“Masih berpakaian ihram, penulis berjalan ke-samping, menyelinap di sela Jemaah yang sedang bertawaf. Tubuh kian merinding ketika dinding Multazam tinggal berjarak 2 meter saja.”
Oleh Syarif Thayib, Dosen UINSA, PPIH Kloter 95 Surabaya

SEMUA Jemaah haji pasti mendambakan bisa “ngeloni” dinding Ka’bah. Terutama di titik Multazam, antara pintu Ka’bah dengan Hajar Aswad. Di situlah ratapan Do’a kita mustajabah (terkabul).

Yang dimaksud “ngeloni” (Jawa) disini adalah sungguh-sungguh memeluk Ka’bah dengan merapatkan dada, muka atau pipi, kedua siku, dan kedua telapak tangan kita ke dinding Ka’bah. Inilah posisi paling ideal yang diidamkan oleh seluruh Jemaah haji sampai kapan pun, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. (lihat Sunan Abu Daud, hadits nomor 1623).

Jelang adzan shubuh (10 Juli 2024), atau beberapa jam sebelum bergeser ke Madinah, penulis untuk pertama kalinya bisa umroh sunnah “pamungkas” bareng lima petugas haji Kloter 95 Surabaya, formasi lengkap.

Kami berlima sekaligus memastikan tugas pemantauan Tawaf Wada’ gelombang akhir (jemaah muda) sempurna. Nah, usai Tawaf “pamitan”  itulah, penulis berkesempatan dan sukses “ngeloni” Multazam – Ka’bah, plus mencium utuh Hajar Aswad.

Mengelola Perasaan Lansia

Musim haji dua tahun terakhir ini memang beda. Semua petugas haji, termasuk penulis, harus pandai-pandai menjaga “perasaan” Jemaah Lansia yang mayoritas. Jangan sampai mereka “nelongso” atas hasrat hati “ngeloni” Ka’bah, apa daya tenaga tak kuasa.

Selama ini, kami sengaja tidak mendekat ke dinding Ka’bah dalam pendampingan Jemaah ketika Tawaf dalam Umroh wajib, Tawaf Ifadhah, maupun Tawaf di Umroh Sunnah. Biasanya, jemaah langsung kami giring menjauh dari Ka’bah, mendekati rute Sa’i untuk shalat Sunnah ba’da Tawaf dan lain-lain.

Namun, di luar pelaksanaan Tawaf di atas, tentu banyak Jemaah, terutama dari kalangan muda atau belum Lansia, melakukan tawaf secara mandiri, berkelompok, dan seterusnya, hingga sukses “ngeloni” dinding Multazam – Ka’bah.

Kok, bisa? Bukankah titik itu yang paling diperebutkan oleh Jemaah haji, selain Hajar Aswad? Bagaimana caranya? Bisik seorang Jemaah (hampir) Lansia kepada penulis.

Memang, tidak semua orang bisa menyentuh, apalagi “ngeloni” dinding Multazam – Ka’bah. Tetapi kalau sudah tahu caranya, pastilah mudah.

Penulis pernah mendapatkan resep dari almaghfurlah KH Ahmad Thobib, pengasuh pesantren Alqur’an Muhyiddin Gebang Kidul Surabaya, bagaimana caranya “ngeloni” Ka’bah.

Untuk mudahnya, penulis gunakan cara dimaksud dengan akronim FIP, yaitu: fokus, ikhlas, pasrah. FIP ini bisa digunakan untuk menyetel hati supaya tidak mudah frustasi kalau gagal. Juga bisa dijadikan resep untuk meraih sesuatu yang kita dambakan berhasil.

Pertama, fokus. Dari sini, kita bakal memperoleh kekuatan tambahan. Jangan berpaling ke tujuan lain, apalagi membiarkan pikiran ragu karena melihat realitas medan yang berat. Bertawasul saja dengan bacaan Shalawat Ibrahim, sambil “mewek“, seperti merengeknya anak kecil meminta mainan.

Penulis melakukan hal di atas, menangis seperti anak kecil yang meminta Ayahnya memenuhi maunya. Sang “Ayah” adalah Nabi Ibrahim, bapaknya para Nabi. Shalawatnya terus penulis baca, sambil menunjuk-nunjuk dinding Multazam yang sudah di depan mata.

Kedua, ikhlas. Jangan manjakan ego, ambisi, apalagi nafsu “harus sukses” menciumi Multazam – Ka’bah. Kalau tersikut, muka kena tonjok, kaki terinjak, atau tubuh terpelanting, ikhlaskan saja apa yang terjadi dalam proses memburu sesuatu. Mengejar sukses itu berliku. Jangan ada sedikitpun perasaan emosi (negatif) mengganggu.

Ketiga, pasrah. Sekali lagi, nol-kan ego, bahwa sukses itu bukan apa kataku, tetapi karena totalitas pasrah kita padaNya. Pasrahkan saja untuk urusan hasil dari ikhtiar kita. Bukankah Allah tegaskan, bakal memenuhi harapan dengan modal kepasrahan total kita? (lihat QS. At-thalaq: 3).

Prosesi Sukses “Ngeloni” Multazam

Masih berpakaian ihram (tanpa celana dalam dan kain berjahit), penulis berjalan ke-samping, menyelinap di sela-sela Jemaah yang sedang bertawaf. Tubuh kian merinding ketika dinding Multazam tinggal berjarak dua meter saja.

Rengekan tangis mulai pecah, sambil terus mendekat melawan arus dengan bacaan shalawat Ibrahim. Penulis sempatkan berhenti, berdiri tegak sejenak menatap dinding Multazam yang pernah dipeluk oleh Rasulullah SAW. Juga membayangkan, bagaimana para kekasih-Nya, dan orang-orang besar sukses mendekapnya.

Tangisan penulis kian menjadi, ketika dengan mudahnya berhasil menyelinap dan mendekap dinding Multazam. Hanya hitungan detik saja dari posisi berdiri tegak sejenak sebelumnya.

Kini, posisi penulis sudah sempurna, benar-benar “ngeloni” Ka’bah. Pipi kanan menempel utuh. Dada melekat kuat di dinding Ka’bah, tanpa terhalang kain ihram yang sudah lebih dulu tersingkap. Kedua telapak tangan dan siku-pun menyatu dengan dinding Ka’bah, seraya bayangan Do’a pamungkas, penulis luapkan tanpa ragu sedikitpun.

Entah mengapa, seketika bayangan dosa diri masa lalu yang bejibun datang menindih permintaan diri yang “sundul langit”. Pun, terngiang dalam benak, beberapa rintihan doa para Nabi dalam pengakuan dosa dan ekspresi memuji Sang Maha Kekasih.

“Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al Anbiya’: 87) Sebagaimana doa Nabi Yunus ketika dalam perut ikan.

Juga doa Nabi Adam dan Hawa usai diturunkan dari Surga, QS. Al A’raf: 23, “Keduanya (Adam dan Hawa) berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”

Berikutnya, doa Nabi Ya’qub ketika ditimpa kesulitan: “Dia (Ya’qub) menjawab ‘Hanya kepada Allah, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’.” (QS. Yusuf: 86).

Ditambah doa permohonan ampun Nabi Musa dengan kepasrahannya: “Wahai Allah, aku telah menganiaya diriku sendiri, ampunilah aku.” (QS. Al Qashash: 16).

Dilanjut pada ayat ke 24: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.

Kemudian doa Nabi Ayyub ketika tertimpa musibah panjang yang terabadikan dalam QS. Al Anbiya: 83. “Wahai Allah, bahwasanya aku telah ditimpa bencana, Engkaulah Tuhan yang paling penyayang diantara penyayang.”

Terakhir, tak lupa lantunan do’a Nabi Ibrahim: “Cukuplah bagi kami Allah, sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong kami.” (QS. Ali Imran: 173).(*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry