Ribut Baidi.

Perkara dugaan korupsi kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama (Kemenag) yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah naik ke penyidikan setelah melalui proses penyelidikan yang lama. Perkara tersebut melibatkan mantan menteri agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas (YCQ), Ishfah Abidal Aziz (IAA) selaku staf khusus YCQ, dan salah satu bos travel, yakni Fuad Hasan Masyhur (FHM), serta telah memeriksa beberapa saksi di  internal Kemenag, serta saksi lain seperti Khalid Zeed Abdullah Basalamah (KZAB).

Oleh: Ribut Baidi

Kita sangat prihatin karena korupsi haji ini terus menerus terjadi sampai tahun 2024, di mana sebelumnya juga pernah terjadi pada tahun 2001 yang menjerat Said Agil Husin al-Munawar dan tahun 2009-2014 yang menjerat Suryadharma Ali. Peristiwa ini, tentu tidak hanya mencoreng nama baik Kemenag selaku institusi pemerintah yang seharusnya menjadi garda terdepan (avant gard) dan contoh teladan bagi kementerian lainnya agar tidak melakukan tindakan korupsi, tetapi juga menyeret nama baik Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) ke dalam pusaran polemik dan sengkarut dugaan korupsi haji, karena pada saat YCQ menjabat sebagai Menag, dirinya juga sedang menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, yakni organisasi otonom di lingkungan PBNU.

Meskipun kita meyakini bahwa PBNU secara kelembagaan tidak terlibat dalam perkara korupsi kuota haji, tapi ‘framing’ dan statemen buruk terhadap PBNU tidak bisa dihindari. YCQ adalah adik kandung dari KH. Yahya Cholil Staquf yang saat ini sedang menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, sedangkan IAA saat ini juga sebagai salah satu pengurus di PBNU. Oleh karenanya, PBNU menjadi bahan gunjingan publik dan imbasnya telah mendiskreditkan NU secara kelembagaan sampai level grass root.

Profesionalitas KPK

Kita percaya dan ber-husnuddzonbahwa KPK adalah lembaga antirasuah yang profesional menangani perkara dugaan korupsi kuota haji ini. Kita pun berharap penanganan perkara ini harus didasarkan pembuktian objektif serta melalui mekanisme hukum yang benar, tanpa intervensi, dan tanpa tendensi politik apapun.

Statement KPK bahwa penanganan perkara ini akan dilakukan secara profesional dan tidak ada intervensi pihak manapun ketika suatu saat ada penetapan tersangka patut kita dukung dan kita apresiasi. KPK dalam perkara ini harus hati-hati dan benar-benar memastikan bahwa penetapan tersangka memang memenuhi syarat berdasarkan kualitas pembuktian secara objektif dan tidak spekulatif.

Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) menyebutkan: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Kemudian Pasal 5 UU KPK menyebutkan: Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. kepentingan umum; e. proporsionalitas; dan f. penghormatan terhadap hak asasi manusia. Oleh karenanya, KPK dalam menangani perkara dugaan korupsi kuota haji ini tentunya dituntut secara profesional sebagaimana ketentuan dalam UU KPK, hukum acara pidana, serta perundang-undangan dan regulasi terkait lainnya, dan hal tersebut mutlak harus dijalankan.

KPK harus benar-benar memastikan bahwa proses penanganan perkara dugaan korupsi haji 2023-2024 ini tanpa celah hukum yang dapat dipersoalkan atau digugat melalui proses praperadilan. Di sisi lain, KPK juga tidak terpengaruh dengan opini publik yang menjustifikasi ketiga orang (YCQ, IAA, dan FHM) tersebut sebagai pelaku tanpa memperhatikan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Publik sepertinya lebih dulu menghakimi daripada dengan sabar menunggu proses dari KPK selaku lembaga yang memiliki legitimasi dan kewenangan mengusut perkara ini dan dengan penuh transparan mengumumkan ke publik siapa pihak-pihak yang terlibat dan harus bertanggung jawab.

Menunggu Penetapan Tersangka

Nalom Kurniawan Barlyan (2020) menyatakan bahwa penetapan status seseorang menjadi tersangka dalam perkara pidana berakibat pada berkurangnya hak-hak asasinya karena menimbulkan pembatasan kebebasan dan pencabutan hak-hak tertentu. Padahal, pemidanaan bertujuan melindungi hak-hak masyarakat atau semua orang yang terlibat dalam penyelesaian suatu perkara pidana, termasuk di dalamnya juga seseorang yang diduga melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum. Oleh karenanya, status seseorang yang menjadi tersangka secara otomatis telah menghilangkan separuh kebebasannya untuk berbuat di ranah publik.

Pasal 1 angka 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan: Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Penetapan seseorang menjadi tersangka merupakan tindakan ‘pro yustitia’ atau bagian dari upaya paksa setelah penyidikan perkara telah rampung dan tindakan tersebut ini bukanlah hal mudah dan sederhana, melainkan harus didasarkan pada kehati-hatian, mekanisme teknis dan prosedur hukum acara pidana dijalankan dengan benar, serta berdasarkan pembuktian yang relevan dan objektif sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP.

Hingga saat ini, YCQ, IAA, dan FHM yang sedang dalam pencekalan KPK tentunya akan menciptakan opini publik bahwa ketiganya yang akan menjadi tersangka. Namun, tidak menutup kemungkinan ketiga orang tersebut tidak akan ditetapkan sebagai tersangka jika dalam pembuktian justru tidak mengarah kepada ketiganya yang harus bertanggung jawab secara pidana atas tindakan atau perbuatan yang telah dilakukannya.

Walhasil, di tengah ‘framing’ yang tidak terkendali dan statemen buruk terutama di media sosial terhadap NU/PBNU secara kelembagaan, kita tetap menunggu dengan penuh keyakinan bahwa tidak akan lama KPK pasti akan mengumumkan siapa yang akan menjadi tersangka. Entah itu YCQ, IAA, FHM, dan KZAB yang telah mengembalikan sejumlah uang kepada KPK, atau justru ada saksi-saksi lain dari internal Kemenag yang akan menjadi tersangka dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum pidana. Wallahu A’lam. 

Penulis: Ribut Baidi, advokat dan dosen ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM), pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry