup hanya membuat wacana keagamaan di media atau pengajian kalau Islam merupakan agama yang bermisikan rahmatan lil-alamin, tetapi juga wajib serius memasukkan dan mengintensifkannya dalam pembelajaran substantif-aplikatif, diantaranya transformasi dan pembumian nilai-nilai edukatif dan humanitas agama. Tanpa langkah demikian, doktrin pemanusiaan manusia yang diregulasikan agama, tak ubahnya sekedar doktrin di atas kertas.

Langkah tersebut juga bermanfaat besar untuk membabat bibit-bibit terorisme, pasalnya jika anak-anak muda ini terdidik menjadi komunitas pembela hak hidup dan berlanjutan hidup, yang keterdidikannya ini dibuktikan dalam ranah empirik, maka  gerakan terorisme dengan mengandalkan bibit tenaga muda, sulit ditemukan akibat mengalami krisis regenerasi.

Keterangan foto Sanggau.go.id

Kalau yang muda-muda  tidak mengisi ranah regenerasi terorisme, maka lambat laun terorisme hanya akan tinggal nama, atau setidaknya terorisme tidak akan dijadikan opsi oleh generasi. Penguatan kader yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa, khususnya oleh negara akan menentukan ”masa depan” terorisme.

Terorisme akan kehilangan ”masa depannya” bilamana enerji atau oksigennya dihabisi. Menghabisi oksigen terorisme terletak pada kekuatan seluruh elemen bangsa. Kalau sebatas wacana saja yang aktual di ranah publik, maka ”masa depan” teroris akan tetap cerah di negeri ini, dan bukan tidak mungkin semakin menemukan liberalitasnya dalam menggerakkan jaringannya, khususnya dalam perburuan mencari dan mengumpulkan kader sebanyak-banyaknya.

*Abdul Wahid adalah Wakil Direktur I Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Pengurus pusat AP-HTN/HAN.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry