
“Oleh karena itu ia menyarankan agar semua kembali kepada ajaran tradisi dan tata kelola organisasi yang telah disepakati.”
Oleh Mukhlas Syarkun*
JAKARTA | duta.co – Islah, itulah yang diinginkan warga NU dan juga pengurus NU di daerah. Ini terekam apik dalam medsos nahdliyin maupun media mainstream. Apalagi Islah adalah ajaran Islam, ajakan mulia dan solusi dari segala pertikaian dengan damai dan bermartabat.
Adalah tepat dan bijak, ketika ada gegeran di elit PBNU, Mustasyar NU kemudian merekomendasikan agar dilakukan Islah. Itu juga yang ditekankan KH Ma’ruf Amin ketika diminta berpendapat.
Mengacu kepada AD/ART, sang mandataris muktamar (Rais Aam dan Ketum PBNU) kalau bermasalah serius, harus diselesaikan dalam forum yang sama, muktamar.
Namun disayangkan nasehat dari sesepuh itu diabaikan, akhirnya terjadilah dua kubu, yaitu kubu hotel Sultan dan kubu Kramat Raya. Di Hotel Sultan misalnya, pleno hanya dihadiri 25% dari anggota pleno. Pun di Kramat Raya, meski banyak yang hadir, rapat pleno disarankan diganti dengan konsolidasi penguatan penyelesaian bencana. Ini jauh lebih manfaat ketimbang penguatan masalah.
Dilihat dari tema memang bagus karena mengutamakan penuntasan bencana, artinya mayoritas warga NU tidak suka dipecah belah dan lebih menghendaki Islah demi masa depan. Jadi, perubahan pleno di Kramat Raya patut diapresiasi.
Ini sekaligus menjadi momentum dan muhasabah mereka yang bertikai bahwa kegaduhan yang diproduksi selama ini telah melukai rasa kebatinan warga NU, karena NU ini bukan milik pengurus tetapi milik semua warga.
Kalau tidak ada yang mengalah, maka konflik di tubuh elit PBNU ini hanya akan membuat kiai sepuh jadi repot, karena berbagai dinamika mulai dari pemecatan dll. tidak mencerminkan ajaran, tradisi atau tata kelola aturan organisasi NU itu sendiri.
Menarik dan penting pandangan Kiai Ma’ruf, bahwa dinamika ini sudah mengarah kepada permusuhan, perpecahan, kebencian dan merendahkan martabat seseorang yang pada akhirnya nama besar NU sendiri yang tercoreng.
Oleh karena itu ia menyarankan agar semua kembali kepada ajaran tradisi dan tata kelola organisasi yang telah disepakati. Menurutnya pemecatan yang dilakukan Rais Aam justru menimbulkan pelanggaran baru yaitu melanggar konstitusi NU, pelanggaran yang sudah Qoth’i, sementara yang dipecat kesalahannya baru tahap dhonny (masih perlu diklarifikasi).
Nah, ini patut menjadi momentum dan muhasabah bersama bahwa kegaduhan yang diproduksi selama ini telah melukai rasa kebatinan warga NU, utamanya warga nahdliyin sebagai pemilik utama. Bukankah begitu? Waallahu’alam bish-shawab. (*)





































