“Tidak boleh berfatwa dari kitab-kitab yang aneh. Anda telah mengetahui bahwa kutipan dari kitab Mujarrabat Dairabi dan Masail Sittin yang menganjurkan salat tersebut [Rebo Wekasan] bertentangan dengan kitab-kitab fikih, maka salatnya tidak sah, dan tidak boleh berfatwa dengannya.”

Oleh: Ma’ruf Khozin*

SELASA 14 November 2017 atau 25 Shafar 1439 H adalah hari malam Rabu terakhir di bulan shafar. Atau sering disebut Rebo Wekasan. Masalah Rebo Wekasan (Rabu terakhir di bilan Safar) ini menjadi dinamika yang harmonis di kalangan para ulama kita, ada yang berkenan mengamalkan dan ada pula yang tidak berkenan. Namun tidak saling membidahkan, apalagi menyesatkan. Masalahnya tinggal sejauh mana menempatkan niat yang benar.

Pada umumnya, para ulama yang mengamalkan adalah para kiai yang mengamalkan Tarekat. Sebab, kitab-kitab yang menjelaskan masalah ini kebanyakan terdapat dalam kitab yang berkaitan dengan Tarekat.

Akan tetapi NU sebagai oraganisasi yang mewadahi Tarekat, yang di Badan otonom NU disebut dengan Jamiyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN), maka selayaknya bagi Ormas terbesar ini turut serta dalam menjelaskan apa sebenarnya yang boleh diamalkan dan sejauh mana amalan yang tidak diperbolehkan.

Dan kita sudah tahu bahwa para kiai di Tarekat, khususnya para Mursyid, sangat memahami masalah ini. Intinya, ada 2 hal yang harus dihindari, yaitu tathayyur (merasa sial) dan salat Rebo Wekasan.

Antara Tafaul dan Tathayyur

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ الْفَأْلَ الْحَسَنَ ، وَيَكْرَهُ الطِّيَرَةَ. – أحمد

Abu Hurairah berkata: “Rasulullah senang dengan Tafaul (mengharap baik) dan tidak suka dengan tathayyur (merasa sial)” (HR Ahmad)

عن أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ طِيَرَةَ ، وَخَيْرُهَا الْفَأْلُ » . قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ « الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ » – رواه البخارى)

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Tidak ada kesialan. Sebaik-baik merasa sial adalah tafa’ul” Sahabat bertanya: “Apa Tafaul?” Nabi menjawab: “Yaitu kalimat yang baik yang didengar oleh kalian” (HR al-Bukhari).

Oleh karenanya, banyak ulama kita bertafaul di bulan ini dengan menyebut ‘Shafar al-Khair’, atau bulan Safar yang baik. Yaitu berharap kepada Allah turunnya kebaikan dan tidak ada petaka. Namun, sudah biasa bagi ulama salafi-wahabi yang selalu banyak tidak sependapat dengan ulama lain, tokoh mereka berkata:

شهر صفر الخير. فهذا من باب مداواة البدعة بالبدعة ، والجهل بالجهل . فهو ليس شهر خير ، ولا شر – مجموع فتاوى ورسائل ابن عثيمين – ج 2 / ص 90

“Bulan Safar yang baik. Ini tergolong mengobati bidah dengan bidah, mengobati bodoh dengan kebodohan. Safar bukan bulan baik dan bukan bulan buruk” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin 2/90)

Keyakinan Tentang Kebaikan dan Keburukan Hanya Dari Allah

Dalam rukun Iman kita telah diajarkan bahwa baik dan buruk adalah takdir dari Allah. Demikian halnya dalam penjelasan Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallama:

قَالَ « أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ » – رواه البخارى

Allah berfirman [dalam hadis Qudsi]: “Hamba-Ku ada yang iman dan kafir kepada Ku. Jika ia berkata: “Kami diberi hujan karena anugerah Allah dan rahmat Nya, maka ia iman pada Ku dan kafir dengan bintang.” Jika ia berkata: “diberi hujan karena bintang, maka ia kafir pada Ku dan iman dengan bintang” (HR al-Bukhari)

Dasar inilah yang dijadikan pedoman bagi para ulama, seperti yang disampaikan oleh ahli hadis Syekh Abdurrauf al-Munawi:

وَالْحَاصِلُ أَنَّ تَوَقِّيَ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ عَلَى جِهَةِ الطِّيَرَةِ وَطَنِّ اعْتِقَادِ الْمُنَجِّمِيْنَ حَرَامٌ شَدِيْدَ التَّحْرِيْمِ إِذِ الْأَيَّامُ كُلُّهَا للهِ تَعَالَى لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ بِذَاتِهَا وَبِدُوْنِ ذَلِكَ لَا ضَيْرَ وَلَا مَحْذُوْرَ فيض القدير – ج 1 / ص 62 –

“Kesimpulannya. Menghindar dari hari Rabu dengan cara merasa sial dan meyakini prediksi peramal adalah haram, sangat terlarang. Sebab semua hari milik Allah. Tidak ada hari yang bisa mendatangkan petaka atau manfaat karena faktor harinya. Kalau bukan karena Dzat yang di atas, maka tidak apa-apa dan tidak dilarang” (Faidl al-Qadir 1/62)

Adakah Shalat Rebo Wekasan?

Dengan tegas Hadlratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari mengharamkan salat dengan niat Rebo Wekasan:

وَلاَ يَحِلُّ اْلإِفْتَاءُ مِنَ الْكُتُبِ الْغَرِيْبَةِ. وَقَدْ عَرَفْتَ اَنَّ نَقْلَ الْمُجَرَّبَاتِ الدَّيْرَبِيَّةِ وَحَاشِيَةِ السِّتِّيْنَ لاِسْتِحْبَابِ هَذِهِ الصَّلاَةِ الْمَذْكُوْرَةِ يُخَالِفُ كُتُبَ الْفُرُوْعِ اْلفِقْهِيَّةِ فَلاَ يَصِحُّ وَلاَ يَجُوْزُ اْلإِفْتَاءُ بِهَا

“Tidak boleh berfatwa dari kitab-kitab yang aneh. Anda telah mengetahui bahwa kutipan dari kitab Mujarrabat Dairabi dan Masail Sittin yang menganjurkan salat tersebut [Rebo Wekasan] bertentangan dengan kitab-kitab fikih, maka salatnya tidak sah, dan tidak boleh berfatwa dengannya” (Tanqih al-Fatwa al-Hamidiyah, NU Menjawab Problematika Umat, PWNU Jatim).

Namun, jika memang akan melakukan salat maka niatkanlah sebagai Salat Hajat, seperti dalam hadis berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى أَوْفَى الأَسْلَمِىِّ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « مَنْ كَانَتْ لَهُ حَاجَةٌ إِلَى اللَّهِ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ لْيَقُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ أَسْأَلُكَ أَلاَّ تَدَعَ لِى ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ حَاجَةً هِىَ لَكَ رِضًا إِلاَّ قَضَيْتَهَا لِى ثُمَّ يَسْأَلُ اللَّهَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ مَا شَاءَ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ

Hadis: “Barang siapa punya hajat kepada Allah atau diantara makhluk Allah, maka wudlu’lah dan salatlah 2 rakaat, lalu baca doa ….” (HR Ibnu Majah. Sebagian ulama menilai hadis ini dlaif, namun tetap boleh diamalkan)

Maupun salat Sunah Mutlak, dan salat Tasbih, maka diperbolehkan. Setelah salat kemudian dilanjutkan dengan berdoa.

Bolehkah Mengamalkan Doa Di Rebo Wekasan?

Jika berpegang kepada Akidah dan Syariah di atas maka mengamalkan doa di malam Rebo Wekasan (atau malam yang lain red.) boleh-boleh saja. Berikut penjelasan Ulama ahli hadis Syekh Abdurrauf al-Munawi:

وَيَجُوْزُ كَوْنُ ذِكْرِ الْأَرْبِعَاءِ نَحْسٌ عَلَى طَرِيْقِ التَّخْوِيْفِ وَالتَّحْذِيْرِ أَيِ احْذَرُوْا ذَلِكَ الْيَوْمَ لِمَا نَزَلَ فِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ وَكَانَ فِيْهِ مِنَ الْهَلَاكِ وَجَدِّدُوْا للهِ تَوْبَةً خَوْفًا أَنْ يَلْحَقَكُمْ فِيْهِ بُؤْسٌ كَمَا وَقَعَ لِمَنْ قَبْلَكُمْ – فيض القدير – ج 1 / ص 62

“Boleh menyebut Rabu sebagai ‘sial’ dengan cara untuk memberi peringatan. Yaitu hindari hari tersebut karena pernah turun adzab yang menyebabkan kebinasaan. Perbaharuilah taubat kepada Allah, agar tidak mengalami petaka seperti yang dialami kaum terdahulu” (Faidl al-Qadir 1/62)

Apa saja yang dapat diamalkan?

Berikut penjelasannya:

قَالَ ابْنُ رَجَبَ : الْمَشْرُوْعُ عِنْدَ وُجُوْدِ الْأَسْبَابِ الْمَكْرُوْهَةِ الْاِشْتِغَالُ بِمَا يُرْجَى بِهِ دَفْعُ الْعَذَابِ مِنْ أَعْمَالِ الطَّاعَةِ وَالدُّعَاءِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ وَالثِّقَةِ بِاللهِ – فيض القدير – ج 6 / ص 562

Ibnu Rajab berkata: “Yang disyariatkan jika ada hal yang tidak disuka, adalah dengan memper-banyak doa tolak bala’, yang terdiri dari perbuatan taat, doa, benar-benar pasrah dan percaya pada Allah” (Faidl al-Qadir 6/562).

*Pecinta Thariqat Mu’tabarah, Dewan Pakar Aswaja PWNU Jatim

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry