
“Dalam lima hari pertama haji, saya menyaksikan sendiri setidaknya ada 3 kasus dimensia yang dialami jamaah haji Indonesia.”
Oleh Syarif Thayib, PPIH Kloter SUB, Trainer SEFT
ANDA pasti masih ingat kejadian jamaah haji yang mendadak minta turun dari pesawat, karena lupa ngasih makan Ayamnya di rumah. Ia lupa kalau dirinya sedang berangkat haji dan bakal tidak pulang rumah selama 42 hari.
Itulah Dimensia. Suatu kondisi penurunan kemampuan ingatan dan berpikir seseorang yang umumnya terjadi pada Lansia (usia 65 tahun ke atas). Kondisi ini tentu akan memengaruhi aktivitas sehari-hari dan kemampuan bersosialisasi penderitanya.
Musim haji tahun ini, dalam lima hari pertama haji, saya menyaksikan sendiri setidaknya ada 3 kasus dimensia yang dialami jamaah haji Indonesia. Dua berada di Hotel 1010, dan satu ditemukan di Hotel 1009. Dua Hotel ini antara lain adalah tempat jamaah Gresik, Trenggalek, Ponorogo, dan Probolinggo yang tergabung dalam Kloter 95 SUB yang saya pimpin.
Saya membayangkan, tentu ada banyak kasus serupa di hotel-hotel lain. Bagi penderita Dimensia, Makkah itu ya Indonesia, di rumahnya sendiri. Sehingga ketika mereka tidak merasakan kenyamanan di tempat itu, mereka pun langsung minta pulang kampung.
Bahkan jamaah dari Gresik yang saya ajak foto bersama itu menganggap bahwa kamar-kamar hotel itu adalah sederetan kamar-kamar anaknya di Desa. Ia heran kenapa sekarang anak-anaknya itu tidak peduli dengan dirinya. Hampir semua penghuni kamar itu menolak jika jamaah ini masuk kamar mereka.
“iki piye toh? Podo ora gelem karo aku..!! salahku iku opo? podo nutup lawang kabeh..!” (ini gimana toh? Semua pada gak seneng sama saya..!! salahku itu apa? semua pada menutup kamar..!). itulah kurang lebih omelan bapak yang sedang Dimensia itu.
Seketika saya mengajaknya untuk duduk tenang, sembari melihat kartu merah putih yang dikalungkannya. Seorang petugas lain me-scan barcode yang ada di kartu tersebut, sambil saya mengajaknya bicara ringan untuk mengalihkan perhatiannya. Maklum, bawaanya emosional pada semua orang.
Hasil scan barcode dari kalungnya itu diperoleh data identitas yang bersangkutan, termasuk nama petugas Kloter yang menyertainya selama berhaji. Inilah kecanggihan teknologi scanner yang diterapkan Kementerian Agama RI untuk mempercepat identifikasi diri jamaah.
Setelah itu, petugas Kloternya langsung kami telepon, dan tidak sampai 10 menit, petugas itu datang dengan senyum geli, seraya berbisik ke telinga. Saya, bahwa jamaah itu sedang mengalami Dimensia.
Berbekal sedikit pengalaman sebagai Trainer SEFT (spiritual emotional freedom technique), sebuah terapi yang bisa membebaskan problem fisik yang bersumber dari masalah psikis, maka saya pun berbisik padanya, agar sang bapak itu tetap diperlakukan secara wajar. Jangan dijadikan obyek tawaan dan seterusnya.
Perlakuan normal terhadap penderita Dimensia, dengan tetap dipantau dokter Kloter, bakal lebih menenangkan dan membantu pemulihannya. Mereka butuh didampingi untuk merasakan kenyamanan di tempat barunya itu (Makkah).
Selanjutnya, gunakan kalimat yang sederhana ketika berkomunikasi dengan penderita Dimensia. Jangan menekan atau mendesak respon mereka. Ajak olahraga ringan dan melakukan aktifitas ringan, seperti baca shalawat bersama, mencuci bersama dan seterusnya. Kurangi Kafein. Jauhkan letak HP menjelang tidur. Beri pertanyaan ringan untuk merangsang ingatannya, dan seterusnya.
Kondisi mereka tentu jadi semakin buruk dan tidak lucu, manakala jamaah haji yang mengalami Dimensia itu dijadikan bahan tertawaan dan olok-olok. Anda yang menjadi keluarganya, misalnya, tentu tidak terima kalau orang tuanya menjadi obyek candaan, apalagi terkesan merendahkan. Na’udzubillahi min dzalik.(*)