
DEMAK | duta.co – Di alun-alun Demak berdiri sebuah bangunan yang hingga kini menjadi saksi lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa Masjid Agung Demak. Dengan empat saka guru dari kayu jati, masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan simbol berdirinya Kesultanan Demak dan kemenangan Islam di tanah Jawa.
Namun, sebuah masjid, seagung apa pun bentuknya, tidak berarti tanpa seorang imam. Dari titik inilah muncul sosok yang namanya jarang disebut dalam buku sejarah, tetapi hidup dalam ingatan masyarakat; Sayyid Zainal Abidin, yang akrab disebut Mbah Surgi.
Setelah masjid berdiri, pertanyaan besar muncul. Siapa yang layak menjadi imam pertamanya? Para wali dan penguasa menyepakati satu nama; Mbah Surgi. Alasannya jelas. Beliau seorang alim keturunan Nabi Muhammad SAW, nasabnya mulia, ilmunya dalam, akhlaknya terjaga. Dengan dipilihnya Mbah Surgi, Demak bukan hanya memiliki imam, tetapi juga legitimasi spiritual yang mengikat kerajaan dengan nilai-nilai Islam.
Sejak itu, setiap kali adzan bergema, Mbah Surgi maju ke mihrab, menuntun jemaah dalam salat, termasuk Sultan Raden Patah sendiri. Ia bukan pemimpin politik, bukan pula wali besar yang berdakwah ke seluruh penjuru. Tugasnya sederhana, tetapi sangat menentukan menjaga agar shalat tetap tegak di jantung kerajaan Islam Jawa.
Penjaga Ruhani, Bukan Sekadar Nama
Peran Mbah Surgi adalah contoh bagaimana sejarah tidak hanya ditulis oleh para raja dan wali, tetapi juga oleh mereka yang menjaga keseharian ibadah. Sultan mungkin mengatur kerajaan, Wali Songo mungkin menyebarkan dakwah, tetapi Mbah Surgi memastikan bahwa Masjid Agung Demak tidak pernah sepi dari takbir dan doa.
Dalam tutur masyarakat, Mbah Surgi dikenal sebagai pribadi sederhana. Jubahnya lusuh, kata-katanya sedikit, tetapi wibawanya terasa. Ia lebih memilih diam di masjid, menjadi penjaga ruhani yang membuat bangunan itu hidup. Tidak heran, hingga kini masyarakat menyebutnya dengan penuh hormat Mbah Surgi, sang imam pertama.
Setelah wafat, Mbah Surgi dimakamkan di kawasan sekitar Demak. Hingga kini, makamnya menjadi tujuan ziarah. Setiap tahun, masyarakat menggelar haul Mbah Surgi dengan tahlil, shalawat, dan doa. Tradisi ini bukan sekadar ritual, melainkan cara untuk mengingat bahwa Masjid Demak pernah dijaga seorang imam yang tulus.
Bagi peziarah, haul Mbah Surgi adalah momen meneguhkan keyakinan bahwa sejarah besar tidak hanya berdiri di atas politik dan strategi, tetapi juga di atas doa dan kesetiaan. Ada ungkapan yang sering didengar di Demak.
“Masjid iki didegake para wali, nanging sing njaga sholate yo Mbah Surgi (Masjid ini memang didirikan para wali, tetapi yang menjaga shalatnya adalah Mbah Surgi),”
Refleksi untuk Umat Hari Ini
Kisah Mbah Surgi membawa pesan yang amat relevan. Hari ini, kita sering sibuk dengan simbol masjid megah, kubah besar, pengeras suara modern. Namun, pertanyaan dasarnya tetap sama adakah yang menjaga shalat lima waktu di dalamnya?
Mbah Surgi mengingatkan kita bahwa ruh Islam tidak hidup karena bangunan, melainkan karena ibadah. Ia tidak meninggalkan kitab besar atau ajaran politik, tetapi meninggalkan teladan kesetiaan kesetiaan memimpin shalat, kesetiaan memakmurkan masjid, kesetiaan menjaga perintah Allah.
Dalam konteks sekarang, setiap kita bisa menjadi “Mbah Surgi” di lingkup kecil masing-masing. Imam di rumah, penjaga mushalla kampung, atau sekadar orang yang setia mengajak tetangga ke masjid. Sejarah besar memang ditulis oleh raja dan wali, tetapi ruh sejarah itu dijaga oleh orang-orang sederhana yang setia pada doa dan sujud.
Mbah Surgi adalah cermin bahwa dalam perjalanan Islam di Jawa, ada nama-nama kecil yang besar di mata Allah. Mereka mungkin tidak tercatat di naskah resmi, tetapi jejaknya abadi dalam doa masyarakat. Tanpa mereka, sejarah besar hanya akan menjadi bangunan kosong tanpa ruh.
Masjid Agung Demak berdiri hingga kini sebagai simbol kejayaan Islam Jawa. Dan di balik keagungannya, ada doa seorang imam pertama Mbah Surgi yang menjaga agar masjid tidak hanya berdiri megah, tetapi juga hidup dengan shalat dan dzikir. (din)