Mahasiswa Unusa yang lolos PKMM Dikti 2018. DUTA/istimewa

SURABAYA | duta.co – Lima Mahasiswa program studi S1 Kedokteran Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) lolos Program Kreativitas Mahasiswa Masyarakat (PKMM) 2018.

Lolosnya mahasiswa Unusa ini dengan modul deradikalisasi.

Mereka adalah Akbar Reza dan Hafizh A. Sodali sebagai surveyor lapangan, Dian Dakwatul sebagai peramu teori, sementara Diaz Syafrie dan Athya Ulya adalah penyusun kerangka deteksi radikalisme.

Modul yang merupakan bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM) ini diterapkan untuk anak SMP dengan pendekatan yang humanis dan persuasif.

Diaz Syafrie mengungkapkan, dari pada mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin.

Agaknya peribahasa ini yang paling sesuai untuk para mahasiswa, yang tergabung di tim PKMM Unusa. Bagaimana tidak.

Di saat banyak pihak sibuk menyalahkan siapa yang paling bertanggung jawab untuk aksi-aksi teror di Nusantara, lima mahasiswa kedokteran ini memilih menyibukkan diri untuk menggagas modul deradikalisasi.

“Mengapa dipilih anak SMP? Setidaknya ada dua alasan. SMP itu usia tanggung, dikatakan anak, ya sudah remaja,” tuturnya.

“Dikatakan remaja, ya masih anak-anak. Kegiatan penyuluhan dan pembuatan modul ini dilaksanakan di UPTD Kampung Anak Negeri Surabaya,” kata Diaz Syafrie.

Menurut Diaz yang juga sebagai ketua PKMM ini, jenjang SMP adalah usia kritis dimana anak lebih menurut kepada orang lain ketimbang orang tuanya sendiri.

“Ya, kalau yang di dekatnya itu orang baik, kalau tidak? Bisa-bisa mereka ketularan radikal,” jawab mahasiswa asal Lamongan ini.

Yang kedua adalah alasan hormonal. Karena di usia ini, hormon remaja mulai meningkat, sehingga mereka punya kelebihan energi.

“Kalau tidak disalurkan kepada hal-hal yang positif maka berpotensi menjadi negatif, termasuk radikalisme bahkan aksi teror,” ungkap Diaz.

Koordinator lapangan PKMM, Hafizh A. Sodali menambahkan Modul deradikalisasi ini memiliki tiga aspek, yakni kreativitas, nasionalisme, dan spiritualisme. yang terpenting adalah mengasah empati anak-anak.

“Empati semacam perekat untuk tiga aspek tadi. Deradikalisasi hanya bisa ditangkal jika empati seseorang sudah terasah sejak muda,” katanya.

Sedangkan tiga aspek itu adalah sarana menyalurkan kelebihan energi anak-anak,”  imbuh alumni SMAN Yosowilangun Lumajang ini saat ditemui di Tower Unusa, Selasa (5/6)

Di tempat terpisah, dosen pembimbing PKMM Dr. dr. Handayani. M.Kes,  menyebutkan bahwa modul deradikalisasi ini merupakan jawaban dari kegelisahan bangsa selama ini.

Mindset utama warga Nahdliyin adalah rahmatan lil ‘alamiin, sehingga berlarut-larut mencari siapa yang salah justru membuat situasi makin rumit.

“Dengan semangat itu pula, kami tidak ingin melawan kekerasan dengan kekerasan. Maka modul ini harus sepersuasif dan sehumanis mungkin,” terang dokter yang juga sebagai dekan FK UNUSA ini,

Bagi, dekan FK Unusa, lolos PKMM hanyalah langkah awal. Dirinya salut karena mereka mengajukan penelitian lebih lanjut.

Dr Handayani hanya ingin karya lima mahasiswa ini punya sumbangsih besar bagi bangsa. Apalagi deteksi radikalisme yang disusun Athya, kalau dikembangkan itu sangat besar manfaatnya.

“Deteksi radikalisme ini bisa disalahgunakan untuk menuduh pihak-pihak tertentu. Walau di balik layar, peran Dian untuk menyusun dasar teori dan Akbar yang mengujinya di lapangan sangat sentral,” ungkapnya.

“Kalau mbleset, waduh bahaya, bisa jadi bumerang,” sambungnya. rud

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry