M. Isa Ansori (kanan), Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur, Pengajar Psikologi Komunikasi di STT Malang, Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim. (DOK)

“Saya meyakini bahwa gagasan yang baik tidak akan selalu bisa diterima dengan baik, bila sosialisasinya tidak dilakukan dengan baik. Sehingga penting bagi Pak Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy untuk mencoba mempelajari kembali dinamika masyarakat sembari mencoba meluruskan kembali gagasan lima hari sekolah.”

Oleh: M Isa Ansori

MINGGU minggu ini publik disibukkan dengan perdebatan tentang gagasan Lima Hari Sekolah (LSH) yang tertuang di dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2017 dengan jumlah waktu 40 jam ataukah 6 hari belajar dengan jumlah jam yang sama, 40 jam pelajaran selama satu mingggu. Sejatinya sudah banyak sekolah yang melaksanakan kegiatan 5 hari belajar dengan jumlah jam pelajaran per harinya selama 8 jam dan hari sabtunya bisa libur bersama keluarga atau melaksanakan kegiatan pengembangan bakatnya.

Gagasan lima hari belajar oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tidak sama dengan gagasan Full Day School  (FDS) yang sudah dikenal selama ini. Secara substantif, gagasan 5 hari belajar sejatinya jam belajarnya tetap 5 sampai 6 jam dan 2 sampai 3 jamnya dipergunakan untuk melakukan pendampingan pengembangan bakat anak-anak. Sementara FDS jumlah waktu 8 jam pelajaran semuanya digunakan untuk mempelajari bidang studi dan penguatan akademis, sehingga rentan sekali menimbulkan kelelahan dan tingkat stress yang cukup tinggi.

Gagasan Lima Hari Sekolah (LSH) yang ditangkap sebagai Full Day School harus dipertimbangkan kembali, karena jelas-jelas dalam FDS akan mengabaikan potensi lain siswa. Sementara kita semua sudah sepakat setiap anak mempunyai keunikan dan potensi yang berbeda satu sama lain. Apalagi isu pendidikan saat ini lebih difokuskan pada bidang pengembangan pendidikan karakter. Sehingga dibutuhkan ruang untuk pengembangan pendidikan karakter. Namun sebaliknya bila gagasan lima hari sekolah dimaknai sebagi ruang untuk pengembangan pendidikan karakter, maka sedah seharusnya ini menjadi kebutuhan bersama.

Kembali pada Permendikbud 23 tahun 2017, sesungguhnya bisa ditangkap sebagai upaya memformalkan hal-hal yang selama ini  sudah dilaksanakan oleh guru, namun belum diakui sebagai bagian dari jam mengajar, misalkan ketika siswa melakukan kegiatan praktek atau ekstrakurikuler di lapangan, pendampingan oleh guru selama ini tidak dihitung sebagai bagian dari jam belajar, sehingga pemenuhan 40 jam pelajaran oleh guru perlu dilakukan di jam lain atau di luar sekolah. Dalam Permendikbud ini kegiatan-kegiatan seperti di atas dapat dikonversi menjadi jam pelajaran. Sehingga Permendikbud ini dengan lima hari sekolah sangat membantu pemenuhan jam mengajar guru.

Contoh lain yang bisa dijadikan contoh bagus adalah dengan Permendikbud 23 tahun 2017, dimaksudkan akan adanya keterlibatan partisipasi publik yang dilakukan secara legal formal, sehingga proses-proses yang dilakukan di luar sekolah bisa terukur mendukung program yang dikembangkan oleh sekolah. Sebagai contoh, misalnya, dikembangkan di sekolah tersebut program menghafal Alquran 15 Juz sampai kelas 6 SD. Demi menunjang proses tercapainya hafal Alquran 15 juz itu bisa dilakukan oleh sekolah dengan mengadakan kerjasama yang terlembagakan, selanjutnya sekolah menyusun program bersama atau menyetujui program lembaga mitra untuk tujuan tersebut.  Sehingga pihak yang diajak kerjasama bisa mendapatkan benefit lain. Selama pendampingan dan atau  menunggu siswa selesai kegiatan, apa yang dilakukan oleh guru terkategorikan sebagai jam belajar mengajar.

Selain itu juga penting dipahami bahwa Indonesia itu luas terdiri dari kelompok tipologi desa dan kota, tentu saja penggambaran demografi tersebut juga akan menentukan tepat atau tidaknya serta efektifnya program gagasan lima hari sekolah tersebut. Nah alangkah baiknya juga pelaksanaan sekolah lima hari tersebut tidak harus ‘dipaksakan’ diterapkan di semua sekolah, tapi dibuat piloting dalam melaksanakannya dengan mengambil sample tipologi kota dan desa, baru setelah itu dibuatkan catatan baik dan tidaknya. Dengan data catatan tersebut akan dapat diambil sebuah keputusan yang tepat, tipologi sekolah seperti apa yang bisa menggunakan lima hari sekolah dan yang tidak, dan di mana bisa diterapkan.

Saya meyakini bahwa gagasan yang baik tidak akan selalu bisa diterima dengan baik, bila sosialisasinya tidak dilakukan dengan baik. Sehingga penting bagi Pak Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy untuk mencoba mempejari kembali dinamika masyarakat sembari mencoba meluruskan kembali gagasan lima hari sekolah. Semoga saja dengan ditundanya pelaksanaan program tersebut dan diperkuat dengan Peraturan Presiden akan menjadi momentum baik menyemai gagasan pendidikan Indonesia yang berkualitas, Bermartabat dalam bidang akademis dan kuat di dalam penanaman karakter…. Semoga! (*)

Isa Ansori, Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur, Pengajar Psikologi Komunikasi di STT Malang, Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak ( LPA ) Jatim.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry