PBNU menyerukan agar nahdliyin merangkul eks HTI. (FT/Antara)

SURABAYA | duta.co – Ajakan PBNU agar eks HTI bergabung dengan warga nahdliyin, mendapat sambutan hangat. Bahkan permintaan PBNU agar mantan HTI tidak dimusuhi, membuat banom-banom NU, seperti GP Ansor siap menampung mereka. “Mari bergabung dengan NU untuk wujudkan dakwah Islam yang damai dan toleran dalam bingkai NKRI dan Pancasila,” begitu ajakan yang pernah disampaikan Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Helmy Faishal Zaini melalui siaran persnya.

Minggu (13/5/2018), catatan Ayik Heriansyah, mantan Ketua HTI Babel (Bangka Belitung) 2004-2010 beredar di media sosial. “Saya Ayik Heriansyah perintis tanzhim HTI di Babel. Di Babel Saya merekrut orang dan membentuk mulai dari satu halqah. Sebelumnya saya Mas’ul HTI di UI. Dari 2004-2010 saya jadi Mas’ul dan Musa’id Mu’tamad (Asisten Ketua DPP HTI) di Babel. 2006-2008 saya merangkap jadi Musa’id Mu’tamad (Asisten Ketua DPP HTI) untuk  Sumbagsel (Babel, Sumsel, Jambi dan Bengkulu). Tahun 2010 tanzhim yang saya pegang adalah tanzhim terbaik untuk kategori luar Jawa bagian Barat,” begitu kisah Ayik.

Tetapi, perjalanan berikut Ayik paham, bahwa, gerakan (anti Pancasila) HTI tidak bisa diterapkan di Indonesia.  “Alhamdulillah akhir April 2011 saya keluar dan dikeluarkan dari HTI karena berbeda pendapat dan melawan DPP HTI. Mu’tamad (Ketua Umum HTI)  membuat pengumuman (takmim) tentang saya untuk dibacakan Jihaz Mahaliyah (Ketua Cabang dan MWC) di depan anggota HTI seluruh Indonesia,” katanya.

“Alhamdulillah 2012 saya mulai ikut ngaji dengan Kiai-Kiai NU di Bandung. Setelah saya mengaji saya paham konstruk historis dan ushul fiqih tentang keabsahan NKRI menurut tinjauan Syariah. Ternyata antara Khilafah Tahririyah dan NKRI sebenarnya sama-sama hasil ijtihad politik ulama. Dalam kaidah ijtihad, suatu ijtihad tidak menganulir ijtihad yang lain. NKRI ajaran Islam. Karena itu perjuangan Hizbut Tahrir di Indonesia mendirikan Khilafah Tahririyah selain melanggar kaidah ijtihad tentu saja termasuk perbuatan bughat yang secara syar’i hukumnya haram,” tulisnya.

Sekarang saya aktif berdakwah liat isti’nafi hayatil Islamiyah bi thariqah NKRI (melanjutkan kehidupan Islam dengan metode NKRI) dalam bimbingan dan arahan Kiai-Kiai NU. “Kepada syabab-syabab HTI, sambutlah SERUAN HANGAT (NIDA’UL HAAR) NU dengan hati yang lapang dan penuh perasaan husnuzhan. Insya Allah selamat dunia akhirat,” tutupnya.

Apa yang disampaikan Ayik, diam-diam banyak diikuti kader HTI. Di sejumlah daerah banyak kader HTI yang mulai mengaji ke kiai-kiai NU. Cepat atau lambat, perubahan ini akan terjadi. “Ada kelebihan anak-anak, terutama dalam disiplin beribadah. Tetapi, di sisi lain, menonjolkan disiplin ibadah, itu justru tidak berlaku di komunitas nahdliyin,” demikian salah seorang kader HTI asal Mojokerto kepada duta.co.

Kisah perubahan pemahaman aktivis HTI juga pernah disampaikan Ulil Abshar Abdalla dalam acara Kopdar Ngaji Ihya, di Masjid An-Nahdlah Gedung PBNU Jakarta. Menurut Gus Ulil, mantan aktivis Hizbut Tahrir Britain (HTB) di London, Ed Husain, menulis buku The Islamist: Why I Joined Radical Islam in Britain, What I Saw Inside and Why I Left yang terbit tahun 2008. Ed Husain menulis buku itu usai mengalami berbagai fase spiritual dalam aktivitasnya di HTB.

“Ia (Ed Husain) masuk dalam komunitas tarekat, dan menulis buku itu (The Islamist, red.). Ia menyebutkan, HTB memang mengusung Khilafah Islamiyah, membela agama. Tapi tidak ada kehangatan dan kedalaman di dalam batin,” ungkap Ulil.

Ulil merasa yakin, jika seseorang sudah pernah mengaji kitab Ihya ‘Ulumuddin pasti susah untuk radikal. Karena, kata Ulil, kitab Ihya adalah semacam otokritik; menunjuk pada diri sendiri sebelum menunjuk dan menyalahkan orang lain. “Itu adalah ciri khas tasawuf, ilmu mistik, ilmu kebatinan,” kata Ulil.

Lebih lanjut Ulil menerangkan, saat ini banyak orang yang menggunakan jarinya untuk menunjuk-nunjuk, menyalahkan, mengkafirkan, membidahkan apa yang dilakukan orang lain, yang tidak sepaham dengannya. Maka itu, ujar Ulil, ngaji kitab ihya sangatlah relevan.

“Kita ngaji ihya juz tiga. Dan ini relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, karena saat ini banyak orang yang ‘sakit’, keras, mudah menyalahkan orang lain. Setelah juz tiga ini selesai, kita akan tarik mundur ngajinya ke juz 1 tentang syariat-muamalah. Tapi sekitar 15 tahun setelah menyelesaikan juz 3,” ucap menantu dari Gus Mus ini.

Ulil juga mengatakan, di dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin terdapat bahasan khusus dan panjang tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Dijelaskan, salah satu syarat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah dengan cara bil ma’ruf. “Mengapa Nabi berdakwah, mengajak dengan cara yang ma’ruf, dengan lemah lembut. Karena, jika tidak, Nabi akan dijauhi dan tidak mendapat simpati,” pungkas Ulil. (nuo)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry