Tampak Mamah Dedeh dalam sebuah acara yang menjadi jujukan pertanyaan umat. (FT/CITIZEN6)

“Mamah Dedeh menjadi sorotan publik, ini setelah video yang menayangkan salah satu episode program TV-nya, viral di media sosial. Mamah Dedeh dianggap keseleo perihal fatwanya yang minta umat Islam tidak menjadi dokter hewan.”

VIDEO itu menayangkan salah satu episode acara Mamah Dedeh di TV nasional. Seperti biasa, acara yang rutin ditayangkan setiap pagi itu dibuka oleh pembawa acara yang juga sering terlihat di layar kaca. Acara yang dihadiri kelompok-kelompok Majelis Ta’lim dari berbagai daerah di Indonesia itu basisnya memang diisi tanya jawab. Jamaah bertanya, Mamah Dedeh menjawab.

Dalam video tersebut, tepatnya di menit ke-34, seorang hadirin bertanya mengenai najis yang berhubungan dengan profesi. Profesi yang dimaksud adalah dokter hewan. Jamaah itu menanyakan: Bagaimana bagi seorang dokter hewan yang setiap saat melaksanakan operasi, misalnya mengoperasi anjing, ini kan najis mugholadhoh, apakah harus setiap saat pakai tanah, atau bisa pakai sabun? 

Mamah Dedeh menjawab dengan tegas: Harus pakai tanah tidak ada tawar menawar. Sampai di sini tidak ada masalah. Tetapi ketika jawaban itu diakhiri dengan pernyataannya: saran saya, kita sebagai seorang muslim, jangan jadi dokter hewan.

Tak hanya itu, Mamah Dedeh bahkan menyarankan kalau perlu, si dokter hewan yang muslim harus menuliskan kalimat ‘Menerima Semua Binatang, Kecuali Anjing dan Babi’ di papan nama tempat praktiknya. Karena menurutnya, dalam Islam sudah jelas perkara najis yang bisa ditimbulkan dari dua jenis binatang tersebut.

Karuan, pernyataan Mamah Dedeh tersebut disanggah banyak pihak, termasuk Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), drh. Heru Setijanto

Dia merasa sedih dan prihatin atas pernyataan Mamah Dedeh yang kurang bijak.

“Saya muslim dan saya sangat bangga menjadi dokter hewan. Sebagai dokter hewan muslim saya tahu dan paham apa itu najis dan haram. Dan sebagai dokter hewan kami pun diajari bagaimana melindungi diri dari hal-hal yang demikian. Coba bayangkan jika di suatu daerah ada wabah penyakit zoonosis yang bisa menular dari hewan ke manusia, seperti rabies (dari anjing) atau Japanese Enchepalitis (dari babi). Dan di situ tak ada dokter hewan, maka malapetaka yang akan terjadi. Motto kami, dokter hewan Indonesia adalah ‘manusya mriga satwa sewaka artinya mensejahterakan manusia melalui dunia hewan,” demikian penjelasan drh Heru.

Masih menurut drh Heru, dokter hewan adalah profesi yang mulia di mana kalau hewan sehat maka manusiapun akan sehat. Siapakah yang akan mengawasi keamanan (safety and security) dan kesehatan hewan kurban? “Ya dokter hewan. Siapakah yang mengawasi dan memonitor produk pangan asal hewan, ya dokter hewan. Siapakah yang melakukan pengujian klinis pada hewan coba terhadap obat-obatan, kosmetik atau barang-barang tertentu sebelum digunakan oleh manusia? Ya dokter hewan. Siapakah yang melakukan audit halal pada hewan sembelihan maupun pada produk pangan asal hewan? Ya dokter hewan. Jadi apakah seorang muslim tidak boleh jadi dokter hewan?,” tanyanya.

Meski ada yang setuju, tetapi, mayoritas menyanggah pernyataan Mamah Dedeh. Mereka yang kontra sebagian besar melihatnya dari sisi medis, bahwa pekerjaan dokter hewan adalah pekerjaan yang mulia. Melalui tangan para dokter hewan, manusia bisa terhindar dari berbagai penyakit yang sumbernya dari hewan. Pada intinya kesejahteraan manusia bisa diperoleh melalui penanganan hewan yang baik. Biar bagaimana pun, kehidupan manusia dan hewan berjalan selaras dan berhubungan satu sama lain. Ilmu terkait keduanya sama-sama dibutuhkan demi kemaslahatan umat. “Padahal kalau bicara soal penyakit hewan, lebih dari 50% penyakit yang menjangkit manusia itu berasal dari hewan, Mah!” demikian komentar yang lain.

Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, drh. I Ketut Diarmita, MP mengatakan, angka zoonosis atau penyakit yang ditularkan oleh hewan ke manusia dan sebaliknya dalam beberapa literatur disebutkan mencapai angka 90-95 %. Ada pula yang menyebutkan angka 75%. Tapi yang jelas, lebih dari 50% penyakit manusia asalnya dari hewan. Posisi dokter hewan di sini menjadi sangat penting. Karena masalah penyakit menular akibat virus atau bakteri dari hewan ke manusia atau sebaliknya, bisa ditanggulangi dengan mempelajari masalah kesehatan hewan juga, bukan hanya fokus pada manusianya.

Kendati begitu, ada hikmah di balik itu semua. Yakni bagaimana seorang dai memberikan fatwa sehingga tidak menimbulkan kontroversi. Inilah yang harus dicermati oleh para ustadz. Bukan berarti mengecilkan kemampuan agam Mamah Dedeh, tetapi, barangkali karena forum yang digunakan kurang memadai untuk menjelaskan semua itu.

Tak kalah menarik adalah surat terbuka yang dirikim seorang Muslim dengan laqob Alex Ramses. Dia memberikan surat terbuka dengan tajuk ‘Tentang Etika Berfatwa dan Dokter Hewan’. Mengutip Rasulullah saw: “Kalau orang diberi fatwa oleh seseorang tanpa didasari ilmu, maka dosanya ditanggung oleh yang berfatwa.”

Mengenai orang-orang yang sembrono dalam berfatwa, Ibnu Sholah mengutip ayat al-Qur’an: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini adalah halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung, sedikit keuntungan yang didapat, tapi mereka mendapat siksa yang pedih.”

Lalu Ibnu Sholah memberikan komentar: Apa yang diterangkan oleh ayat ini mencakup orang yang melenceng di dalam berfatwa sehingga mengatakan halal terhadap sesuatu yang haram atau sebaliknya dan semisalnya. Ibnu Qoyyim dalam I’lamu al-Muwaqqi’iin meriwayatkan tentang Ahmad bin Hanbal yang ditanya maksud dari hadits: “Yang paling berani menjawab pertanyaan keagamaan di antara kalian adalah yang paling berani masuk neraka.”

Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud dari hadits tersebut adalah orang yang berfatwa tanpa didasari keilmuan yang mumpuni. Ketika beliau ditanya tentang fatwa yang keluar kepada masyarakat dari seseorang tanpa didasari ilmu yang mumpuni, beliau menjawab: “Dosanya ditanggung oleh yang berfatwa.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Darimiy dalam sunannya, tetapi hadits tersebut mu’dhol, karena terputus pada Ubaidillah bin Abi Ja’far yang seorang tabi’ tabi’in dan meninggal pada 136 H. Namun demikian hadits ini banyak diketahui para ulama dan makna dari hadits ini sahih, sehingga merekapun membahas maksudnya.

Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Barang siapa menjawab semua pertanyaan keagamaan yang diajukan kepadanya, dia adalah orang gila.” Atho’ ibn al-Sa’ib dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa orang-orang dulu gemetaran badannya ketika menjawab pertanyaan agama (memberikan fatwa).

Sufyan ibnu Uyainah mengatakan: “Orang yang paling berani berfatwa (menjawab pertanyaan keagamaan adalah orang yang paling bodoh.” Sementara Abdurrahman bin Abu Laila mengaku pernah bertemu dengan seratus dua puluh orang sahabat nabi dari kalangan Ansor. Menurut pengamatannya, jika salah satu dari para sahabat itu ditanya suatu pertanyaan, maka ia akan mengalihkan ke temannya untuk menjawabnya, demikian seterusnya sampai kembali kepada orang pertama yang ditanya.

Al-Atsram sering mendengar imam Ahmad bin Hanbal mengatakan “Aku tidak tahu jawabannya”, ketika ditanya suatu permasalahan, padahal permasalahan itu sudah banyak dibahas orang (tidak dianggap permasalahan yang sulit). Ibnu Abbas mengingatkan, jika orang sudah “gengsi” untuk mengatakan “saya tidak tahu”, maka sesungguhnya orang itu telah hancur.

Menurut Imam Al-Syafi’i, Sufyan ibnu Uyainah adalah orang yang sangat kompeten dan termasuk sebagian orang yang paling memenuhi syarat untuk berfatwa, meskipun demikian, Ibnu Uyainah terkenal paling tidak berani (hati-hati) menjawab pertanyaan keagamaan. Imam Syafi’i apabila ditanyai pertanyaan keagamaan atau dimintai fatwa, beliau menimbang-nimbang dengan serius, apakah sebaiknya beliau jawab atau tidak.

Dari Al-Haitsam bin Jamil, dia berkata: Aku lihat Imam Malik bin Anas ditanyai empat puluh delapan pertanyaan maka dalam tiga puluh dua pertanyaan di antaranya beliau mengatakan: “Aku tidak tahu.” Padahal Imam Malik dikenal dengan gelarnya ‘Alimu al-Madinah, orang paling pandai di kota Madinah pada masanya.

Al-Khatib meriwayatkan Bahwa Malik pernah berkata: “Aku tidak berani berfatwa (menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan) sebelum aku dianggap dan diakui oleh tujuh puluh orang bahwa aku memenuhi syarat untuk menjawab.”

“Merujuk pada paparan di atas, maka pengajian model seperti itu (Mamah dedeh) meskipun kelihatannya Islami, tetapi sangat banyak mengandung bahaya. Baik bahaya untuk para penonton, maupun bagi penceramah yang merangkap sebagai mufti on the spot. Alangkah baiknya kalau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan jamaah itu ditampung dulu, kemudian ditelaah dan dipelajari dengan sungguh dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang terpercaya, baru dijawab pada edisi berikutnya,” demikian saran Alex Ramses.

Akan lebih baik lagi, jika memang belum memenuhi syarat untuk berfatwa, maka kita mengutip saja hasil fatwa para ulama, baik ulama zaman dulu atau kontemporer mengenai permasalahan yang ditanyakan, dengan penjelasan rinci, menurut ulama A begini, B begini, dan seterusnya. “Dan akan lebih selamat lagi kalau ceramah keagamaan diisi saja dengan nasihat-nasihat tentang kebaikan yang diajarkan agama secara umum, bukan tentang masalah-masalah yang memerlukan kemampuan khusus untuk membahasnya,” tambahnya.

Mengapa? Para ulama mengatakan bahwa orang yang menjawab pertanyaan keagamaan itu ibarat “penanda-tangan atas nama Allah”. Menurut Ibnu al-Munkadir, karena posisi mufti itu layaknya penghubung antara Allah dan makhluk, maka ia harus benar-benar berilmu.

“Kepada MUI dan ormas-ormas Islam yang banyak mewadahi kaum Muslimin Indonesia, tolong buatlah imbauan dan maklumat mengenai permasalahan ini. Kepada pemerintah Republik Indonesia, tolong bicarakan permasalahan ini dengan MUI dan ormas-ormas Islam, agar kehidupan beragama menjadi semakin baik,” tegasnya. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry