“Aneh, jika ada ahli gizi (AG) gunakan pemanis buatan. Atau menyajikan makanan dengan pengawet, perasa, dan pewarna. Padahal inilah yang membuat anak ketagihan dan kehilangan selera terhadap makanan alami,”
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan*

RABU pagi, 24 September 2025. Saya menerima kiriman foto menu MBG lima hari sebelumnya. Sebuah potret sederhana, namun menyimpan banyak cerita. Saya amati satu per satu isi ompreng itu. Tampak menarik secara visual, rapi, dan menggoda. Tapi di balik kemasan yang cantik, tersimpan pertanyaan besar: Benarkah ini makanan bergizi?

Isi ompreng itu terdiri dari Susu rasa-rasa atau gula rasa susu yang dikemas apik. Ada krupuk kemasan. Sanggai kemasan. Saos kemasan. Makanan masakan siap saji yang tergolong ultra processed food (UPF). Jika kita cermai, benar-benar minim serat

Saya mencoba memahami. Mungkin Kasatpel SPPG memilih kepraktisan. Hemat tenaga. Tampak bagus. Tapi apakah program MBG memberi toleransi hanya karena alasan praktis, tanpa mempertimbangkan bahaya jangka panjang dari makanan kemasan?

Antara Praktis dan Prinsip: Mana yang Dipilih?

Dalam Sarasehan Halal Food di Pesantren Al Azhaar Kedungwaru, Sabtu 22 Juni 2024, Prof. Sukoso menegaskan pentingnya mengembalikan anak-anak pada asupan yang sehat, aman, halal, dan thoyib.

Ia mengingatkan bahwa anak-anak kini terbiasa mengonsumsi makanan kemasan—padahal dampaknya bisa sangat serius: hilangnya selera terhadap makanan sehat, obesitas, hipertensi, diabetes, bahkan risiko kanker.

Saya teringat tahun 1998, saat mulai mengelola dapur pesantren. Kampanye makanan sehat, halal, dan thoyib menjadi prinsip utama. Kami hindari MSG, pewarna sintetis, asam benzoat, formalin, pengawet, dan pemanis buatan. Karena kami percaya: makanan adalah pendidikan. Apa yang masuk ke tubuh anak, membentuk masa depannya.

Ketika Ahli Gizi Lupa Amanah

Terkejut, jika masih ada ahli gizi (AG) di dapur SPPG yang menggunakan pemanis buatan. Atau menyajikan makanan dengan pengawet, perasa, dan pewarna. Bukankah mereka tahu bahwa hampir semua makanan kemasan dirancang untuk menggoda lidah—lezat, gurih, pedas kimia—namun membuat anak ketagihan dan kehilangan selera terhadap makanan alami?

Prof. Efi Saati dalam Sarasehan Halal Food (21 Juni 2025) menyebut makanan kemasan sebagai kategori makanan kurang sehat. Ia menyerukan agar dapur anak-anak tidak lagi menggunakan makanan kemasan. Karena dampaknya bukan hanya pada tubuh, tapi juga pada karakter dan kebiasaan makan anak.

Jika Ahli Gizi Tidak Peduli, Mau Ke Mana Arah Perbaikannya?

Pertanyaan besar pun muncul: mengapa dalam program MBG masih sering ditemukan makanan kurang sehat dan kurang bergizi? Bukankah MBG digagas untuk memperbaiki gizi anak?

Jika dapur SPPG masih menghadirkan UPF, maka kita sedang membiarkan anak-anak mengenal makanan berbahaya dari program yang seharusnya melindungi mereka. Produsen UPF tidak peduli pada dampak kesehatan. Tapi kita, para pendidik, pengelola program, dan ahli gizi, harusnya peduli.

Sangat disesalkan jika AG di dapur SPPG masih menganggap UPF sebagai makanan yang layak disajikan dalam program MBG. Karena MBG bukan sekadar program makan. Ia adalah amanah. Ia adalah ikhtiar untuk menjaga masa depan anak-anak bangsa.

Kembali ke Gizi yang Hakiki

Gizi bukan sekadar angka kalori. Ia adalah nilai. Ia adalah pendidikan. Ia adalah perlindungan. Mari kita kembalikan MBG pada ruhnya: memperbaiki gizi anak dengan makanan yang sehat, halal, thoyib, dan penuh cinta. Bukan sekadar praktis dan menarik secara visual, tapi benar-benar membangun tubuh dan jiwa anak-anak kita.

*Imam Mawardi Ridlwan adalah Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

..

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry