JAKARTA | duta.co – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD buka-bukaan soal kasus ‘papa minta saham’ serta perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI) yang akhir-akhir ini jadi perbincangan publik. Mahfud berbicara mengenai masalah itu dalam twitternya @mohmahfudmd.
Dalam kultwitnya, Mahfud menceritakan, pada November 2015 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said saat itu melaporkan Ketua DPR Setya Novanto kepada Majelis Kehormatan Dewan (MKD) karena dugaan pelanggaran etik dalam proses perpanjangan kontrak Freeport. Ada dugaan, Setya Novanto meminta jatah saham dalam upaya perpanjangan kontrak Freeport.
Mahfud mengatakan, sebenarnya ada dua hal dalam masalah ini. Pertama, ada kasus pejabat negara meminta bagian saham kepada perusahaan sehingga disebut kasus ‘papa minta saham’. Kedua, ada upaya memperpanjang kontrak Freeport.
“(3)-Kasus Papa Minta Saham ditindaklanjuti dengan pemeriksaan resmi oleh MKD, tapi banyak teman-teman Setya Novanto yang membelanya di DPR. Persoalan meluas menjadi pertanyaan: Mengapa Freeport mau diperpanjang? Adalah lebih baik kalau kontrak tidak diperpanjang dan Freeport kita kuasai,” cuit Mahfud seperti dikutip Senin 24 Desember 2018.
“Benar juga, mengapa harus dilakukan perpanjang kontrak dengan Freeport? Banyak yang mendukung agar kontrak dengan Freeport diakhiri, tak perlu nego-nego segala, langsung kita kuasai 100%. Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) juga berpendapat begitu, katanya Sudirman tak berkonsultasi dengan Presiden,” tambahnya.
Mulanya, Mahfud berpandangan demikian. Dia mengaku terusik saat kontrak Freeport diperpanjang. Menurutnya, selama ada Freeport, selain perusakan dan pengerukaan kekayaan secara tidak adil terjadi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Namun, pertanyaan kemudian muncul. Kenapa Sudirman Said mau melakukan perpanjangan? Dia menduga, jangan-jangan Sudirman mendapat sesuatu tapi menuding Setya Novanto.
“Bahkan Fadli Zon (FZ) berteriak agar Sudirman dipidanakan karena melanggar UU Minerba. Sudirman Said dipojokkan,” kata Mahfud.
Mahfud sempat heran dengan Sudirman Said yang ia anggap bersih dan nasionalis itu. Setelah itu, Sudirman mengajak Mahfud untuk bertemu di Hotel Darmawangsa dan mendengar penjelasannya.
Dari keterangan Sudirman, Mahfud mengatakan, dia melakukan langkah yang benar dan menegaskan tindakannya itu sudah dilaporkan ke Presiden. Sudirman tidak mau menyerahkan SDA kepada pihak asing yang mengakibatkan kerugian bagi bangsa dan negara.
Lalu, Sudirman menunjukkan kontrak yang membuat Mahfud kaget.
“Di dalam kontrak karya dengan Freeport dicantumkan pemberian keistimewaan kepada Freeport sehingga dengan kontrak itu Freeport selalu mengatakan pihaknya bisa membawa kasus itu ke Arbitrasi Internasional jika kontrak diputus begitu saja,” lanjut Mahfud.
“Di dalam kontrak (dan notulen) disebutkan bahwa Freeport bisa memperpanjang kontrak 2×10 tahun dan pemerintah tidak dapat menolak tanpa alasan yang rasional (diterima oleh Freeport). Ada juga isi, bahwa jika kontrak berakhir maka Pemerintah harus membeli saham Freeport sesuai dengan harganya,” sambungya.
Setelah membaca kontrak itu, Mahfud berpandangan lain. Menurutnya, langkah yang dilakukan Sudirman Said benar.
Dia bilang, menurut hukum sebuah kontrak yang menjerat seperti itu hanya bisa diakhiri dengan kontrak baru melalui negosiasi. Setiap kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.
“Setiap isi kontrak bisa diakhiri dengan kontrak baru melalui asas consensual,” ujarnya.
Lantas, apakah kontrak tetap mengikat jika dibuat dengan penyuapan? Mahfud menjawab, itu harus diputus oleh peradilan pidana dulu. Sementara, peradilan pidana untuk kasus korupsi/penyelewengan daluwarsanya adalah 18 tahun. Kontrak karya sendiri terjadi tahun 1991 sehingga daluwarsanya pada 2009.
“Maka itu Pemerintah mengeluarkan UU No.4 Thn 2009 tentang Minerba yg mengubah sistem KK menjadi izin usaha. Freeport menolak dan mengatakan UU itu hanya berlaku bagi perusahaan baru. Perjanjian hny bisa berakhir dgn perjanjian baru. Itulah yang ditempuh oleh Pemerintah,” terangnya.
“Isinya memang menguntungkan Freeport. Tapi secara hukum kasus ini sudah daluwarsa karena sudah lewat dari 18 thn. Seharusnya kalau mau dipidanakan selambat-lambatnya ya tahun 2009. SELESAI. TABIK,” tutup Mahfud.
Selamat Pak SBY!
Sejumlah kalangan pun menyatakan bahwa keberhasilan menguasai saham Freeport bukan hanya karena Jokowi. Sebab sebelumnya sudah ada proses yang panjang. Misalnya di era Pemerintahan Presiden SBY. Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan misalnya membeberkan peran sejumlah pemangku kebijakan yang membuat akuisisi Freeport Indonesia tersebut akhirnya terealisasi.
“Tentu, baiknya, saya juga mengirimkan ucapan selamat kepada Pak SBY. Yang di zaman Beliau menjadikan PT Inalum dikuasai 100 (100%) BUMN,” tutur Dahlan seperti dikutip dari blog pribadinya disway.id Selasa 25 Desember 2018.
Kala itu, pemerintah mengakuisisi Nippon Asahan Aluminium (NAA) pada 1 November 2013. Pemerintah mengambil alih 58,87% saham NAA sekaligus menjadikan seutuhnya Inalum milik Indonesia.
Untuk mengakuisisi saham NAA, pemerintah menggelontorkan dana sebesar US$ 556,7 juta atau ada yang menyebut SU$ 558 juta. Angka ini lebih rendah dari harga yang ditawarkan NAA US$ 626 juta.
“Diambil alih dari Jepang. Dalam posisi perusahaan sangat jaya. Kondisi fisiknya prima. Operasionalnya istimewa. Dan tabungan uang kontannya banyak luar biasa,” tambah Dahlan.
Keberhasilan SBY mengakuisisi 100% saham Inalum kala itu, dipandang Dahlan sebagai cikal bakal berhasilnya akuisisi Freeport saat ini.
Bagaimana tidak, Inalum yang saat ini menjadi Holding BUMN sektor pertambangan tersebut menjadi ujung tombak dalam aksi pengambil alihan saham Freeport.
“Ibarat ‘kendaraan’, Inalum sudah seperti Land Cruiser. Sanggup diajak menanjak tinggi. Sampai pegunungan Jayawijaya. Membeli Freeport di sana. Inalum yang seperti itu sangat dipercaya. Untuk mencari dana global sekali pun. Empat miliar dolar sekalipun. Untuk membeli saham mayoritas Freeport itu,” papar dia.
Dahlan Iskan mengungkap kunci utama keberhasilan RI mengambil alih 51% saham PT Freeport Indonesia, Pertama, kejelian dalam melihat celah negosiasi serta ketangguhan BUMN yang ditunjuk jadi ujung tombak proses pengambilalihan saham tersebut. Lebih lanjut Dahlan mengatakan, ada hal penting yang perlu dicermati. Menurutnya, keberhasilan tersebut juga tak lepas dari keandalan pejabat terkait yang diberi kepercayaan menjalankan ‘misi’ tersebut.
“Dalam proses Freeport ini memang luar biasa. Menteri ESDM-nya, Jonan (Ignasius Jonan), bukan ahli tambang. Dia justru orang keuangan. CEO Inalum-nya, yang cari uang, dari tehnik. Ia lulusan ITB. Budi Sadikin,” kata Dahlan.
Keduanya, kata Dahlan, adalah sosok tepat yang dipercaya pemerintah. Karena menurutnya dua sosok tersebut bersih kepentingan. “Mungkin saja pandangan mata itu seperti hati. Bisa memandang jauh. Kalau kondisinya (pejabatnya) bersih. Bersih mata. Bersih hati. Bersih kepentingan,” tegas dia.
Sebenarnya, kata Dahlan, masih ada tantangan tersembunyi usai akuisisi tersebut. Pasalnya, ada porsi saham Freeport Indonesia sebesar 10% yang diserahkan ke pemerintah daerah.
Masalahnya bukan pada porsi 10% tersebut, namun lebih pada proses penyerahannya. Bila tak diawasi dengan baik, ada potensi pihak tak bertanggung jawab yang bakal masuk dan menyusup untuk mencari keuntungan dari porsi 10% saham untuk pemerintah daerah tersebut.
Apa lagi bila penyusup tersebut ternyata adalah pihak asing yang bila 10% itu tak jadi dikuasi Indonesia, maka tamatlah rencana menjadi RI menjadi pengendali tambang raksasa di tanah Papua itu.
“Sebenarnya, di Freeport itu, masih ada satu kekhawatiran saya. Di bidang partisipasi lokal yang 10%. Yang kelihatannya kecil. Tapi justru bahaya. Misalnya. Begitu yang kecil itu memihak ke sana (AS), selesailah. Dananya jadi mayoritas,” bebernya.
Namun Dahlan tak terlalu khawatir bila melihat dua sosok yakni Jonan dan Budi Gunadi Sadikin yang mengawal proses tersebut. “Jonan-Budi adalah orang pintar. Mengatasinya dengan skema yang berjenjang. Tentu masih akan ada keritik. Tapi saya tidak melihat yang lebih baik dari yang telah dilakukan ini,” tegas Dahlan.
Membeli Milik Sendiri?
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) blak-blakan seputar upaya mengambil porsi kepemilikan mayoritas di PT Freeport Indonesia, blok migas Rokan dan Mahakam. Jokowi membeberkan upaya tersebut saat hadir di acara deklarasi relawan pengusaha nasional di Hotel Fairmont, Senayan, Sabtu (3/11/2018) lalu.
Saat bicara akuisisi Freeport Jokowi menegaskan untuk menjadi pemegang saham mayoritas Freeport Indonesia tidak lah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu negosiasi yang kuat.
“Mengenai Freeport, 3,5 tahun negosiasi dipikir nggak ada tekanan? Tekanan politik dipikir 3,5 tahun memperebutkan ini mudah? Nggak ada. Ditekan dari atas bawah kanan kiri,” kata Jokowi.
Menurut Jokowi, negosiasi yang selama ini dilakukan pemerintah pun pada akhirnya membuahkan hasil. Di mana, Bos Freeport McMoRan sudah berkomitmen melepas 51% sahamnya ke pemerintah Indonesia.
“Kalau nggak ada tekanan dari dulu sudah kita dapatkan. Alotnya negosiasi tapi saya sampaikan ke menteri saya maunya mayoritas, terserah berapa tapi mayoritas,” tegas Jokowi.
“3,5 tahun akhirnya tanda tangan, sekarang tinggal konsorsiumnya Antam bayarnya, sekarang sudah rampung 51%,” sambung Jokowi.
Sedangkan soal blok migas Rokan di Riau dan Mahakam di Kalimantan Timur, Jokowi mengatakan Blok Rokan sudah jatuh ke tangan PT Pertamina (Persero). Begitu blok migas Mahakam, dari yang sebelumnya dikuasai Jepang dan Prancis, kini dikuasai Pertamina.
Dipegang oleh Jepang dan Prancis maksudnya adalah sang operator Blok Mahakam adalah Total E&P Indonesie (Prancis) dan Inpex (Jepang).
“Blok Rokan sudah dipegang Pertamina, Blok Mahakam 100% dipegang Jepang dan Prancis, sudah 100%. 3 tahun lalu kita serahkan ke Pertamina, 100%,” kata Jokowi.
Kritik Tim Prabowo-Sandi
Kisah sukses Jokowi tersebut justru dikritik tim pemenangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Dradjad Wibowo, menyoroti Jokowi yang mengaku telah merebut kembali Blok Rokan dan Freeport. Menurutnya, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan fakta yang ada.
“Banyak kesenjangan antara ‘klaim dan citra’ versus fakta,” ujar Dradjad kepada wartawan, Sabtu (3/11/2018).
Dradjad menilai merebut kembali Blok Rokan dan akuisisi saham Freeport hanyalah klaim. Menurutnya fakta yang ada perpindahan pengelolaan blok Rokan, dari Chevron ke Pertamina karena masa kontrak habis, begitu juga dengan pengambilalihan 51% saham PT Freeport Indonesia.
“Blok Rokan itu kontraknya habis Agustus 2021. Chevron mengajukan perpanjangan kontrak, sementara Pertamina menjadi pesaing. Tanggal 31 Juli 2018, pemerintah memutuskan Pertamina sebagai pemenang kontrak. Lalu gegap gempita-lah berita kalau Blok Rokan ‘direbut kembali’,” katanya.
Namun, hingga saat ini, kata politikus PAN itu, Blok Rokan masih di bawah pengelolaan Chevron karena masa kontrak baru akan habis pada 2021.
“Hingga saat ini pengelolaan Blok Rokan masih hak Chevron. Masih sama dengan puluhan tahun yang lalu. Tidak ada yang direbut sekecil kutu pun,” ujar Dradjad.
“Oh ya, jangan lupa, pengumuman Blok Rokan itu tanggal 31 Juli 2018. Tanggal 4-10 Agustus ada pendaftaran capres di KPU. Saya no comment sajalah, he-he-he…,” imbuhnya.
Lalu pada Jumat (21/12/2018), Inalum meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9.36% menjadi 51% dengan membayar US$ 3.85 miliar atau Rp 55 triliun. Sekaligus menjadi pengendali perusahaan yang memiliki Tambang Grasberg di Papua dengan kekayaan emas, perunggu, dan perak sebesar Rp 2,400 triliun hingga 2041. Namun, muncul kabar, sebenarnya hal itu seperti membeli barang milik sendiri.
Selain itu nilai akuisisi dianggap terlalu mahal. Inalum membayar US$ 3,85 miliar atau Rp 56 triliun untuk meningkatkan kepemilikan di PTFI dari 9,36% menjadi 51,2%. Sementara dalam dokumen disebutkan kalau kekayaan tambang senilai Rp 2.400 triliun dan laba bersih sebesar Rp 29 triliun per tahun setelah 2022.
Untuk diketahui, pada tahun 2017, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) pernah melakukan proyeksi harga pada dan hasilnya lebih mahal. Menurut studi IAGI, harga untuk menjadi mayoritas diperkirakan sebesar US$ 4,5 miliar atau Rp 65 triliun. Pada tahun 2015, Freeport McMoran mengajukan harga US$ 12,15 miliar untuk meningkatkan kepemilikan Indonesia menjadi 51% kepada Kementerian ESDM, yang kemudian ditawar menjadi US$ 4,5 miliar. Angka hasil valuasi konsultan keuangan Morgan Stanley di awal tahun adalah US$ 4,67 miliar.
“Kami menyayangkan adanya beberapa pengamat yang tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya, namun berani membuat analisa yang menyesatkan publik seolah-olah kami membeli Tanah Air sendiri,” ungkap Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum, Rendi A. Witular, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (23/12/2018).
PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada tahun 1967 di zaman kepemimpinan Soeharto. Kemudian diperbarui melalui KK tahun 1991 di zaman presiden yang sama dengan masa operasi hingga 2021.
Terkait dengan masa operasi tersebut, Perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan.
Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir pada tahun 2021, tetapi mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara “tidak wajar”. Interpretasi yang berbeda terkait kata “tidak wajar” ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase).
Jika ambil jalur arbitrase, dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan. Hal ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Sebagai informasi, Tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia.
Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90% ekonomi mereka digerakan oleh kegiatan PTFI. Tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun. Jika kalah, pemerintah bisa diwajibkan membayar ganti rugi yang nilainya jauh lebih besar dari harga divestasi.
Di KK itu pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan Tambang Grasberg secara gratis. KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah.
Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menjelaskan karena sistemnya adalah KK yang sah, maka Freeport selalu mengancam akan membawa ke arbitrase jika dipaksa mendivestasikan saham 51% kepada Indonesia.
“Meski bisa dihadapi, tetapi tetap tidak ada jaminan menang bagi Indonesia jika ke arbitrase,” jelas Mahfud.
(det/dw/hud)
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry