CIREBON | duta.co – Sesepuh Ponpes Buntet Cirebon Kiai Nahduddin Royandi Abbas, wafat di Barnet Hospital London, Inggris, Rabu (25/4/2018). Mbah Din, saapan akrab kiai kharismatik ini, berpulang ke ramhatullah setelah sakit sekitar dua minggu. Kiai yang ahli di bidang ekonomi ini memang sudah 59 tahun tinggal di London, Inggris.
Dikutip Duta dari buntetpesantren.org, situs resmi Pesantren Buntet, Kamis (26/4/2018), Mbah Din dikenal sebagai sosok yang penuh kelembutan namun tegas.
Di bawah ini sosok Mbah Din yang ditulis oleh santrinya, Ustad Nabil Harun atau Enha. Ustad Nabil Harun adalah dai sekaligus motivator, juga pengasuh Pondok Pesantren Motivasi Indonesia dan Istana Yatim Nurul Mukhlisin Bekasi.
Sosok tuanya tak berhasil menyembunyikan spirit pendidik khas kiai dalam menguraikan nasihat dan pesan hikmahnya. “Tawadhu'” itu kesan saya pertama kali berjumpa beliau di kediaman Pak Dubes beberapa waktu yang lalu. Selanjutnya pertemuan kami menjadi lebih intens baik secara langsung maupun via telepon, sepertinya beliau kangen berbincang langsung dengan aktivis pesantren berlatar-belakang NU kultural.
Saya memang tak mengenal banyak kalangan NU struktural, bagi saya mereka terlampau melangit, sulit disentuh, atau mungkin saya yang kurang genit menyapa mereka.
KH Royandi Abbas sudah 56 tahun tinggal di London, persisnya sejak tahun 1959. Di sini, tak banyak yang mengenal siapa sesungguhnya beliau, sebagian besar hanya mengenalnya sebagai pensiunan local staff di KBRI.
Padahal beliau ini murid langsung ulama Nusantara di Masjidil Haram yang sangat terkenal, Syekh Yasin Alfadani dan Syekh Hamid Albanjari. Sejak usia 18 tahun beliau sudah belajar kepada kedua gurunya tersebut di Kota Mekkah Al-Mukarramah. Saat ini, beliau diamanahkan sebagai pengasuh dan sekaligus tokoh sentral Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, menggantikan kakak beliau yang wafat, KH Abdullah Abbas.
Tinggal lama di Britania Raya tak menghentikan laju dakwah Islam yang disenanginya. Beliau berinteraksi langsung dengan banyak kalangan di negeri ini, termasuk dengan komunitas muslim dari India, Pakistan, dan Bangladesh.
Tak jarang beliau diundang ceramah atau memberikan motivasi keislaman, terutama yang terkait dengan gagasan Islam dan ekonomi pembangunan. Tak kurang Bank Indonesia Pusat sempat beberapa kali memintanya sebagai nara sumber terkait dengan keahliannya di bidang itu.
Tinggal di Apartemen Sederhana
Ketawadhu’annya benar-benar membumi. Tinggal di sebuah apartemen sederhana di Vivian Avenue di Kawasan Handon, tak jauh dari tempat saya tinggal di Wisma Caraka. Suatu pagi saya diundangnya untuk menikmati hidangan Nasi Goreng khas Ibu Nyai yang kini masih aktif bekerja di Kedutaan Brunei Darussalam. Kami berbincang banyak hal, hingga salah satu alasan mengapa beliau sangat mengapresiasi dakwah saya di negeri ini.
“Gagasan Islam Nusantara yang digulirkan lewat pendekatan motivasi itu mengena sekali untuk kaum muslimin di London. Akar keislaman harus didasarkan kepada keilmuan para ulama yang menyampaikan kita kepada al-quran dan sunnah nabi. Dulu ada muballigh yang seenaknya menghina almarhum Gus Dur. Disebutnya Gus Dur buta dan bila makan tak pakai etika. Sisa nasi belepotan ke mana-mana. Saya tanyakan kepada si Muballigh itu, kenalkah dengan menteri yang buta di Inggris di masa pemerintahan Tony Blair, bahkan setelah Blair menang pada periode kedua, sang menteri malah diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri, di negeri yang kata Anda kafir ini penghargaan kepada mereka yang disable tak menghina secara fisik, tapi Anda tokoh agama, ceramah ke mana-mana, mudah sekali merendahkan ulama sekelas Kyai Abdurrahman Wahid.” (tulis Ustad Nabil Harun mengutip Mbah Din, red)
Sang muballigh terdiam saja mendengar sanggahan KH Royandi Abbas, lalu setelah itu ceramahnya tak segarang pertama, karena beliau memantaunya terus.
Rendah Hati tapi Tegas
Beliau memang rendah hati, tapi pada saat menyaksikan ketidakbenaran dalam perilaku seseorang, beliau amat keras dalam teguran. Karena beliau merasa harus meluruskan kekeliruan orang tersebut.
Saya merasa menemukan ayah kedua setelah ayahanda KH Muhali yang saat ini masih segar memimpin Yayasan Al-Wathoniyah Al-Hamidiyah di Klender, tegas, keras pada disiplin, tapi tetap memberikan respect pada keilmuan. Tidak seperti banyak tokoh agama sekarang, utamanya yang muda-muda, mudah sekali merendahkan para ulama sepuh yang berbeda pendapat dengan mereka. Terutama pada gagasan Islam Nusantara. Berbekal popularitas, sudah berani menyebut ulama Nusantara dangkal.
Saya berkhidmat kepada beliau, sosok tawadhu’ yang menyembunyikan kebesarannya lewat aktivitas dakwah yang tak diketahui banyak orang. Benar-benar sebuah ketulusan yang membumi. “Seandainya masih ada yang lain, saya tak mau menduduki posisi kakak saya di pesantren ini,” katanya merendah.
Semoga Allah merahmati, memberkahi, dan meninggikan maqam beliau dalam khidmat kepada umat dan kepemimpinan beliau di Pesantren Buntet. hud, bpo