FT: SP/Muhammad Reza

Oleh: Dr H Ahmad Siboy, SH, MH*

DINAMIKA Pilkada tahun 2020 telah menunjukkan eskalasi politik yang meningkat. Tensi politik semakin meninggi karena memasuki masa-masa di mana partai politik telah mulai menunjukkan ‘kartunya’ tentang siapa yang akan diusung untuk bertarung di medan perang. Pembukaan ‘kartu’ dari Parpol terlihat pada rekomendasi resmi beberapa Parpol terhadap tokoh yang diajukan serta sikap Parpol yang belum secara resmi mengeluarkan rekomendasinya namun sudah mulai ‘buka tutup’ tentang tokoh yang akan direkom.

Rekomendasi Parpol menjadi salah satu ‘titik klimak’ dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada karena dengan rekom tersebut maka berbagai spekulasi dan ‘tebak-tebakan’ tentang siapa tokoh yang akan direkom suatu partai telah berakhir. Rekomendasi Parpol setidaknya telah membuka peta politik di suatu daerah. Rekomendasi partai politik secara langsung telah menentukan siapa yang menjadi lawan dan kawan.

Tentu saja, peta politik tidak hanya ditentukan oleh rekomendasi Parpol semata melainkan juga dipengaruhi oleh kehadiran calon perseorangan atau independen. Beberapa daerah yang dinamika politiknya dipengaruhi oleh calon perseorangan adalah Kota Solo, Kota Surabaya dan Kabupaten Malang. Kota Solo terdapat pasangan Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo). Kota Surabaya terdapat  pasangan calon M Sholeh-Taufik Hidayat dan M Yasin Gunawan sedangkan untuk Pilkada Kabupaten Malang terdapat pasangan calon Heri Cahyono-Gunadi Handoko.

Majunya pasangan calon dari non partai politik menunjukkan beberapa hal. Pertama, warga negara yang memiliki hak untuk mengembangkan dirinya dalam dunia pemerintahan dengan menjadi calon kepala daerah telah berusaha untuk mengambil hak-haknya sebagai bakal calon pasangan kepala dan wakil kepala daerah. Hak warga Negara untuk maju melalui jalur non Parpol atau perseorangan diatur dalam Pasal 41 ayat (1) untuk Pemilihan Gubernur dan ayat (2) untuk Bupati/Wali Kota UU 10 tahun 2016 tentang Pilkada.

Dengan munculnya jalur perseorangan tersebut, maka dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harus diajukan oleh Parpol atau gabungan Partai Politik. Hal ini penting karena selama ini masih banyak orang yang menilai bahwa seseorang dapat maju sebagai peserta Pilkada apabila diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik seperti syarat untuk maju sebagai peserta pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang wajib diusung oleh Parpol atau gabungan Parpol. Dalam hal persyaratan antara Pilkada dan Pilpres memang berbeda, dalam Pilpres tidak memperkenankan calon dari luar Parpol (perseorangan) sedangkan dalam Pilkada kesempatan tersebut diberikan.

Kedua, majunya warga negara melalui jalur perseorangan juga menunjukkan banyaknya warga negara yang ingin maju Pilkada namun terbatas akses terhadap partai politik. Akses dalam hal ini bisa karena jaringan atau karena finansial. Diakui atau tidak, rekomendasi dari partai politik hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki hubungan tertentu dengan pengurus DPP Parpol baik karena factor sebagai kader atau anggota keluarga dari kader suatu partai politik  atau bukan kader dan keluarga pengurus Parpol namun memiliki kekuatan finansial maka rekomendasi Parpol sangat mungkin untuk didapat.

Ketiga, fenomena calon perseorangan juga dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap partai politik. Warga negara yang selama ini sudah ‘muak’ dengan gaya berpolitik Parpol mencoba melakukan perlawana melalui kompetisi resmi bernama Pilkada. Apabila calon perseorangan berhasil memenangi Pilkada maka tentu hal tersebut menjadi pukulan telak bagi partai politik. Pukulan telak karena dengan kemenangan dari jalur calon perseorangan maka hal tersebut menunjukkan bahwa partai politik tidak memiliki hati dimata rakyat. Kemenangan calon perseorangan dalam Pilkada bukanlah ‘khayalan anak perawan’ seperti lagu Dewi Persik. Kemenangan calon perseorangan telah dibuktikan dalam beberapa Pilkada seperti pada Pilkada NAD, Rote Ndou NTT, Kabupaten Batubara dan Garut, Jawa Barat.

Keempat, kemenangan calon perseorangan dalam Pilkada juga menunjukan bahwa partai politik tidak berhasil menjalankan fungsinya dalam melakukan fungsi rekrutmen dan pendidikan politik. Apabila partai politik berhasil menjalankan fungsi rekrutmen maka orang yang dicalonkannya adalah orang yang telah dikader dan dipersiapkan untuk memimpin suatu daerah dan diprediksi dapat merebut kemenangan. Sebab, rekrutmen disini memiliki arti bahwa partai politik adalah lembaga resmi  atau distributor yang paling tepat dalam menyuplai tokoh-tokoh yang akan memimpin suatu daerah. Kalau kepala daerah yang dipilih oleh rakyat dalam Pilkada adalah calon perseorangan maka hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa partai politik bukanlah distributor pemimpin seperti diharapkan oleh konsumen (rakyat) dalam Pilkada. Partai politik tidak dapat menyediakan ‘barang’ sesuai permintaan pembeli.

Munculnya calon perseorangan dengan potensi kemenangannya merupakan ancaman tersendiri bagi Parpol. Ancaman karena Parpol yang merupakan pilar demokrasi terbukti tidak mampu menjalankan fungsi subtansialnya sebagai institusi yang harus melakukan pendidikan, kaderisasi, retrumen  dan sosialisasi politik. Kemunculan dan kemenangan calon perseorangan dapat menjadi angin segar bagi rakyat yang semakin resah dengan perilaku partai politik. Rakyat akan menjadikan fakta ini (kemenangan calon perseorangan) sebagai energi dan amunisi untuk melawan doninasi dan oligarki partai politik dalam suksesi kepemimpinan tingkat lokal. Rakyat semakin memiliki keyakinan bahwa kepemimpinan tingkat lokal dapat diraih tanpa partai politik.

Artinya, calon perseorangan dengan potensi kemenangan yang dimiliki akan memperkuat keyakinan atas ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik serta keyakinan bahwa rakyat dapat melaksanakan demokrasi tanpa partai politik.

Ketidakpercayaan rakyat terhadap Parpol tentu tidak akan berhenti pada level pemilihan ditingkat lokal atau Pilkada semata melainkan hal tersebut dapat memicu lahirnya tuntutan agar pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu tidak harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik seperti ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Apabila dalam Pilkada dan Pemilu seseorang dapat mencalonkan diri tanpa harus diusung partai politik maka tentu saja dapat dipastikan bahwa partai politik tinggal menunggu waktu untuk menuju liang lahat.

*Penulis adalah Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unisma dan Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry