“Sekarang tinggal bagaimana “anak-anak zaman” Gajah Mada mampu menyimak suara bermakna dari Urang Sunda Asli (USA). Hatur nuhun. Dengan ini pula dikabarkan bahwa catatan ini adalah rekonstruksi berlebaran selam sepeken (bukan sepekan), …”
Oleh Suparto Wijoyo*

DALAM silaturahim Syawalan 1446 H ini saya kisahkan berulang kepada anak-anak. Para sanak sudara saya ajak jua membaca kisah lama untuk masa depan yang memperteguh nasionalisme. Dimomentum lebaran ini. Semoga masih ingat. Ada agenda kebudayaan yang dikemas dengan saling membuka ruang teritorial utama wilayahnya: Bandung dan Surabaya dengan perkenan “menyemat nama-nama legendaris kedua bongkahan sejarah”: Hayam Wuruk, Gajah Mada, Majapahit, Prabu Siliwangi, Pasundan-Padjadjaran. Sebuah kata yang memiliki bobot historis yang menindih kedua jiwa kawasan. Semua bolehlah mengenang Sumpah Palapa yang sangat kondang kaloko (populer) dan menggema pengucapannya di Balai Manguntur, tempat Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Jabatan di tahun 1331 M.

Sumpah Palapa merupakan garis politik kenegaraan penyatuan Nusantara sebagaimana dirintis oleh Kertanegara di lembar negara Singhasari. Kesetiaan Gajah Mada kepada trah Raden Wijaya adalah contoh pribadi berdedikasi. Kepentingan nasional diutamakan daripada keinginan diri. Peristiwa pembunuhan Jayanegara oleh dokter istana, yaitu Ra Tanca di tahun 1328 yang kemudian “diamankan” (diganjar hukuman) oleh Gajah Mada agar tahtah dilanjutkan Tribuana merupakan sisik melik yang menarik ditilik. Apalagi kisah-kisah mengenai Ra Semi yang membangun pangkalan militer di wilayah Sememi (tempat saya tinggal di Surabaya Barat), di mana kini saya menggelorakan Rembuk Kebangsaan Nusantara. Sememi ada dalam tata kelola Ra Semi dan Ra Kuti di daerah Kutisari. Ini menarik di simak tapi belum saat ini.

Dalam rentang jabatan Perdana Menteri Gajah Mada menjabat inilah hadir Pakuwon Pajajaran menjelma menjadi Kerajaan di 1333, nyaris setarikan dengan penyatuan Bali di 1334, saat Hayam Wuruk dilahirkan. Hayam Wuruk dididik dengan kecakapan prima mengemban mandat Dampar Kencono (tahtah istana) tahun 1350 dengan sematan gelar Rajasanegara. Baginda Hayam Wuruk membuat Majapahit moncer atau meminjam bahasa Syahrini, cetar membahana menjadi imperium Macan Asia 1350-1370. Raja perjaka ini pada tahun 1357, saatnya memiliki permaisuri, berpendamping wanita unggul dan jelita, maka “pansel” dibentuk untuk melakukan seleksi nasional dan terpilihlah Citrasymi alias Diyah Pitaloka, Mojang Priangan, anak kinasih bermartabat terhormat, Raja Pajajaran. Pinangan terhadap Putri Kerajaan Pasundan baru dilangsungkan dan rotasi romantika digelar atas nama cinta yang membentang asa dari Majapahit bertaut di Tatar Sunda.

Gumparan bahagia mengkristal dalam imaji sejoli yang dibalut “hangatnya kelambu asmara” dengan ikutan agenda pertautan dua negara yang akan semakin mencakrawala kekuasannya. Sepertautan kisahnya laksana “formasi cinta” manunggale Ratu Saba dengan Raja Sulaiman. Cerita gandrung yang melegenda sebagai “kristal kuasa” Kerajaan Nabi Sulaiman yang terabadikan dalam Kitab Suci sebagai otoritas peradaban negara yang tidak ada bandingan kehebatannya, sebelum maupun oleh budaya manusia sesudahnya. Pernikahan Ratu Saba dan Nabi Sulaiman telah mewujudkan dua negara menjadi satu Imperium Global Sulaiman. Pada rentang ini sempatkanlah membaca Al-Qur’an Surat AnNaml ayat 23-41 yang memuat kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis menakjubkan. Kisah tentang dua figur yang sama-sama berkedudukan sebagai pemimpin berkarakter top markotop melebihi teori-teori leadership kontemporer.

Namun itu tidak berlaku di Majapahit dan Pasundan di tahun 1357. Kisahnya menjadi “cinta yang tertikam”. Sebagaimana catatan Malcolm C. Lyons (2014) dalam Kisah-kisah Menakjubkan, menunda klimaks adalah barang dagangan kisah-kisah percintaan. Dalam kisah cinta cenderung berujung memilukan, dan bait-bait yang sebagian besar melankolis menghiasi kisah-kisah di Arab sampai apa yang tertoreh antara Prabu Hayam Wuruk dan Diyah Pitaloka.

Diyah Pitaloka beserta keluarganya terhempas dalam simbahan luka yang berujung lara yang direguk rakyat sampai kini, akibat tragedi di Lapangan Bubat. Perkawinan yang gagal ditambah dengan “bumi hangus” keluarga kerajaan Pasundan oleh “ambisi politik yang tidak dibarengi dengan diplomasi katrisnan” dari Gajah Mada itu, ternarasi dalam ingatan sosio kultural yang semakin lama semakin manages(terpatri) di hati rakyat Sunda. Peristiwa perih yang menghunjam dalam lubuk peradaban dan terus membuncah pada ingatan yang terdongengkan dari generasi ke generasi ini dibungkus dalam “kelambu” Sundayana. Tragedi di Alun-alun Bubat itu dianggap sebagai lembaran yang menghasilkan kebenaran ajaran dengan segala ritme ruhani hebat. Kebenaran yang dipegang teguh selaksa “sari pati keimanan”. Ingat dan bandingkan dengan Tragedi Karbala, tempat dimana Sayyidina Husein atau Imam Husein terbunuh pada 10 Muharram 61 H, atau 10 Oktober 680 M. Karbala terletak di Irak.

Dalam lingkup inilah torehan hebat Gajah Mada di tahun yang sama, 1357 dengan menghadiahi Hayam Wuruk melalui keberhasilan Ekspedisi Dompu oleh Laksamana Nala, tidak membuat Sang Raja mengembang senyumnya. Nafasnya tetap ditarik pelan dengan lirih suara Raja Dangdut Rhoma Irama “kegagalan cinta” yang menyemesta. Hayam Wuruk merintih dalam perihnya jiwa atas gelora rindu yang terhuyung pilu dan itu semakin mengelamkan jiwanya, karena justru ulah mempolitisir cinta dengan “penundukan negara atas nama kemegahan kerajaan”. Sejak itu Gajah Mada merasa bersalah dan menghaturkan tebusan ruhaniah melalui mekanisme Paseradaan Agung (“haul akbar”) untuk mengenang almarhumah Gayatri Rajapatni di tahun 1362 dengan ucap pamungkas yang menyentuh langit tertinggi keluhuran budi Hayam Wuruk. Gajah Mada berucap: “an wanten rajakaryyolihulih nikanang dharyya harwa pramada”. Suatu ungkapan tanpa tepian harga diri melainkan penyatuan sukma dengan ujaran tangis yang menggetarkan “sidratil muntaha”. Masyarakat langit seakan tergunjang atas penyesalan yang sedemikian ikonik dari Gajah Mada ini.

Apa yang diperjanjikan Gajah Mada itu maknanya? Saya mencoba memperagakan kepada para kolega di Tatar Sunda, dari beragam kampus hebat di Kota Bandung. Bahwa sesungguhnya, ekspresi Gajah Mada pada saat mengucapkan sejurus testamen itu: “an wanten rajakaryyolihulih nikanang dharyya harwa pramada” – “segala titah Raja tidak boleh diabaikan” dengan menyimpuhkan diri “pasrah bongkoan seluruh pengabdiannya kepada sang Raja”. Demikianlah menurut gambaran yang diberikan oleh Muhammad Yamin (1945) sambil membungkukkan diri, penuh khidmat. Sebuah ekspresi yang dramatis, supermelakolis sambil memelantingkan raga ke dasar lantai sentrum kekuasaan Bumi Majapahit.

Dari sinilah Gajah Mada mengambil jalan menepi, jalan sunyi sesunyi-sunyinya dari sengkurat politik menempati tanah hadiah Sang Raja di Madakaripura. Gajah Mada topo kumkum menebus salah membasuh luka jiwa raga Sang Noto. Dalam ritual mandi air suci di Madakaripura inilah, Gajah Mada membopong harkatnya menjemput maut, mengidungkan akhir hayatnya di tahun 1364 dalam tumindak yang dinamakan tirtasewana. Sudahkah kita mampu “mentirtasuwanakan” ego anak-anak dari Majapahit untuk menebus “kepahitan” Pasundan? Maka hadirnya penolakan “soal penambahan nama jalan saja” yang saat itu terbersit dan belum mau “sumeleh” oleh sebagian pegiat Surabaya, sungguh bukti kukuhnya “titik nasionalisme” semu di kota Pahlawan.

Kecintaan yang unik nan menggelitik dan menampik kebersamaan. Kepahlawanan yang egoistik dan membuat saya jengah, karena mereka tidak mendengarkan keluasan hati para kolega Sunda yang berkenan membopong Majapahit dalam jalur nafasnya. Senyampang dalam suasana lebaran, saya sebagai warga Surabaya menghaturkan mohon maaf lahir batin ya Kang. Demikianlah hati mesti dipatrikan untuk Indonesia. Mereka yang pada mulanya menolak dan kini menerima dengan “catatan yang mengaungkan kehebatan sosok tertentu, dan lupa dengan peran ulama” perlu membuka ruang diskusi yang lebih lebar. Peristiwa 10 November 1945 dan keberhasilan melawan agresi Sekutu sejatinya tidak luput, bahkan sentralnya adalah Resolusi Jihat 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari. Gerakan besarnya adalah kaum santri. Ini sengaja saya selipkan karena ada kesan seolah-olah perjuangan 10 November 1945 itu tidak ada santrinya. Tanpa Resolusi Jihat tidak ada 10 November 1945. Ini tentu butuh getar jiwa tersendiri untuk mengulasnya dan ruang kebatinan atas jasa para ulama yang spektakuler ini.

Maka kalau anti pemberian Jalan Prabu Siliwangi atau Jalan Pajajaran misalnya (kala itu), terbersitlah tanya: nasionalisme macam apa yang dimiliki oleh mereka yang pakai menyuarakan penolakan di Surabaya atas niatan “membalut luka membasuh duka” yang secara faktual memang masih menghiasi pembelajaran “kampung ini”. Adakah Perang Bubat itu benar-benar ada? Ataukah itu hanyalah konstruksi budaya yang sengaja dicipta untuk menimbulkan benturan peradaban ala “Clash of Civilizations” Samuel Phillips Huntington (1927-2008) dalam terkenalnya The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order itu?

Tentu “tikaman legenda” Perang Bubat tidak perlu terus diunggah, apalagi dibuncahkan, untuk semakin menggelarkan konflik sosial berkepanjangan? Oh … oh … betapa saya dibuat tertegun oleh para tokoh Sunda yang selama ini saya menyaksikan mengenai kerasnya logika yang dibangun tentang Gajah Mada yang “disoraki” sebagai anti persatuan. Data kesejarahan dipaparkan sangat rinci tentang Nusantara yang bersatu sebelum Gajah Mada, dan bagaimana “dosa politik” Gajah Mada harus ditanggungnya, karena ulahnyalah yang menyebabkan “keperihan kultural” antara Jawa-Sunda. Gajah Mada diretas gagal mempersatukan Nusantara, justru menikam Sunda, karena khawatir adanya matahari kembar di Nusantara: Pajajaran dan Majapahit.

Tetapi diskusi hari-hari selama berlebaran di Jawa Barat, saya berbinar dalam gumparan yang terpendar bersama banyak elemen keluarga besar Urang Sunda. Silaturahmi gagasannya amatlah menyentak dengan hentakan yang menyadarkan betapa ruhani nasionalisme bagi mereka jauh lebih penting dari segala rupa dalil-dalil sejarah. Sehubungan dengan pemberian nama-nama yang “berkarakter Majapahit” itu pada dinamikanya memang ada “riuh-reda” penolakan, bahkan sangat vulgar. Betapa kesadaran kolektifnya sangat mengagumkan dengan unggahan: oleh karena para pemimpin, Gubernur Jawa Barat (Kang Aher waktu itu) dan Jawa Timur (Pakde Karwo kala itu) melalui persaksian “pemangku adat” Jawa, kami pun bisa mengerti, dapat memahami, bahwa pemberian nama itu diniscayakan kami terima demi “cahaya kebangsaan” ke depan yang lebih cerah. Kenangnya.

Subhanallah. Mereka secara sosiologis dan futuristik (karena urusan legalitas biar diurus institusi pemerintahan) tampak legowo menerima. Terpotret semangat persatuan bahwa mereka tidak ingin Urang Sunda mendapatkan “stempel sebagai pihak yang terus mengabadikan duka”. Kami tidak mengenal “dendam sejarah” tetapi hendak membangun sejarah yang secara material sebenarnya telah cair dan akur, tetapi ruas-ruas formalitas tampaknya perlu “dipahatkan monumen jalan” sebagai penanda. Ini mengagumkan dan saya terpesona dengan konklusi awal bahwa Urang Sunda Asli telah memberikan “penanda peradaban Sunda” yang amat nasionalis. Inilah hadiah optimisme yang memperkokoh nasionalisme dalam jejak lebaran yang kini sampai di titik 1446 H.

Sekarang tinggal bagaimana “anak-anak zaman” Gajah Mada mampu menyimak suara bermakna dari Urang Sunda Asli (USA). Hatur nuhun. Dengan ini pula dikabarkan kepada pembaca bahwa catatan ini adalah rekonstruksi berlebaran selam sepeken (bukan sepekan) dan untuk selanjutnya perjumpaan kita akan “melintasi planetarium pikir” dalam kolom Dis Way seperti sebelumnya. Silaturahmi saya diwarnai makan kupat dan opor ayam yang hemmm, nikmat khas Sunda. Selamat Beridul Fitri 1446 H, Maaf Lahir dan Batin. Idul Fitri adalah pengobat luka peneguh kebersamaan. Akhirnya sebagaimana diungkapan kaum Nahdhiyyin: Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq, memanglah Allah adalah Dzat yang memberi petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya. (*)

*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum, CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry