
“Ramadan ini seyogianya menyadarkan kampus dan civitas akademikanya untuk menggali keluhuran peradaban yang pernah diraih oleh Islam. Masjid adalah sumber tempat aliran deras ilmu itu berasal.”
Oleh Suparto Wijoyo*
SAYA sungguh terkesan. Ternyata agenda Ramadan Mubarak 1446 H ini diberbagai kampus semakin semarak. Mahasiswa-mahasiswa saya di manapun fakultasnya ternyata tampak dalam aktivitas masjid kampus. Pengajian-pengajian ditangani olehnya. Ini mengingatkan era saya berkuliah. Ini suatu realitas yang berkelanjutan. Mahasiswa bergerak dalam lingkup kegiatan masjid dengan suka menampung dan membagi zakat maupun sedekah para jamaah. Belajar tata kelola bermasyarakat. Dalam konteks inilah masjid selaksa student center yang mengena langsung kepada kebutuhan umat.
Ini sungguh mengesankan. Gairahnya tampak mengagumkan. Setiap hari masjid-masjid di kampung selama Ramadan ini rame membagikan takjil dan konsumsi iftar. Setiap jelang berbuka banyak orang bergerombol. Ada yang membuka lapak-lapak dagangan. Tentu sirkulasi ekonomi berjalan dan masjid tampak semakin makmur. Ramadan tahun ini terpotret geliat para remaja bersinergi dengan Dewan Kemakmuran Masjid. Kajian-kajian dilakukan tanpa henti. Terdapat ragam pilihan: Kajian Subuh, Kajian Duhur, termasuk Kajian Sore, alias ngabuburit ilmu menjemput berkah Ramadan.
Itulah kini yang ramai dilakukan oleh mahasiswa di kampus-kampus di Surabaya. Pastinya juga di berbagai kota. Tidak terkecuali mahasiswa kampus-kampus di kabupaten juga. Semisal pada hari-hari ini, mereka berkumpul membincang arti penting Ramadan dengan kecerdasan ekologi. Saya hadir sebagai bagian untuk mengapresiasi aktivitas mahasiswa pemakmur masjid dengan tema yang beragam. Saya tidak akan mengulas substansi perbincangannya, melainkan merefleksikan adanya kebangunan penjelajah ilmu di kampus-kampus kota dan desa ini yang gemar ke masjid. Salut.
Juga, sekali lagi mengagumkan. Mereka mengontekstualisasi ajaran Islam. Mahasiswa ini membuncahkan rajutan Ramadan yang teranyam penuh pesona cahaya agama Islam. Diambilah contoh shalat. Dari shalat lima waktu yang menjadi konvensi tauhid dalam Islam semakin lazim dilaksanakan di tempat-tempat yang menyimbulkan rumah-Nya: Masjid-masjid yang berkelindan di kampus-kampus. Ini sesuatu banget. Intelektualitas yang bangun akan tetap bersandarkan kepada kesadaran keagamaan. Kapasitas keilmuannya akan tetap tersujudkan sebagaimana gerakan shalat.
Dari shalat secara pribadi sampai secara kolektif alias berjamaah. Apabila shalat ini dikerjakan berjamaah, berlakulah panduan derajat yang secara kuantitatif sangat berlipat. Hitungan-hitungan amaliah dalam setiap peribadatan dalam Islam memberikan parameter yang sangat akuntabel dan memformulasi betapa pentingnya ilmu matematika, dan atas itulah pelajaran “al-jabr – aljabar” dikembangkan oleh Islam. Penemu matematika pun adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Musa Al Khawarizmi (780-850 M), yang biasa dikenal Al Khawarizmi.
Perhitungan-perhitungan matematis sejujurnya ditemukan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam. Cermatilah sejarah hadirnya matematika dan ilmu-ilmu apapun dalam zaman keemasan Islam. Para ahli memahami itu terlebih lagi soal peradaban literasi yang sastrawi yang kemudian di Barat “menyerta” untuk tidak mengatakan “reproduksi” atasnya. Bacalah karya-karya klasik sekaliber Novel Hayy Ibn Yaqzan karya Ibnu Tufayl (1105–1185) dan kisah Tarzan, atau Layla Majnun (The Greatest Love Story) yang ditulis oleh sastrawan Persia asal Azerbaijan, Nizami (1141-1209), bandingkan dengan narasi cerita Romeo-Yuliet dari William Shakespeare (1564- 1616).
Belum lagi di ilmu-ilmu sosial dan kedokteran maupun arsitektur, pun pada ilmu hukum yang mau mengaji dengan mendalam bagaimana KUHP yang populer itu dirunut pada “takwil historisnya” dari jejak Napoleon Bonaparte (1769-1821) dalam hubungannya dengan “produk hukum pidana di era kejayaan Islam. Sampai munculnya UU No. 1 Tahun 2023 yang disebut KUHP Nasional. Dulu terdapat sebuah era dimana Islam memberikan sumbangsih hebat pada peradaban dunia itu, tetapi terkadang sering dinafikan oleh mereka yang berketerbatan referensi. Ngajar konstitusi tentu dapat menyimak Piagam Madinah (Madena Charta) yang diakui sebagai Konstitusi Pertama di bumi ini (622 M atau sekitar 1 H). Tetapi sering tidak dirujuk di kampus-kampus dibandingkan dengan Magna Charta yang baru ada tahun 1215. Kaedah yuridis yang terkandung di dalam Piagam Madinah mampu berlaku tanpa “penambahan” selama satu setengah abad lebih (622-750 M) untuk kemudian mengalami “amandemen” secara runtut dari 750, 745-1906. Piagam Madinah ini pada intinya dibuktikan berbagai ilmuwan dunia, Muslim maupun nonmuslim sebagai The First Written Constitution of the World, jauh lebih tinggi tujuannya dari Magna Charta.
Ramadan ini seyogianya menyadarkan kampus dan civitas akademikanya untuk menggali keluhuran peradaban yang pernah diraih oleh Islam. Masjid adalah sumber tempat aliran deras ilmu itu berasal. Nabi Muhammad Saw menyebarkan iman tauhid Islam secara dahsyat dari Masjid, dan kampus-kampus pertama yang amat modern lahir dari Masjid, termasuk Al-Azhar (969/970), Kairo, yang segenerasi seperti Universitas Al-Qarawiyyin yang dipelopori akademisi seperti Ibnu Maimun (Maimonides) tahun 859 di Kota Fez, Maroko, atau Universitas Sankore (989) di Timbuktu, Mali. Di tempat ibadah inilah, di Masjid inilah, shalat dan ilmu digerakkan dengan saf yang rapi. Ingatlah bahwa sejak mengawali shalat para imam selalu mengingatkan rapikan barisan sebagai “penanda kesempurnaan” shalat.
Rapinya barisan dalam shalat memberikan pelajaran betapa untuk kekuatan pertahanan sosial maupun negara, pelajaran baris berbaris amatlah diutamakan. Islam mengajarkan itu dalam SOP pershalatan. Ini adalah literatur laku yang sangat spektakuler secara praksis. Maka rapikanlah barisan umat Islam dan pelajarilah bagaimana para ilmuwan beriman dulu itu mengembangkan ilmu dari masjid. Alquran Surat An-Nur: 36-37 mengajarkan: “Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak (pula) oleh jual-beli, atau aktivitas apapun dan mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” Dari masjid mahasiswa menemukan makna keberadaannya di kala Ramadan ini. Barokallah.
*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum, CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.