“Tentu, menarik apabila takmir membuka ‘MasjidMart’ yang menyediakan kebutuhan jamaahnya. Maka ekonomi sandang-pangan akan bergerak dan semangat kebangkitan ekonomi rakyat dari masjid.”
Oleh Suparto Wijoyo*

SEMUA tahu bahwa pemerintah mempunyai program yang sangat populis. Namanya Makan Bergizi Gratis, disingkat MBG. Program ini butuh anggaran besar. Dana MBG disampaikan oleh Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana akan menelan biaya Rp336 triliun. Sambutan masyarakat beragam, tetapi saya tidak mengevaluasinya. Dampak positif atas kebijakan MBG ini dianggitkan sangat bagus bagi penguatan SDM Indonesia ke depan. Lantas kini memasuki pekan perdana Ramadhan 1446 H. Sebelum sampai pada tataran MBG versi skenario Ramadhan, saya ingin merenungi kemuliaan ajaran puasa Ramadhan ini.

Sungguh saya tertegun. Subhanallah. Segala puja bagi yang memuja dan segenap puji untuk yang memuji. Kepada-Nya dipersembahkan. Teguhkanlah bahwa kebesaran dan kemegahan dalam bentang semesta merupakan gelombang kecil pada genggaman kuasa Nya. Tataran bima sakti yang membersitkan gerak galaksi dan memanggungkan putaran bintang-gemintang, bulan, bumi maupun matahari, berikut planet-planet yang berjibun jumlahnya, sejatinya hanyalah seberkas “jasad renik” dalam arasy-Nya. Pelajarilah bagaimana planet-planet itu dalam Alquran dikreasi hingga diwerdikan sebagai bagian kecil saja dari tanda-tanda maghligai otoritas-Nya. Untuk itulah Allah swt memerintahkan agar manusia senantiasa berfikir, karena di setiap dirinya ada separangkat “jaringan elektronik humanis” guna mendayagunakan akal. Berpikir adalah seruan-Nya dalam serumpunan 1 firman-Nya. Maka bertadabburlah (mengkaji secara tekstual) atas seluruh indikator indikator kinerja alam semesta dalam Alquran tanpa henti, sambil bertafakkur (mengkaji secara kontekstual) pada setiap percikan karya cipta-Nya.

Pandangkan sorot mata ke segala arah, engkau akan menyaksikan ketidakterhinggaan sumber ilmu. Setiap titik koordinat yang mampu dijangkau oleh panca indra pastilah menyentuh kosmologi yang Allah swt telah perhelatkan. Tengoklah dengan dongakan berapapun derajatnya dan rebahkan badanmu sampai pada lengkung sujud manapun, dan berpalinglah ke kanan, ke kiri, bahkan ke bawah sampai dlosor, kau akan menyemai “tikar-tikar” iman yang semakin menebal, apabila mau mempergunakan daya pikir. Jumputlah setiap debu yang kalian dapati, disitu diketemukan partikel pembentuk gumparan tanah yang dapat menghasilkan berjuta halaman buku untuk menerangkan asal muasal materinya. Sampai pada lingkup inilah saya semakin memahami, mengapa dalam Islam diutamakan untuk lebih memikirkan apa yang seharusnya ditadabburi dan ditafakuri selain eksistensi Tuhan. Pikirkanlah ciptaan-Nya daripada engkau menjelajahkan nalarmu untuk Sang Maha Ada.

Pada deret waktu ini saya terpesona atas hadirnya lingkar penjelajahan ruhani yang mendebar dengan sukma yang membuncahkan pesona Ramadhan. Ini kali saya menyaksi sesuatu yang semula hanya sederet pejalan kaki untuk kemudian membentuk formasi yang menggelombang memanjang dengan pakaian mukena yang tampak memancarkan cahaya. Saat azan berkumandang menandakan waktu shalat isya’ yang berbalut tarawih, setarikan nafas yang terhela lega, saya menafsir satu-persatu kaum penyemat mukena itu ke luar seperti “sepasukan burung hud-hud” yang beriring berjalan, sebelum akhirnya memenuhi ruang-ruang masjid di setiap jengkal kawasan yang dihuni pengiman Islam.

Pergerakan “mukena putih” itu berkelebat membentuk formasi yang hendak ditujunya: untuk menghantarkan raga bersukma menyimpuhkan diri di rumah Allah swt dengan cita rasa paling sempurna. Dari amatan inilah saya memberikan rasa hormat yang tinggi bahwa ibadah terawih sesungguuhnya memanifestasikan sebuah gerakan yang telah mampu membangun konstruksi sosial tentang perjalanan orang-orang menenun tauhid. Tarawih adalah pergerakan tauhid yang melalui “ritual inilah” Tuhan memberikan al-furqon kaum pemanggul iman yang sedang menjemput hidayah. Tidakkah ini sebuah keindahan sosial yang niscaya membisikkan kerinduan yang setia dinanti kedatangannya sebagai “tamu 2 agung” di setiap tahunnya. Kelebat mukena dan lampitan sarung santri mewarnai malam malam isya. Ini adalah keindahan.

Masjid-masjid pun seketika menjadi seberkas bola lampu tempat bergerombolnya “laron-laron” untuk mengayuh berkah. Bagaimana tidak. Setiap jelang maghrib di masjid masjid itu tersedia pula beraneka ragam takjil. Santapan kecil pembatal puasa. Umat terpanggil berbagi makanan. Ada yang diorganisir DKM. Ada pula yang spontan. Ini melebihi gerakan makan bergizi gratis. Skema MBG model Ramadhan disediakan langsung oleh umat, tidak mengganggu anggaran negara. Pakai anggaran keluarga masing-masing warga dengan semangat berbagi. Hari-hari ini, butuh makan petang, cukup datang ke semua masjid. Santapan ringan dan berat cumepak. Bahkan ada yang “mberkat” untuk disimpan keperluan makan sahur. Masjid-masjid itu semakin makmur. Saya teringat Q.S Al-A’raf: 31: “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap kali memasuki masjid. Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. Dalam Q.S At-Taubah ayat 18 dinyatakan: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta (tetap) menegakkan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Maka mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Pada tataran ini tentu menarik apabila takmir membuka MasjidMart yang menyediakan kebutuhan jamaahnya. Maka ekonomi sandang-pangan akan bergerak dan semangat kebangkitan ekonomi rakyat dari masjid. Juga gerakan sedekah MBG semakin lengkap dengan iringan doa serta berkah dari umat untuk umat. Barokallah. (*)

*Prof Dr H Suparto Wijoyo SH, MHum, CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry