“Dengan kondisi yang kepalang basah, sulit bagi Hamas dan poros Iran untuk mundur atau menghentikan peperangan melawan Israel.”

Oleh Achmad Murtafi Haris*

JUMAT kemarin pemimpin tertinggi Hizbullah Hasan Nasrallah syahid oleh serangan Israel yang meluluhlantakkan gedung tempat dia dan para petinggi partai berada. Ini adalah tragedi terbesar kedua setelah pembunuhan Ismail Haniyeh pemimpin Hamas pada 31 Juli.

Hasan Nasrallah menggantikan pendahulunya, Abbas Musawi, pada 1992 yang juga syahid oleh serangan Israel. Nasrallah yang saat itu berusia 32 tahun dipilih oleh majelis syura yang beranggotakan 7 untuk menggantikan Musawi. Sangat mungkin pengganti Nasrallah akan segera ditunjuk tapi tidak diekspos agar tidak menjadi target pembunuhan Israel selanjutnya.

Seorang pengamat berkata bahwa pengganti pemimpin Hizbullah harus mendapat restu dari Ayatullah Ali Khamenei pemimpin tertinggi Iran. Tapi ada pandangan yang menegasi hal itu seperti naiknya Nasrallah dulu yang tanpa menunggu restu Iran.

Yang pasti sesuai dustur, penggantinya haruslah seorang ulama atau figur yang memiliki ilmu agama yang mumpuni. Posisi politik tertinggi harus dipegang ulama sesuai doktrin Syiah (Velayat-e Faqih) .

Setelah terjadi banyak ledakan pager dan walkitalki yang dipegang tentara Hizbullah, Nasrallah dan para petinggi Hizbullah semakin hati-hati dalam bersembunyi. Berkomunikasi lewat pager dan walkitalki yang dianggap aman dari jangkauan radar Israel, ternyata tidak hanya terdeteksi, Israel bahkan bisa membuatnya meledak dan membunuh pemegangnya. Ini memperkuat dugaan kematian Ibrahim Raisi, presiden Iran, pada 19 Mei adalah karena sabotase Israel. Bukan semata kecelakaan pesawat tua yang sudah kadaluarsa.

Kemampuan Israel mendeteksi tempat persembunyian pemimpin Hamas dan Hizbullah menyadarkan akan kecanggihan teknologi Israel. Meskipun mereka sempat kecolongan oleh serangan 7 Oktober oleh Hamas yang tidak terdeteksi, namun sepanjang perang ini, Israel menunjukkan keunggulan teknologinya. Melalui satelit yang dia miliki bersama Amerika, Israel mengetahui detil peta militer Hizbullah, Hamas dan Iran.
Iran yang diyakini berkekuatan militer tinggi yang merupakan induk perlawanan atas Israel sejauh ini belum menunjukkan kemampuan itu. Terbunuhnya Ismail Haniyeh pemimpin Hamas di ibukota Iran, sebaliknya, menunjukkan lemahnya sistem pertahanan Iran. Memang serangan bom atas Haniyeh tidak diduga-duga. Tapi dalam kondisi perang tentara tidak boleh lengah sedikitpun.

Selain kecanggihan teknologi Israel dan negara pendukungnya, para pengamat menengarai mata-mata Israel telah menyusup ke internal kelompok jihadis. Dalam kasus terbunuhnya Nasrallah, mata-mata itu diduga menempelkan jejak ke tubuh Nasrallah lewat salaman.

Hal sama terjadi atas Haniyeh yang diduga ada keterlibatan mata-mata yang membocorkan tempatnya menginap saat menghadiri pemakaman Ibrahim Raisi.

Serangan Israel atas Hizbullah di Libanon telah merenggut seribu nyawa. Ratusan ribu warga Libanon Selatan mengungsi. Libanon yang terdiri dari 3 faksi besar, Sunni – Syiah- Kristen, kesemuanya terancam bahaya. Apakah faksi Sunni dan Kristen akan terlibat membela Hizbullah? Kemungkinan itu kecil. Seperti halnya negara-negara Arab yang tidak ingin terlibat langsung dalam perang. Demikian juga dengan wilayah Tepi Barat Palestina yang mayoritas adalah pendukung Fatah (rival politik Hamas).

Dengan kondisi yang kepalang basah, sulit bagi Hamas dan poros Iran untuk mundur atau menghentikan peperangan melawan Israel. Tapi jika diteruskan korban nyawa dari kalangan sipil terlampau besar. Tidak seperti saat perang Arab – Israel yang dipimpin oleh Mesir 1948 dan 1967 yang mayoritas korbannya adalah tentara.

Peran Mesir sebagai mantan musuh perang Israel harus diberikan ruang yang sebesar-besarnya untuk menyelesaikan konflik. Mesir yang pernah memimpin perang melawan Israel tentu mampu berhitung dengan cermat dalam memutuskan perang dan menghentikannya.

Tinggal Hamas, Hizbullah, Hauthi, dan poros Iran – Syiah, mungkinkah menginduk ke Mesir dalam perang ini? Nyawa warga sipil harus menjadi prioritas melebihi konflik ideologi antara Mesir dan poros Iran.(*)

*Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry