“Buku ‘Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari Pemersatu Umat Islam Indonesia – Percik Pemikiran Reflektif Socio-Religious KH Abdul Hakim Mahfudz, ini menyuguhkan hal penting bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Selain urgen isinya, buku ini enak dibaca berulang-ulang.”

Oleh Yusuf Hidayat, Alumni PP Tebuireng, Jombang

IBARAT Sumur, pemikiran almaghfurlah KH M Hasyim Asy’ari itu semakin digali semakin memancarkan kejernihan yang menyejukkan. Menuntun kita ke arah persatuan umat Islam sekaligus mengokohkan kita dalam berbangsa dan bernegara.

Kita, rasanya berhutang kepada almaghfurlah KH M Hasyim Asy’ari ketika bicara soal persatuan umat Islam. Bukan hanya Indonesia, tetapi juga kancah global (dunia). Begitu juga ketika kita bicara soal eksistensi negara (Republik Indonesia), maka, kontribusi pemikiran dan tindakan almaghfurlah KH M Hasyim Asy’ari terasa lekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) telah merekamnya dengan apik melalui buku bertajuk ‘Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari Pemersatu Umat Islam Indonesia – Percik Pemikiran Reflektif Socio-Religious KH Abdul Hakim Mahfudz’. Ketebalan buku ini (sebenarnya) cukup, 214 halaman. Begitu pula daftar pustakanya. Tetapi, bagi pembaca, jelas, terasa kurang untuk memotret lengkap sosok Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari.

Tidak terasa, saya pun berulang-ulang membacanya. Seperti larut dalam alur cerita, bagaimana Mbah Hasyim (panggilan populer Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari) menuntut ilmu, menghadapi penjajah, menyatukan kekuatan umat Islam dunia, sampai harus ‘cancut-taliwondo’ demi kemerdekaan dan eksistensi Republik Indonesia.

Tahun 1924 — dua tahun sebelum NU lahir – kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya, dengan mendirikan organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Saat itu, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari — yang telah menjadi sentral ‘pengaduan’ para masyayikh — dimohon mencari petunjukkan Allah SWT dengan shalat istikharah.

Tetapi, petunjuk itu tidak kunjung datang. Maka, dalam hati kecilnya, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari harus sowan kepada gurunya, Almaghfurlah KH Kholil bin Abdul Latif di Bangkalan, Madura. Ternyata, sang guru (Mbah Kholil) sudah mengutus seorang santri bernama As’ad Syamsul Arifin untuk menyampaikan tongkat sebagai pesan penting kepada Hadratussyaikh. Tidak hanya tongkat, almaghfurlah KH As’ad Syamsul Arifin juga membawa bacaan kalam Ilahi, Surat Thaha ayat 23. (halaman 38)

Dari sini, membaca kisah berdirinya jamiyah Nahdlatul Ulama (NU), kita dibuat merinding, penuh dengan ‘petunjuk langit’. Dari buku Gus Kikin, kita juga bisa membaca betapa dunia Islam sempat ‘oleng’ didera pertentangan paham, lahirnya paham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari seberang sana, Mesir. Ini klop dengan gerakan reformasi politik yang bergulir di Arab Saudi, yang memunculkan tanda-tanda orientasi baru soal paham keagamaan.

Seperti kita tahu, Arab Saudi  telah menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Meski tidak ada dokumen tetap, bahwa, Wahabi merupakan aliran resmi yang penyebarannya dibiayai negara, tetapi, fakta, bahwa jabatan strategis di sana, diisi kelompok mereka, seperti mengutamakan keturunan Muhammad Bin Abdul Wahhab.

Hebatnya, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, tetapi, menolak keras terhadap upaya melepaskan dari keterikatan mazhab. Didorong oleh semangat menciptakan kebebasan bermazhab, serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari bersama pengasuh pesantren membentuk Komite Hijaz yang diketuai Almaghfurlah KH Abdul Wahab Hasbullah.

Para masyayikh ini pergi ke Saudi Arabia untuk meminta agar Raja Ibnu Saud menerima atau memperbolehkan umat Islam mengikuti salah satu mahzhab dari Mazahabil Arbaah (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal) telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid. Dalam tuntutan itu sekaligus agar (Raja Saud) mengurungkan niatnya ‘memberangus’ situs-situs Islam, termasuk makam Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Padahal, saat itu, Raja Ibnu Saud inign menjadikan mazhab Wahabi sebagai mazhab resmi negara. Dia juga berencana menghacurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum mulimin karena dianggap bid’ah.

Akhirnya kegigigah Raja Saud pun luntur. Upaya para masyaikh NU berhasil. Kini, umat Islam dunia bebas melaksanakan ibadah di Makkah seusia dengan mazhab masing-masing. Itulah peran global (internasional) ulama pesantren Indonesia yang dimotori Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari. (halaman 29)

Belum lagi, kalau kita cermati semangat juang beliau dalam melahirkan ‘Fatwa Jihad’ yang kita kenal dengan Resolusi Jihad tahun 1945. Di mana saat itu (Republik Indonesia) tengah memasuki masa genting lantaran kembalinya penjajah lewat Kota Surabaya. Sekarang Fatwa Resolusi Jihad itu terpatri kuat dalam buku-buku sejarah. Bahkan Museum NU telah mengabadikan surat Raja Saud tersebut.

Jadi, Buku ‘Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari Pemersatu Umat Islam Indonesia – Percik Pemikiran Reflektif Socio-Religious KH Abdul Hakim Mahfudz, ini sangat menarik. Buku ini menyuguhkan sejarah penting bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Buku ini enak dibaca berulang-ulang. Harapannya, tentu, pemikiran Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari ini — baik dalam hal keagamaan maupun kebangsaan — menjadi buku ajar bagi anak didik kita. Semoga! (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry