Rizqi Putri Nourma Budiarti, ST, MT
Dosen Sistem Informasi, FEBTD

Di tengah arus transformasi digital yang begitu deras dan kencang, dunia perlahan menyadari bahwa harga dari segala kemudahan dan konektivitas adalah sesuatu yang tak kasat mata.

Namun, memiliki nilai yang sangat besar, apakah itu? yakni data pribadi, yang sering dijadikan rujukan sebagai data digital kita seperti KTP, Passport, Ijazah dan Identitas lainya yang memuat semua informasi kita secara detail.

Saat ini, kita hidup dalam masyarakat yang semakin terkoneksi ke dalam jaringan global Internet, namun dengan segala kemudahan yang terjadi semakin banyak data yang terekspos ditengah tuntutan keamanan dan kendali atas data pribadinya.

Setiap klik, pencarian, dan interaksi daring menjadi bagian dari jejak digital yang terus bertumbuh dan bertebaran di dunia maya. Di sisi lain, adanya pertumbuhan teknologi dan era ekonomi digital menuntut keterbukaan informasi untuk menunjang inovasi dan efisiensi bisnis.

Tuntutan keamanan hak perlindungan atas data pribadi yang bertebaran di Internet terus meningkat, perlindungan privasi digital tiap individu menjadi tantangan yang besar. Namun, disisi lain kebutuhan ekonomi semakin meluas dengan adanya penggunaan teknologi seperti penggunaan e-commerce, payment gateway, aplikasi Kesehatan seperti satu sehat, pay-later, hingga platform pembelajaran daring sampai platform cryptocurrency. Sering kali memunculkan ketegangan yang tak terhindarkan di tengah-tengah maraknya serangan cyber.

Di 2024, salah satu anggota Boyband BTS, Jungkook pernah menjadi korban pencurian identitas saat menjalani wajib militer sehingga diperkirakan sahamnya dicuri oleh peretas. Contoh lainnya, di tahun 2025, peretasan bursa kripto, dimana Bybit diperkirakan kehilangan hampir Rp 23 triliun, walaupun kondisi Perusahaan Bybit tetap stabil akibat peretasan ini. Namun, kerugian yang ditimbulkan merupakan salah satunya melalui peretasan identitas pengguna.

Data pribadi seakan-akan menjadi “mata uang baru” di era informasi, dalam hal ini, Data dianggap sebagai Komoditas Baru sehingga seringkali muncul ketegangan yang tak terhindarkan antara perlindungan privasi individu dan kepentingan bisnis yang berorientasi pada pengumpulan serta analisis data. Hal ini masih menjadi tantangan besar, baik bagi masyarakat Indonesia, Penyedia Layanan Digital dan Pemerintah. Krisis kepercayaan terhadap platform digital pun merebak.

Masyarakat mulai mempertanyakan: Bagaimana keamanan data kita?Sejauh mana kita bisa memegang kontrol atas data pribadi dalam ruang lingkup privasi kita? Di sejumlah negara telah mengadopsi regulasi ketat terkait perlindungan data. Uni Eropa memelopori dengan General Data Protection Regulation (GDPR) yang mengharuskan perusahaan transparan dalam penggunaan data dan memberi hak kepada pengguna untuk mengontrol informasi mereka.

Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, Pemerintah telah memberikan dukungan terhadap hal ini melalui regulasi UU No.27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi sebagai upaya hukum pertama yang secara spesifik mengatur pengelolaan data pribadi, ditengah tantangan besar dalam menghadapi serangan siber dan kurangnya kepatuhan masyarakat dan penyedia layanan digital terhadap pengamanan data pribadi, serta pemahaman masyarakat Indonesia dalam literasi digital dan pemahaman etika digital yang masih minim dan belum merata istilahnya “Masih Kurang Melek Digital”.

Hal ini, yang sering menyebabkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melakukan peretasan terhadap data pribadi masyarakat Indonesia. Menurut data dari laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sepanjang tahun 2024 terdapat lebih dari 400 juta upaya serangan siber menargetkan data pengguna digital di Indonesia. Namun, dalam menjaga tata Kelola digital tetap berimbang dan terkendali, pemerintah sudah memberikan payung perlindungan melalui UU tersebut.

Ditengah tantangan yang besar pada sektor bisnis digital, dalam lanskap ekonomi digital saat ini, data pengguna bukan hanya sekadar informasi, melainkan aset yang bernilai ekonomi tinggi. Platform digital mengandalkan algoritma yang dilatih dari perilaku pengguna untuk menyajikan iklan yang ditargetkan, menyesuaikan produk, hingga memprediksi preferensi konsumen. Model bisnis seperti ini telah terbukti menguntungkan.

Google dan Meta, misalnya, meraup sebagian besar pendapatannya dari iklan digital berbasis data pengguna. Namun, di balik efisiensi dan personalisasi layanan, ada konsekuensi besar: pengumpulan data sering dilakukan tanpa pemahaman penuh dari pengguna, dan dalam beberapa kasus, tanpa persetujuan yang jelas.

Namun, tantangan tetap ada. Banyak pelaku usaha, khususnya UMKM dan startup, masih menghadapi kesulitan dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan data. *

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry