“Buku ini berisi enam bagian. Diawali dengan penjelasan dasar menilai kreativitas. Lima pakar menjelaskan ihwal fondasi ini.”
Oleh Rosdiansyah
PERADABAN umat manusia dibangun dari kreativitas dan inovasi. Berbagai temuan yang memudahkan manusia menjalani keseharian merupakan hasil kreatif. Berbagai terobosan yang menjadikan kehidupan lebih nyaman adalah juga hasil kreativitas.
Wajar jika ada anggapan, tak ada hal lain sepanjang pengalaman manusia yang sedalam atau seluas kreativitas. Dan kreativitas memantik banyak persoalan filosofis. Terutama dalam seni, dimana kreativitas sangat menonjol di bidang ini. Dalam sejarah kemanusiaan, kreativitas telah mengundang pertanyaan-pertanyaan tersendiri yang melampaui lingkup bidang-bidang lainnya.
Sejumlah literatur menyatakan bahwa kata sifat ”kreatif” mencakup tiga hal penting. Pertama, kata tersebut bisa dilekatkan pada individu, misalnya musisi kreatif. Kedua, kata itu dapat ditujukan pada proses, contohnya pada kalimat ”Mohon paparkan proses kreatif anda”. Ketiga, pun kata tersebut bisa digunakan untuk menyebut produk atau hasil. Berbagai pemikiran atau kegiatan manusia bisa melahirkan desain yang kreatif.
Nah, buku ini berisi enam bagian. Diawali dengan penjelasan dasar menilai kreativitas. Lima pakar menjelaskan ihwal fondasi ini. Diantaranya, menjelaskan sejarah penilaian kreativitas sejak masa pencerahan. Ketika para seniman, sastrawan serta budayawan menghasilkan berbagai karya. Keluarga Medici di Eropa pada masa ini merupakan keluarga terpandang yang menjadi patron cara-cara menilai kreativitas. Mereka melihat seksama berbagai produk. Bukan semata keindahan produk, namun juga menilai proses kreatif yang menghasilkan produk tersebut.
Sebanyak 35 kontributor terlibat dalam penulisan buku ini. Selain mengupas sejarah, cara, metode, para pakar juga mengurai penilaian kreativitas dalam berbagai disiplin keilmuan, termasuk neurosains.
Menurut beberapa ilmuwan, kata benda abstrak untuk kreativitas belum muncul sampai abad kesembilan belas, meski fenomena tersebut memang ada dan banyak filsuf yang tertarik dengan hal tersebut. Contohnya, dalam dialog-dialog tertentu yang sempat dicatat Plato pada abad keempat sebelum Masehi.
Bahwa dialog itu bukan terinspirasi dari pengetahuan atau penguasaan atas ilmu tertentu, melainkan dialog berlangsung berkat ”inspirasi adikodrati”. Sokrates dan Plato belum menggunakan kata ”kreativitas”.
Aristoteles pun belum memakai kata tersebut, walau ia berpandangan berbagai produk pemikiran bersifat rasional dan punya tujuan jelas. Kemudian, Margaret Cavendish (1623–1673) dan Émilie du Châtelet (1706–1749), keduanya menggunakan proses kreatif untuk mengekspresikan kebebasan, menyingkirkan prasangka dan melawan berbagai tindak penindasan. Lalu, Immanuel Kant (1724–1804) yang melahirkan karya-karya inspiratif, ternyata juga baru menyinggung ihwal kreativitas.
Arthur Schopenhauer (1788–1860) mulai menelisik kaitan antara keterampilan teknis dan karya yang dihasilkan. Ia mulai menyinggung tentang kreativitas. Friedrich Nietzsche (1844–1900), yang disebut sebagai raksasa pemikir, menunjukkan cara-cara kreatif dalam melahirkan karya monumental. Barulah pada William James (1842–1910), kajian terhadap hubungan erat kreativitas dan awal sejarah peradaban manusia mulai dilakukan.
Harus diakui, sebagian besar definisi kreativitas masih berfokus pada produk. Menurut sebuah pendekatan umum, orang atau proses disebut bersifat kreatif sejauh mereka menghasilkan produk kreatif, dan sebuah produk bersifat kreatif jika memenuhi dua syarat, yakni selain baru, produk tersebut juga harus bernilai.
Banyak ahli teori berpendapat bahwa kebaruan saja tidak cukup, karena sesuatu bisa saja baru tetapi tidak bernilai (misalnya, serangkaian huruf yang tidak berarti), yang dalam hal ini tidak layak disebut sebagai “kreatif”. Immanuel Kant sering dikutip sebagai orang yang mengantisipasi definisi kreativitas ini dalam pembahasannya tentang kejeniusan (artistik).
Menurut interpretasi umum, Kant mendefinisikan kejeniusan (artistik) sebagai kemampuan untuk menghasilkan karya yang tidak hanya “asli”—karena “bisa saja ada hal yang tidak masuk akal yang orisinal”—tetapi juga menjadi “panutan”.
Ala kulli hal, menilai kreativitas memang tak gampang, namun mengabaikan kreativitas justru menjadikan manusia sulit maju. Sedangkan kemajuan itu sendiri merupakan ciri pokok manusia dibanding mahluk lain di muka bumi ini.*