SURABAYA | duta.co – Masduki Duryat, Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, yang tinggal di Kandanghaur, Indramayu itu membuat catatan menarik di kompasiana.com. Judulnya “Bersatu, Utopiskah? (Analisis Buku Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqh yang Terlupakan)”.
Dia membuka tulisan itu dengan harapan besar: Buku ini sangat menarik untuk ditelaah, dipelajari dan—bila perlu merekonstruksi—pemahaman keagamaan ummat, sehingga idealisasi ummat yang bersatu menjadi sebuah keniscayaan. Tulisnya.
“Hebat! Masduki Duryat bisa merunut isi Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah. Meski bukan untuk mengajak warganya kembali ke Fikh Mbah Dahlan (KH Ahmad Dahlan red) pendiri Muhammadiyah, setidaknya ini semakin membuat tipis perbedaan NU-Muhammadiyah, bagus!” demikian komentar Azhar Suryansah, alumni PP Gontor yang juga Guru Bahasa Arab di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya kepada duta.co, Minggu (30/10/22).
Perbedaan fikh, amaliyah warga NU-Muhammadiyah memang semakin tipis. Bahkan tidak sedikit orangtua sekarang, yang menyerahkan pendidikan anaknya ke tokoh NU, meski basisnya Muhammadiyah. “Santri-santri di sini juga putra tokoh-tokoh Muhammadiyah. Mereka sudah tidak mau terusik dengan masalah khilafiyah. Artinya tidak laku lagi stigma bid’ah,” jelas Ustad Didik Fanani.
Yang menarik, jelasnya, ketika rukyatul hilal menjelang penetapan Idul Fitri. Bisanya NU pakai Rukyat, sementara Muhammadiyah menggunakan hisab. “Lucu! Ada persepsi masyarakat, bahwa, ini amaliyah yang tertukar. Mestinya NU itu hisab, karena suka yang bid’ah-bid’ah. Sementara, Muhammadiyah rukyat, karena suka yang orisinil. Zaman Nabi tidak ada hisab, ini bid’ah. Jadi, masyarakat sudah tidak tertarik dengan khilafiyah,” katanya sambil tersenyum.
Tak kalah menarik membaca tulisan Masduki Duryat. Menurut Masduki, fikh Mbah Dahlan ini sangat menarik untuk ditelaah, dipelajari dan—bila perlu merekonstruksi—pemahaman keagamaan ummat, sehingga idealisasi ummat yang bersatu menjadi sebuah keniscayaan.
Walaupun penulisnya, Mochammad Ali Shodiqin ragu, galau—dalam bahasa Jawa disebut ewuh pakewuh—untuk membuka kembali dokumen Fiqh Muhammadiyah 1924. Dengan bahasa yang sangat indah, katanya, ia (Ali Shodiqin) mengilustrasikan “Dilema mendera antara dibuka atau tidak kotak misterius ini.” Karena bisa melarutkan angkara.
Metamorfosa Muhammadiyah
Menurut Masduki Duryat, Kitab fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924, sesungguhnya bukan hanya warisan berharga bagi warga Muhammadiyah saja, melainkan juga warga NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU. Masalahnya hanya satu, bahwa tahun 1924 itu, NU belum lahir.
“NU lahir tahun 1926, dua tahun setelah kitab itu terbit dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang ditulis dalam kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU,” tulisnya.
Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di perairan Nusantara ini—yaitu fiqih mazhab Syafii. Dengan demikian, walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih sebagaimana yang ada di dalam fiqih Muhammadiyah 1924 itu.
Masduki Duryat juga menulis, bahwa Kiai Dahlan mendapatkan ilmunya dari ulama-ulama yang sama dengan Kiai-kiai NU. Satu guru, satu ilmu bahkan satu keluarga. Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim NU adalah sama-sama keturunan Sunan Giri. Kiai Dahlan dan warga Muhammadiyah ketika itu mengamalkan qunut, dan tarawih 20 rakaat. Mereka azan Jumat 2 kali dan takbiran 3 kali. Mereka shalat ‘id di masjid–bukan di lapangan.
“Pertanyaannya, kapan Muhammadiyah berubah? dan kenapa berubah? jawabannya bertahap, bermetamorfosa. Pada tahun 1925, dua tahun sepeninggal Kiai Dahlan, Muhammadiyah dinilai telah berubah dengan mulai diterimanya paham Wahhabi yang anti amalan pesantren,” tulisnya.
Perubahan Fiqih Muhammadiyah
Dalam sejarah panjangnya Muhammadiyah mengalami perkembangan sekaligus perubahan. Dalam konteks fiqih Muhammadiyah–sebagaimana dapat ditelusuri pada kitab fiqih Muhammadiyah jilid 3 dan keputusan Majlis Tarjih—ada beberapa perubahan utama.
Pertama, Menyentuh Lawan Jenis. mengalami pergeseran makna dari bersentuhan—sebagaimana tercantum pada kitab fiqih Muhammmadiyah 1924 h. 10–yang berkonsekuensi berwudhu ke bersetubuh—sebagai hasil HPT 1971, HPT 1974-an, dan HPT 2011.
Kedua, Membaca Al-Quran saat Hadats Besar. Pada Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 16, membaca al-Quran saat hadats besar diharamkan. Namun di masa kemudian, HPT 1971, HPT 1974-an dan HPT 2011 tidak dituliskan larangan bagi orang yang berhadats besar—junub dan haidh—yang belum mandi untuk membaca al-Quran, sebab hadits yang melarangnya dianggap dhaif.
Ketiga, Memegang al-Quran Tanpa Wudhu. Dalam fiqih Muhammadiyah 1924 h. 16 memegang al-Quran tanpa udhu itu haram. Keempat, Niat Ushalli. Berbeda dengan kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 25 yang mengajarkan ushalli, maka pada HPT 1971 tidak melafalkan niat ushalli.
Kelima, Doa Iftitah. Pada kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 25 adalah Kabiran walhamdulillahi katsiran, namun kemudian diganti dengan doa iftitah: Allahumma ba’id baina ….
Keenam Ta’awudz dan Basmalah Sirr atau Jahr. Pada Munas Tarjih ke-27 tahun 2010 di Malang, memberikan fatwa bahwa membaca basmalah secara sirr lebih utama daripada jahr, meskipun membacanya secara jahr juga boleh.
Ketujuh, Bacaan Ruku’. Bacaan ruku’ dalam HPT adalah subhanaka Allahumma rabbana wa bihamdika allahummaghfirli. Kedelapan, Doa Qunut. Keberadaan doa qunut yang diajarkan dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 27-28 dan dipertahankan dalam HPT 1971, maka sejak 1972 dihapuskan—sebagamana termuat dalam HPT 1974-an.
Kesembilan, Shalawat tanpa Sayyidina. HPT tidak melafalkan sayyidina saat bershalawat di dalam shalat, berbeda yang diajarkan dalam Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 29.
Kesepuluh, Mengacungkan jari. Sunnah mengacungkan jari telunjuk tangan kanan dalam tahiyat adalah ketika sampai pada bacaan illallah, maksudnya adalah menegaskan tauhid, yaitu Allah Maha Esa.
Kemudian diganti mengacungkan telunjuk dilakukan sejak awal membaca tasyahud, sebab tasyahud adalah doa. Dan beberapa amalan lain, yang menunjukkan ada kesamaan apa yang dilakukan oleh orang NU dengan yang diajarkan pada Fiqih Muhammadiyah 1924. Wallahu’alam. (mky)