SURABAYA | duta.co – Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Surabaya adalah kota ‘istimewa’. Bahkan Kantor PBNU Tempoe Doeloe berada di Surabaya, tepatnya kawasan Bubutan yang kini menjadi Kantor PCNU Surabaya. Plakat Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) terpampang di atas bangunan tua tersebut. Hoofdbestuur, artinya kantor pusat.
“Kami sengaja datang ke Museum NU untuk melihat sejarah NU, terutama sejarah dibangunnya Gedung Museum NU itu sendiri. Dan, ternyata, kalau hari Senin libur, justru Minggu masuk,” demikian disampaikan seorang mahasiswi Universitas Airlangga (Unair) kepada Dwi, petugas keamanan Museum NU, Senin (11/11/24).
Mereka berenam, empat mahasiswi, dua mahasiswa. Masing-masing Aisyah Rizqi, Safira, Alivah Maulidya, Desla Dwi Reyvaldi, Khonsa Nur Aini, Raya Restu Abi dan Sabila Khairin Nisa. Kuliahnya di berbagai fakultas.
Mereka sengaja disebar untuk mencari informasi tentang komunitas. Pertama, yang dilihat adalah penggagas Museum NU. Lalu siapa yang meresmikan? Dan siapa yang mewujudkan gedung Museum NU ini? “Kedua, juga pingin tahu isinya,” tegasnya.
“Penggagasnya almaghfrulah Gus Dur (KH Abdurahman Wahid), pembangunan dan isinya oleh Cak Anam (almarhum Drs H Choirul Anam), peresmiannya oleh Rais Aam PBNU almaghfrulah Mbah Sahal (KH M Sahal Mahfudz). Ketiganya sudah kapundut,” jelas Mokhammad Kaiyis, pengelola Museum NU kepada 6 mahasiswa.
Lalu, apa yang urgen dari keberadaan Museum NU ini? Demikian pertanyaan yang lain. “Setidaknya, dengan adanya Museum NU, generasi penerus bisa mengikuti jejak perjuangan para kiai. Mereka tahu, mengapa NU harus berdiri? Bagaimana fikih NU tentang Kebangsaan? Bagaimana NU menyikapi perbedaan atau keberagaman di negeri ini? Semua jejak itu ada di Museum NU,” tegas Kaiyis.
Mahasiswa yang rata-rata masih semester awal ini, sempat tertegun ketika dijelaskan tentang peran penting Kiai NU dalam pertempuran 10 November 1045 yang, sekarang dikenal dengan Hari Pahlawan.
Dulu, sejarah perjuangan NU di sekolah-sekolah, selalu dipinggirkan, sekarang zaman keterbukaan, fakta-fakta sejarah tidak bisa ditutupi lagi. Termasuk peran penting Kiai NU dalam menerbitkan fatwa Resolusi Jihad, membakar semangat tempur arek-arek Suroboyo melawan kolonial.
“Itu terkait kebangsaan, kemerdekaan. Yang terkait dengan keagamaan, tahun 1926, menjelang NU lahir, sudah mengirimkan delegasi khusus ke Arab Saudi, namanya Komite Hijaz. Di lantai 2 Anda bisa membaca jawaban Raja Saud tentang tuntunan Komite Hijaz. Perlu tahu, orang Islam di dunia ini, bisa berhaji di Arab Saudi dengan bebas, di antaranya karena jasa kiai-kiai NU,” tegas Kaiyis.
Terakhir mereka minta foto bersama, dan mohon diperkenankan untuk bisa hadir (lain waktu) dalam kunjungan ke Museum NU. “Boleh! Beberapa waktu lalu, 87 mahasiswa FISIP UNAIR juga kemari mencermati geopolitik dan geostrategi kiai-kiai NU, baik secara global maupun domestik,” pungkas Kaiyis. (mky)