Oleh: Suparto Wijoyo*
MEIKARTA kini menjadi bincangan yang berbeda dari semula kehadirannya yang penuh gempita promosi di media-media besar, nyaris tidak terbayangkan berapa ongkos yang dikeluarkan. Sekarang orang menggumam atasnya sehubungan dengan OTT KPK di tatar Bekasi yang melibatkan bupati dan jajarannya. Meikarta dalam naungan Lippo Group. Iklan tanpa bayar kalau sekadar terkenal dengan sebutan ada pusaran suap yang dilakukannya kepada para pejabat di Kabupaten Bekasi berkenaan dengan prosedur administrasinya, sungguh ada kecewa di khalayak. Perizinan untuk kelengkapan wahana properti, tempat hunian, dan kota mandiri yang diimpikan kawula milenial atas nama kenyamanan maupun keamanan ternyata “ditempuh penuh sangka”. Ada suap yang diungkit OTT KPK di dalamnya dan baunya semakin menyengat dengan gerakan KPK untuk memberantas praktik rasuah.
Berita yang berkembang kemudian adalah fenomena korupsi di bilik-bilik korporasi, di jengkal badan hukum, di lorong-lorong perusahaan dagang. Kondisinya memang berbeda tetapi narasinya searah bahwa konglomerasi dan monopoli acap menghadirkan laku korupsi yang mengingatkan pada zaman “kuasa dagang” yang dilakukan VOC. Banyak orang punya pemahaman atas sejarah lama dan “tradisi korupsi” yang diajarkan VOC alias Verenigde Oost-Indische Compagnie sejak 20 Maret 1602 sampai 31 Desember 1799. Lakon suap-menyuap tampak menggumpal dalam peradaban yang menyambungkan antara pejabat nakal dengan konglomerat binal.
VOC merupakan konglomerasi dagang yang dihelat untuk menyaingi kongsi dagang Spanyol dan Portugis yang lebih dahulu bercokol di Nusantara. Pemerintahan “rakus” Belanda yang merasakan nikmatnya menjarah kekayaan rempah-rempah semakin kemaruk untuk “menguntal” sendirian. Petinggi birokrasi Kerajaan dan perusahaan Belanda memutar siasat melawan pesaingnya itu dengan membuat VOC. Enam perusahaan dagang di Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuyzen setuju bersatu mendeklarasikan VOC pada 20 Maret 1602.
Semboyan yang diusung adalah untuk utama meraup untung sebesar-besarnya demi tercapainya Gold dan Glory (kekayaan dan kejayaan) bagi Imperium Belanda. Niat ambisius ini direstui oleh Kerajaan Belanda dengan memberikan sejumlah keistimewaan untuk VOC yang secara teknis politik perdagangan menjadi perpanjangan tangan Kerajaan di tanah Ibu Pertiwi. Rahim Ibu Pertiwi dikeruk dengan kekuasaan dan keuangan yang membanjiri Kerajaan Belanda dengan rupa-rupa harta yang sampai hari ini orang-orang turun kolonialis itu menikmatinya.
Dalam Oktrooi, Piagam VOC tertanggal 20 Maret 1602 dicantumkan dengan terang hak monopoli berdagang maupun berlayar ke wilayah Nusantara. VOC sedemikian kuatnya dengan kekayaan yang melimpah dari “lelehan darah” Ibu Pertiwi yang mengerang akhirnya membentuk angkatan bersenjata. VOC setarikan nafas seperti negara yang memiliki kewenangan bisa menyatakan perang dan menjalin “tipu daya” yang dibungkus perjanjian dengan raja-raja Nusantara. Dalam Oktrooi VOC secara terang disebutkan memiliki hak yang sangat spesial berupa pernyataan bahwa tidak satu pihak korporasi selain VOC yang diperbolehkan mengirimkan kapal-kapal dari negeri Belanda ke daerah Nusantara.
Konglomerasi VOC sangatlah kuat. Tetapi pada akhirnya runtuh alias bangkrut pada 31 Desember 1799 karena menjalarnya “tradisi korupsi” di tubuh VOC maupun pemerintahan kaum penjajah untuk selanjutnya menghadirkan Hindia Belanda (1818-1942). Praktik ini tidak serta-merta sirna dengan bubarnya VOC sebab para pejabatnya tetaplah membaur dalam penguasa Hindia Belanda yang selanjutnya “bersiasat” dengan kaum penguasa Ibu Pertiwi dengan cultuurstelsel yang amat menyengsarakan rakyat.
Para penguasa di kerajaan-kerajaan Nusantara mengambil kesempatan meniru ndoro penjajah kalau kekuasaan itu identik dengan sogokan dan suapan melaui upeti yang terkirim rutin. Persis dengan zaman sekarang di mana dinas-dinas Pemda setor rutin ke parlemen daerahnya sebagaimana terungkap dalam OTT KPK di banyak daerah. Pengusaha pun tidak segan memberikan suap sebagai “tanda cinta” agar terus dimudahkan pelayanan perizinannya atau tetap dijadikan rekanan mengerjakan proyek-proyek pemerintahan.
Memang setiap ada korupsi sejatinya menyentuh pula titik nadi korporasi dan untuk itulah Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan MA No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Dengan dasar hukum inilah aparatur penegak hukum menuntaskan kasus korupsi yang dibaliknya diduga ada “penguasa malam” yang bernama perusahaan dagang. Tentu hal ini tidak hanya di Bekasi. Korupsi yang berupa penggarongan uang negara dari postur APBN-APBD, pun ada yang berasal dari korporasi yang ngangkangi sumber daya alam. Hentakan berita yang menyerta adalah bahwa perut Ibu Pertiwi “diperkosa dengan luka menganga” yang dapat disimak dari kejauhan.
Wilayah Kalimantan dan Papua membeber bekas-bekas tambang yang menimbang luka perih atas dalamnya duka bangsa. Semua tertunduk lesu dan siap mengangguk bahwa kekayaan Bumi Nusantara kian menyuguhkan gelisah akibat kelakuan yang mengatasnamakan investasi yang tidak “senonoh” langkahnya. Pencemaran dan perusakan lingkungan terjadi menghantam ke sekujur tubuh rakyat. Daerah kaya tambang menampilkan anomali kemiskinan yang mencekam. Areal bekas tambang dipameri meminta tumbal “kematian anak-anak yang riang bermain uang saku recehan dari penguasaha”. Nasib kian malang. Penegakan hukum atas kondisi inilah yang harus pula disikapi serius. Semua areal bekas tambang yang mengabaikan reklamasi semestinya patut diduga ada “permainan”. Kalaulah ditemukan realitas demikian, yakinlah bahwa di situ telah dirancang perkongsian korupsi yang melibatkan birokrasi dan korporasi.
*Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga