Keterangan foto sindonews.com

“….Teddy Gusnaidi, pun meminta negara membina PKS. Setelah “mem-PKI-kan dan membubarkan FPI, ok, next negara harus membina PKS. Kalau tidak bisa dibina, ya dibinasakan juga seperti FPI,” ujar Teddy via Twitternya yang, mengaku memerlukan waktu setahun untuk mem-PKI-kan FPI.”

Oleh: Choirul Anam*

BENAR KATA Ki Ismoyo Prabu Depro. Bahwa kekejaman dan ketidak-adilan yang menimpa Habib Rizieq Shihab (HRS) dan FPI, serta kebijakan aneh dan semena-mena ala Fir’aun, akan terus diproduksi dan dipertontonkan secara vulgar di hadapan rakyat.

Mungkin saja, penguasa berharap agar masyarakat tutup mulut dan, jika ingin aman, bisa berkaca pada kasus HRS dan FPI tersebut.

Cobalah tengok! Enam warga sipil bumi putra (laskar FPI) telah ditembak mati polisi, dan HRS sudah pula ditahan (kini sedang proses praperadilan) serta pondok pesantren Alam Agrokultural di Megamendung, Bogor, yang dibeli secara sah dan diwakafkan untuk umat, juga terancam dibolduzer.

Lalu, Ormas FPI pun telah dibubarkan tanpa proses peradilan, dan rekening bank untuk kemanusiaan juga diblokir PPATK. Meski perlakuan sadistis itu terbukti melanggar HAM,  tampaknya belum dianggap cukup. Penguasa masih akan terus memburu lembaga dan aktivis kelompok Islam yang dinilai simpati, mendukung atau membela HRS dan FPI.

Peristiwa aneh yang sedang dipertontonkan, misalnya, bisa dilihat dari perjalanan sidang praperadilan kasus HRS lantaran kerumunan “Maulid Nabi Muhammad SAW” di Petamburan.

Baru kali ini, negeri berpenduduk mayoritas muslim, berpresiden muslim berpengaruh di dunia (peringkat 12), dan berwapreskan ulama paling top (pernah Rais Aam PBNU dan Ketum MUI), ternyata, kerumunan peringatan “Maulid Nabi” justru dijadikan alasan memenjarakan orang. Sungguh aneh, tapi nyata. Dan hanya terjadi  di era rezim Jokowi.

Bukan hanya keanehan pidana kerumunan “Maulid Nabi” saja. Tapi juga kebijakan semena-mena akan terus dipertontonkan agar rakyat ketakutan. Siapa saja yang ditengarai melindungi HRS dan eks FPI, atau membuat/mendatangkan kerumunan massa sebagaimana disebut Menag Yaqut dengan istilah “populisme Islam”, pasti akan dilibas atau, setidaknya, akan bernasib sama dengan HRS dan FPI. Wow, kurang apa hebatnya, coba!

Hal itu tergambar jelas dari pernyataan mantan Kepala BIN, Jenderal TNI (Purn) AM. Hendropriyono. Meski tidak berkapasitas apa-apa dalam pemerintahan Jokowi, eks Danrem Garuda Hitam, Lampung, ini, ternyata mampu menggegerkan dunia medsos. Setidaknya, dalam pekan pertama tahun baru 2021 ini, hampir semua grup WhatsApp dan warganet, ramai membicarakan pernyataan Hendropriyono yang amat meyakinkan, yakni setelah FPI, akan ada lagi tindakan pembubaran berikutnya

Guru Besar Intelijen itu mengatakan: setelah pembubaran FPI, selanjutnya giliran organisasi yang melindungi eks FPI dan para provokator yang perlu dibubarkan pemerintah. “Organisasi pelindung eks FPI dan provokator, tunggu giliran,”cuit Hendropriyono dalam akun Twitternya @edo751945, Kamis (31/12/2020). Memastikan!

Bukan cuma Guru Besarnya saja, Dewan pakar partainya Hendro, PKPI, Teddy Gusnaidi, pun meminta negara membina PKS. Setelah “mem-PKI-kan dan membubarkan FPI, ok, next negara harus membina PKS. Kalau tidak bisa dibina, ya dibinasakan juga seperti FPI,” ujar Teddy via Twitternya yang, mengaku memerlukan waktu setahun untuk mem-PKI-kan FPI. Wow, ngeri nian bro?

Bisa dimaklumi karena, jauh sebelumnya, Jenderal Hendropriyono pernah memperingatkan WNI keturunan Arab untuk tidak membuat kegaduhan. Meski ucapannya tidak bermaksud rasis, ia meminta WNI keturunan Arab untuk sama-sama menjaga kondisivitas negara. Karena, faktanya, masyarakat Indonesia cenderung percaya penuh terhadap apa yang diucapkan mereka (WNI keturunan Arab–red).

“Tolonglah, kalau berada di posisi terhormat, bisa membawa rakyat dan masyarakat bangsa kita ini ke arah ketenangan…,” kata Hendro seperti dikutip Tempo, Senin (13 Mei 2019) silam. Dengan kata lain, Hendro menganggap WNI keturunan Arab sebagai provokator atau biang kerok ketidak-tenangan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bahkan pada kesempatan lain, Hendro sempat tunjuk hidung: “Saya peringatkan Rizieq (maksudnya HRS), Yusuf Martak, dan orang-orang yang meneriakkan revolusi… Itu inkonstitusional, merusak disiplin dan tata tertib sosial, jangan seperti itu,” katanya kepada wartawan, Selasa (7/5/2019). Mungkin yang dimaksud “Revolusi Akhlaq”. Lalu, apa bedanya dengan “Revolusi Mental” bro!

Tampaknya, sudah cukup lama Hendropriyono merasa terganggu dengan perilaku HRS dan WNI keturunan Arab. Sehingga, pembubaran FPI oleh pemerintah pada Rabu, 30 Desember 2020, dijadikan moment untuk mengingatkan pihak-pihak yang melindungi atau menampung eks anggota FPI. “Organisasi pelindung eks FPI dan para provokator, tunggu giliran,” ujarnya, memastikan akan dibubarkan juga oleh pemerintah.

Sejarah telah mencatat, sebagai komponen bangsa yang cinta tanah air, peran dan kontribusi WNI keturunan Arab tidaklah kecil dalam ikut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia. Mereka yang jumlahnya berjuta-juta mempunyai saham besar atas berdirinya Republik ini. Lagi pula, kecintaan kaum muslimin kepada Arab—khususnya umat Islam Indonesia—bukan semata karena budaya bro!

Sebagaimana diriwayatkan Imam Thabrani, muslim mencintai Arab itu karena tiga hal: li anniy ‘arabiyun–karena aku (Nabi Muhammad SAW–red) adalah orang Arab, wal Qur’ana ‘arabiyun–dan karena (al-Qur’an berbahasa Arab), wa kalama ahli al-jannati fii al-jannati ‘arabiyun—dan karena (bahasa penghuni surga di dalam surga adalah bahasa Arab). Jadi, kecintaan muslim terhadap Arab bukan hanya karena budaya. Tapi lebih pada (karena) keyakinan atau keimanan.

Karena itu, wajar jika kemudian masukan Jenderal Tua itu, dinilai keliru dan menyesatkan. Seperti cuitan politisi Demokrat, Andi Arief, kepada Mahfud MD berharap bisa “berdiskusi dan mendengar civil society ketimbang mendengar pandangan Jenderal Tua yang sudah terbukti menyesatkan dan melanggar HAM”. Dan juga oleh  KontraS serta tulisan wartawan senior FNN, Tjahja Gunawan, yang kemudian menilai masukan Hendra keliru dan menyesatkan.

Bukan hanya itu. Persoalan pelanggaran HAM berat yang diduga melibatkan Hendropryono pun, mereka ungkap kembali dan viral di medsos. Misalnya, dugaan keterlibatan Hendro ketika masih berpangkat Kolonel dalam pembantaian ratusan jama’ah Warsidi Talangsari, dan pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir Said Thalib, beredar kembali  dengan banyak referensi, di antaranya hasil penyelidikan  KOMNAS HAM, Juni 2005, dan Buku Talangsari 1989.

Bahkan berita lama (12 Februari 2015) tentang pembantaian Talangsari yang disiarkan Reppler. Com, ikut pula berseliweran kembali di medsos, disertai unggahan People Power 313 berikut meme bergambar wajah Hendro yang menyeramkan, dengan caption “Pembunuh Berantai”—termasuk 6 warga sipil bumi putra (laskar FPI–jangan biarkan dia dan keturunannya berkeliaran tanpa tersentuh hukum”. Makin seru saja ni yee!

Masih ada lagi yang menanggapi langsung Hendropriyono. Adalah mantan Komisioner KOMNAS HAM, Natalius Pigai, angkat bicara terkait pembubaran FPI, dan akan ada lagi pembubaran berikutnya. Pigai mengawali dengan pertanyaan: “Orang tua mau tanya. Kapasitas bapak di negara ini sebagai apa ya, penasehat presiden? Pengamat? Aktivis?

“Biarkan diurus generasi abad ke-21 yang egaliter, humanis, demokrat. Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua. Sebabnya, (jabatan) wakil ketua BIN & Dubes yang bapak tawarkan, saya tolak mentah-mentah. Maaf,” ujar Natalius Pigai yang pernah dekat dengan Gus Dur itu, lewat akun @ Natalius Pigai2.

Terhadap cuitan Andi Arif, Hendro tak banyak berkomentar. “Saya gak pernah baca gitu-gitu ah, biar saja, sudah terlalu banyak saya baca tulisan orang yang berbobot, biarin aja dia mau ngomong apa,”kata Hendro seperti dikutip Detik.Com, Senin (4/1/2021). Apalagi pada kesempatan lain, Hendro pernah menyatakan: kasus Talangsari sudah selesai secara hukum, juga sudah selesai secara Islam  melalui islah.

Namun, terhadap cuitan Natalius Pigai, Hendro justru memberikan tanggapan panjang lebar sekaligus memberi nasehat kepada mantan Komisioner Komnas HAM tersebut. Melalui akun Twitter miliknya @edo751945, pada Jum’at (1/1/2021), Hendro mengatakan: ”Buat seorang pejuang tidak ada kata berhenti ananda @Natalus Pigai2. Jika negara dalam bahaya, kita harus membelanya. Harus tanpa hitung untung atau rugi dan muda atau tua,” jawab Hendro.

“Sebagai pejabat saya dulu berjuang dengan kewenangan saya, sekarang sebagai rakyat dengan mulut saya dan jika kelak tak berdaya secara fisik, maka saya akan berjuang dengan do’a saya. Begitu bentuk tingkatan iman saya, sebagai seorang muslim,”kata Hendro menasehati Natalius Pigai agar tidak larut, tersesat dan menyesal. “Karena saya yakin kalau sekarang tidak mau mendengar, kelak kamu juga akan sadar,” tambahnya.

Lebih jauh Hendro mengenal Pigai sebagai “seorang pemuda harapan bangsa yang patriotik, berani serta pandai. Karena itu saya tanya kepada kamu tidak jadi pejabat saja agar semua bakat dan potensimu tersalur dan bermanfaat,” cuit Henro bernada nasehat.

“Bukan saya tawari jabatan di pemerintahan, karena saya tidak punya kewenangan apapun apalagi sebagai formatur. Patriotik dan cerdas karena saya dengar kamu mengkritik ide sparatisme dengan mengatakan bahwa seharusnya bercita-cita jadi Presiden RI daripada hanya sebagai Presiden Papua,” tulis Hendro sembari mengenang ketika bertemu Natalius Pigai sebagai Komisioner Komnas HAM di sebuah restoran, di Jalan Teuku Umar, tapi “Natalius Pigai yang sekarang, beda dengan yang dulu”.

“Setelah lama tidak ketemu dan kamu bukan penguasa lagi, kamu berubah 180 derajat. Selain patriotisme dan kepandaianmu, moralmu juga sangat merosot. Sopan santun dan akal budimu lenyap, karena ditelan kekecewaaan sebagai penganggur yang tidak terakomodasi di tempat yang kamu inginkan.”

Selanjutnya, Hendro mengakhiri nasehatnya dengan ucapan: “Terma kasih atas penghinaanmu kepada saya sebagai orang tua yang tidak pernah menyakiti kamu. Saya berharap agar pikiranmu jangan ke sana ke mari terus, untuk mencari pengakuan atau kedudukan. Pegang teguh prinsip agar lebih banyak orang menghargai kamu, sehingga kamu mendapat tempat yang terhormat di masyarakat,” tutur Hendropriyono via Twitternya kepada Natalius Pigai.

Lantas bagaimana jawab Natalius Pigai yang Kristen sejati? Dalam bincang santai dengan Jaya Suprana, Pigai dengan tegas mengatakan: “Saya ini anak gereja, anak tuhan Yesus. Tugas saya sesuai perintah ajaran gereja: berjuang untuk kemanusiaan. Jadi kalau saya membela ulama, umat Islam, Habib Rizieq, al-Khattath, Buni Yani (yang terzalimi), itu perintah gereja: laksanakan! Tidak ada orang yang bisa suruh mundur saya,”tegas Pigai dengan santai.

Ketika menjabat Komisioner Komnas HAM, Pigai menangani kasus pelanggaran HAM sebanyak 8 ribu kasus per-tahun. “Rata-rata orang kecil teraniaya, tertinggal. Lebih baik saya pilih urus/bela orang kecil dari pada jabatan besar yang ditawarkan,” kata Pigai yang disahut Jaya Suprana: apa pernah ditawari jabatan, oleh siapa? “Saya ditawari jabatan Pak Luhut Binsar Panjaitan. Saya katakan dengan penghormatan, penghargaan kepada yang bersangkutan: tidak bisa terima”.

Lalu yang kedua, “saya ditawari Pak Hendropriyono (tanggal 16 Agustus 2016, jam 3 sore di Hotel Mulia) suruh pilih jadi Duta Besar atau Wakil Kepala BIN. Saya dengan penghormatan kepada beliau sambil mengucapkan terima kasih saya tolak”, kata Pigai. Kenapa? “Karena baik menjadi Dubes atau Wakil Kepala BIN, saya harus meninggalkan Komnas HAM,”ujar Pigai yang lebih mencintai berjuang untuk kemanusiaan, terutama pada orang yang terzalimi oleh penguasa.

Masih ada lagi yang ketiga, “Jenderal Tito Karnavian tiga kali ditawarkan saya jabatan. Itu atas perintah Jokowi dan sepengetahuan Pratikno. Disuruh pilih, kamu pilih jabatan apa saja boleh, mau Dirjen kek, mau Komisaris kek. Aku disuruh pilih,”kata Natalius yang disambut Jaya Suprana: Anda demikian berharganya…ha ha ha. Lalu Pigai melanjutkan:“Saya katakan begini sama Pak Tito. Sambil menghormati dia apa yang diberikan itu. Saya tolak”.

Ajaran gereja telah melekat kuat di hati pemuda Papua, Natalius Pigai, hingga ketika ditawari banyak jabatan oleh tiga jenderal kunci Jokowi pun dia tolak. Gereja menuntun Pigai ke arah perjuangan kemanusiaan—terutama membela kaum tertindas, terzalimi oleh penguasa. Pigai tidak sendirian. Aloysius Hartono, seorang umat Katolik sejati juga “menyesalkan pembubaran FPI dan penahanan Habib Rizieq Shihab, yang kini mendekam dalam bui atas alasan kesalahan kasus kerumunan—melanggar prokes”.

Secara kasat mata, tulis Aloysius yang viral di medsos, tidak perlu menjadi orang pinter untuk mengetahui bahwa pembubaran FPI dan penahanan Habib Rizieq adalah kasus politik. “Yaitu pihak yang sedang berkuasa ingin Habib Rizieq dikurung di dalam penjara, dan FPI memang sudah lama dijadikan target pembubaran,”kata Aloysius sembari menambahkan: “arogansi dan tidakan jahat itu, walau terhadap musuh sekalipun, bukanlah ajaran yang berasal dari Tuhan (Matius 5:44).”

“Saya bukan penggemar FPI. Saya hanya seorang anak bangsa yang ingin kedamaian di negeri ini. Bukan acara “Maulid Nabi” saja yang ada kerumunan. Tapi acara Natal kemarin (25 Desember 2020) di beberapa gereja juga terjadi kerumunan. Walau jumlah jemaat dibatasi karena pandemi Covid-19, tetapi itupun sulit dihindari karena antusiasme umat,”tulis Aloysius yang Katolik sejati  dengan nalar  sehat.

Acara Natal di beberapa gereja yang juga mendatangkan kerumunan umat, ternyata aman-aman saja. “Puji Tuhan, tidak ada satupun yang diseret secara hukum. Sungguh sebagai umat Kristiani saya malu, di saat kami aman berkerumun, Habib Rizieq harus dipenjarakan dengan alasan melanggar protokol kesehatan,” ujar Aloysius ikut merasakan kepedihan perlakuan diskrimanasi oleh penguasa.

“Keanehan dan kesewenang-wenangan sebagaimana tergambar jelas di hadapan  masyarakat itu, akan terus dipertontonkan guna mempercepat kejatuhan rezim. Dan itu sudah skenario langit. Semakin aneh dan semena-mena, semakin dekat kejatuhannya,” kata Ki Ismoyo dengan penuh keyakinan.

Tokoh spiritual yang tekun merawat tradisi lelaku ritual di pusara (makam) para leluhur nusantara ini, menambahkan, bahwa sejak 1 Muharram bertepatan dengan 1 Syura, dan bersamaan pula dengan neloni (hari ketiga) kemerdekaan angka kembar 20 Agutus 2020, dan kini beredar pula kalender kembar/sama (1971=2021), sesungguhnya merupakan tanda akan terjadi pengulangan sejarah yang dipercepat.

“Leluhur penjaga tanah Jawa dan nusantara, Eyang Semar Ismoyojati alias Sabdo Palon, pada 1 Muharram itu sudah men-dawuh-kan: akan segera datang “goro-goro” guna menyelematkan sekaligus mengembalikan kejayaan nusantara”, kata Ki Ismoryo sembari menambahkan “Bapak Soekarno (Bung Karno) juga berpesan JASMERAH berkali-kali”.

Dawuh Eyang Sabdo Palon itu kami peroleh bersama Ki Agus Shodiq dan Mas Podo Kuncoro, ketika 1 Syura kami sowan ke puncak Gunung Tidar, Magelang,”kata Ki Ismoyo. Dan “goro-goro” itu, lanjutnya, akan didahului tanda-tanda kenehan dan kebijakan kontroversial ala Fir’aun, yang diproduksi secara ugal-ugalan sejak sebelum adanya virus Covid-19 guna mempercepat kejatuhannya”.

Believe it or Not! Banyak sudah kebijakan kontroversial penguasa yang menuai protes rakyat. “Tapi tidak pernah digubris, karena penguasa merasa sudah power full. Apalagi dengan masuknya Sandiaga Uno dalam kabinet, logika penguasa menganggap negara sudah dalam genggaman dua kekuatan Capres menyatu– berkekuatan penuh. Tidak boleh ada lagi kelompok kritis atau kekuatan oposisi,”ujar Ki Ismoyo Prabu Depro sambil wanti-wanti, “skenario langit di tahun 2021 ini justru kebalikan dari logika penguasa.”

Mari kita lihat berbagai keanehan dan kebijakan semena-mena ala Fir’aun, terutama kekejaman dan ketidak-adilan yang menimpa HRS dan FPI sebagai tanda masuk ke zaman edan, zaman Jababiro dengan munculnya “Ya’juj & Ma’juj”. Kini mulai ramai di dunia maya dengan plesetkan, munculnya “Ya’qut & Mah’fud”. Apakah tanda-tanda itu akan menpercepat kejatuhan rezim? Sebaiknya, kita diskusikan pada edisi berikutnya.

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry