Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf (FT/MATAAIRRADIO)

SURABAYA | duta.co – Propaganda radikalisme di internet saat ini semakin marak. Tidak salah kalau  Lee Kuan Yeuw School Singapura merilis data View Research Center, bahwa 4 persen dari penduduk Indonesia (10 juta orang Indonesia) setuju konsep negara Islam. Lebih rinci lagi membaca pernyataan Direktur Wahid Foundation, Zanuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid), bahwa, warga Indonesia yang terlibat menjadi pejuang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) meningkat 60 persen. Awalnya hanya 500 orang, sekarang sudah 800 orang.

Menurut Mbak Yenny, hasil survei Wahid Foundation bersama Lingkar Survei Indonesia pada 2016 mengungkapkan 11 juta dari 150 juta penduduk muslim Indonesia siap melakukan tindakan radikal. Jumlah tersebut mencapai 7,7 persen dari total penduduk muslim Indonesia. Sedangkan 600 ribu atau 0,4 persen penduduk muslim Indonesia pernah melakukan tindakan radikal.

Kini muncul catatan menarik dari Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf, merujuk acara International Summit of Moderate Islamic Leader (ISOMIL) tahun lalu. Saat itu, Kiai Yahya ditanya seorang jurnalis, “Dengan banjir propaganda radikalisme di internet saat ini, apa yang bisa dilakukan oleh NU?” demikian wartawan itu bertanya.

“Saya tercekat karena tiba-tiba merasa ngenes. Saya tahu benar, bagaimana keadaan NU. Dan sekarang ada yang nanya semacam itu. Demi pencitraan, saya masih bisa berusaha senyum-senyum, tapi kalimat yang keluar dari mulut susah dikendalikan,” tulis Kiai Yahya dalam catatan kecilnya yang beredar di WhatsApp sampai Senin (24/4/2017).

“Ya sini! Kasih kami peralatan dan biaya! Akan kami kerjakan semuanya untuk mengalahkan propaganda mereka!” jawabnya.

Pertanyaan sejenis itu, jelas Kiai Yahya, rupanya digemari wartawan, karena bisa menjadi bahan instan untuk berita yang beranak-pinak, yaitu dari polemik antarpihak yang berseberangan, baik beda ideologi atau beda strategi atau sekedar tanggapan remeh-temeh dari pihak-pihak yang nggak mau ketinggalan pengen masuk berita juga.

“Ancaman radikalisme dan terorisme sudah sangat gawat. Apa yang akan dilakukan NU? Mendengar pertanyaan itu dalam konferensi pers ISOMIL tahun lalu, saya nggak tahan lagi. Saya muntab,” jelasnya.

“Kamu tahu nggak?” tanya Kiai Yahya menyalak.

“Kamu! Iya! Kamu! Kalian semua ini! Semua adalah target serangan mereka juga! Kalau mereka menang, kalian juga akan digorok digantung di jalan-jalan! Ini bukan cuma ancaman terhadap NU. Ini ancaman terhadap seluruh peradaban umat manusia! Kenapa orang selalu bertanya NU mau apa? NU mau apa? Lha kamu sendiri mau apa? Seolah-olah seluruh dunia ini tanggung jawabnya NU sendirian!” tutupnya.

Negara? Apa masih sebatas komitmen? Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menegaskan Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam moderat, sehingga tidak akan memberikan kompromi dalam bentuk apapun bagi paham radikalisme dan ekstremisme.

“Sebagai negara Islam moderat Indonesia tidak ada kompromi dengan radikalisme dan ekstremisme,” kata Jokowi  di Istana Negara, Jakarta suatu ketika.

Ia mengatakan di mana pun titik-titik yang dianggap rawan menjadi embrio bagi berkembangnya paham radikalisme, maka harus dilakukan pendekatan dari berbagai sisi terutama dari sisi keamanan.

Hal itu, kata dia, penting untuk mengantisipasi paham-paham tersebut menjalar di lingkungan masyarakat hingga dikhawatirkan semakin laten dan berbahaya. “Di mana pun titik-titik yang kita anggap menjadi embrio berkembangnya paham radikalisme harus dilakukan pendekatan keamanan dan budaya. Jangan dibiarkan tumbuh,” katanya.

Menurut dia, Indonesia banyak diuntungkan dengan keberadaan organisasi massa, organisasi Islam moderat, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas yang mengajarkan Islam sesungguhnya yang toleran, cinta damai, dan penuh dengan sopan santun.

Sebab ia berpendapat pemberantasan paham yang menyesatkan dan rawan mendatangkan aksi teror bukan semata tanggung jawab pemerintah, tapi seluruh lapisan masyarakat.

“Bukan hanya (tanggung jawab) pemerintah, tapi juga masyarakat termasuk organisasi Islam moderat, organisasi massa seperti NU. Kita dapat banyak keuntungan dari keberadaan mereka, kalau negara lain akan sulit membendungnya, kita lihat mereka kesulitan,” katanya.

Kepala Negara menjelaskan sampai saat ini, Indonesia justru banyak dinilai oleh negara-negara di Timur Tengah khususnya sebagai negara yang telah mampu menyelesaikan persoalan radikalisme dan ekstremisme dengan pendekatan yang berbeda.

“Paham-paham radikalisme ekstremisme semua negara mengalami. Alhamdulillah kita dilihat sebagai sebuah negara yang mampu menyelesaikan itu dengan pendekatan yang berbeda bukan hanya dengan pendekatan keamanan tapi juga budaya,” katanya.  (hud,ant)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry