SURABAYA | duta.co – Milenial harus mendapatkan literasi tentang wakaf semasif mungkin. Karena dengan jumlah populasi yang besar, milenial ini bisa menghasilkan dana wakaf yang sangat besar.

Hal itu disampaikan Ketua Forum Wakaf Produktif, Bobby P Manullang saat menjadi pembicara dalam talkshow Optimalisasi Gerakan Sadar Wakaf dengan Penguatan Digitalisasi di Ajang Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Jawa 2024, di Masjid Al Akbar Surabaya, Sabtu (14/9/2024).

Dikatakan Bobby, milenial memang harus disadarkan pentingnya berwakaf. Karena mereka yang akan memegang peranan untuk perkembangan wakaf di masa depan.

“Milenial harus tahu bahwa berwakaf tidak harus dengan dana besar. Ada juga gerakan wakaf seharga secangkir kopi. Ini bukti bahwa uang kecil jika dikumpulkan bisa menjadi besar,” ujarnya.

Bobby neyontohkan hasil wakaf uang Rp 10 ribu dan Rp 20 ribu yang dilakukan milenial sudah menghasilkan beberapa rumah sakit. Salah satunya adalah RS di Pesantren Tebuireng Jombang. Lewat digital banking, sejuta milenial berwakaf uang Rp 10 ribu. Menghasilkan Rp 10 miliar dan itu bisa untuk membangun rumah sakit. Kalau ini terus dilakukan, bisa tiga bulan sekali kita bangun rumah sakit,” jelasnya.

Tidak hanya membangun gedung dengan wakaf, ekosistem Social Islamic Finance juga bisa dibangun. “Gedung dari wakaf, sistem layanan untuk membantu masyarakat bisa dadi zakat infaq shodaqoh dan sebagainya,” tuturnya.

Dengan begini, masyarakat semakin didasarkan bahwa dengan uang yang kecil bisa untuk memberikan dampak yang luar biasa.

Karena selama ini wakaf menjadi momok mindset yang kontraproduktif. Sehingga selama ini wakaf tidak bisa berkembang. Setidaknya ada tiga hal yang membuat hal itu terjadi yakni, wakaf hanya untuk orang-orang kaya, kedua lazim ditunaikan dalam jumlah besar. Sehingga itu muncul alasan ketiga bahwa wakaf hanya bisa dilakukan kalau sudah kaya.

Ini yang membuat wakaf fixed asset dengan uang tunai itu mengalami kesenjangan. Fixed asset bagaikan deret ukur dan tunai bagaikan deret hitung. Sehingga selalu dihadapkan pada fenomena fixed asset selalu terbengkalai karena minimnya dana untuk pengelolaan dan pemanfaatan.

“Sekarang ini dengan digitalisasi, wakaf bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja dengan jumlah uang berapa saja,” ungkapnya.

Selain itu untuk keberhasilan wakaf tergantung cara pengelolaannya. Peran nadzir (orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf) sangatlah penting. Nadzir kata Bobby harus bisa selevel dengan manager investasi di sebuah perusahaan. “Jika nadzir salah mengelola uang wakaf maka dampaknya akan menurunkan nilai dari uang itu. Padahal pengelolaan dana wakaf bisa untuk melaslahatan umat,” tandasnya.

Ketua Asosiasi Nadzir Indonesia, Imam Nur Aziz menambahkan saat ini, anggota Asosiasi Nadzir sebanyak 2 ribu orang. Jumlah ini jauh dari harapan. “Dukungan Bank Indonesia sekarang untuk mengedukasi pada nadzir agar kompeten di bidang sesuai agenda yang diusung bersama itu

“Sehingga ke depan nadzir memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang diharapkan agar pengelolaan wakaf bisa baik dan berkembang pesat,” tukasnya. lis

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry