
“Bila dibaca dengan bahasa kekuasaan, ini sama artinya dengan “Listyo Sigit sudah selesai”. Sigit memang masih menjabat, tapi hanya secara administratif. Seperti raja tanpa kerajaan. Tanda tangan masih berlaku, tapi kendali sudah berpindah tangan.”

Oleh Edy Mulyadi, Wartawan Senior
SEPERTINYA Istana tak mau basa-basi soal Reformasi Polri. Rabu (8/10) Mensesneg Prasetyo Hadi menegaskan, Kapolri tidak pernah mengajukan nama untuk Komite Reformasi Polri.
Buat yang jeli, pernyataan ini sesungguhnya berbicara jauh lebih banyak dari sekadar bantahan teknis. Ini bukan hanya soal siapa yang mengusulkan siapa. Ini sinyal politik keras, bahkan sangat keras, bahwa Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah benar-benar “dipinggirkan” dari lingkar inti kekuasaan.
Bayangkan, reformasi Polri adalah agenda besar dan sangat strategis. Gawean ini menyangkut kredibilitas pemerintahan Prabowo di mata publik. Dalam logika organisasi normal, siapa lagi yang paling layak dilibatkan dalam pembentukannya? Tentu pimpinan Polri sendiri?
Tapi kali ini ternyata tidak begitu ceritanya. Istana memastikan: Kapolri tidak mengusulkan apa pun. Bahkan, kata Prasetyo, Presiden sudah mengantongi nama-nama calon anggota komite. Perkaranya cuma tinggal menunggu waktu untuk mengumumkannya.
Artinya, Prabowo berjalan sendirian dalam proyek reformasi Polri. Tanpa Kapolri. Tanpa tim bentukan Kapolri. Tanpa koordinasi dengan Markas Besar Polri. Ini pernyataan terbuka bahwa Jenderal Sigit tidak lagi dipercaya menangani pembenahan institusi yang dia pimpin.
Prabowo Marah Besar
Kita mafhum, prahara akhir Agustus silam membuat publik marah atas tindakan brutal aparat di berbagai demo. Presiden Prabowo juga marah, karena ada pihak-pihak yang merencanakan dan menunggangi aksi yang berujung rusuh.
Kemarahannya kian membuncah, ketika dia memperoleh informasi intelejen, bahwa dalang di balik aksi itu justru orang yang selama ini dia bantu. Itulah sebabnya presiden menyebut rusuh kemarin sebagai tindakan teror, bahkan makar. Kita membaca telunjuk Prabowo tidak ditebar, tapi tertuju pada “kelompok yang merencanakan dan menunggangi aksi”.
Dalam konteks itu, maka keputusan Presiden meninggalkan Listyo Sigit bukan hal mengejutkan. Dari awal, ada semacam pembentukan Tim Reformasi Polri versi Kapolri, dan ini dianggap hanya manuver penyelamatan. Isinya adalah orang-orang Sigit sendiri. Gaya lama. Birokratis. Jauh dari semangat perubahan yang diinginkan rakyat.
Kini, Prabowo menempuh jalannya sendiri. Dia ingin reformasi Polri yang dikendalikan langsung dari Istana. Itulah mengapa muncul nama-nama seperti Mahfud MD dan Ahmad Dofiri. Dua sosok tersebut tidak berada di garis komando Kapolri. Sebaliknya, mereka bisa disebut-sebut (lumayan) dekat dengan Presiden. Dengan begitu, pesan politiknya sangat jelas: reformasi Polri milik Presiden. Bukan Kapolri.
Bersih-bersih Warisan Lama
Bila dibaca dengan bahasa kekuasaan, ini sama artinya dengan “Listyo Sigit sudah selesai”. Sigit memang masih menjabat, tapi hanya secara administratif. Seperti raja tanpa kerajaan. Tanda tangan masih berlaku, tapi kendali sudah berpindah tangan.
Pernyataan Prasetyo juga menyiratkan bahwa semua keputusan kini dimonopoli Prabowo: “sudah ada nama-namanya. Tinggal tunggu tanggal mainnya.” Bahasa yang dingin, tapi sarat pesan: tidak ada lagi ruang negosiasi bagi Polri. Semua dikunci dari atas.
Dalam konteks politik kekuasaan, Prabowo tampak sedang membersihkan panggungnya dari warisan lama. Terutama figur-figur yang selama ini dianggap orang Jokowi. Dan Jenderal Sigit, sebagaimana diketahui publik, adalah salah satu simbol paling kuat dari era Jokowi. Maka wajar bila Prabowo ingin menata ulang Polri dengan orang-orang pilihannya sendiri.
Namun persoalannya bukan sekadar siapa duduk di mana. Yang jauh lebih penting adalah: ke mana arah reformasi Polri ini sebenarnya akan dibawa? Apakah hanya ganti pemain tanpa mengubah sistem? Apakah hanya operasi pencitraan agar rakyat melihat ada gebrakan, padahal substansinya nihil?
Sebab rakyat sudah terlalu sering ditipu jargon reformasi. Dari reformasi birokrasi, reformasi hukum, hingga reformasi agraria. Semua berakhir menjadi proyek kosmetik. Jangan-jangan, reformasi Polri ini pun akan bernasib sama. Sekadar memoles citra. Bukan mengubah watak.
Bila Prabowo benar-benar ingin meninggalkan jejak sejarah, dia harus berani memulai dari yang paling mendasar. Kembalikan Polri sebagai pelindung rakyat. Bukan alat kekuasaan. Hentikan budaya korporatis di tubuh kepolisian. Bersihkan mental dagang-jasa hukum. Dan yang paling penting, kembalikan keberpihakan pada keadilan, bukan pada penguasa.
Sebab reformasi sejati tak akan lahir dari tangan para mantan atau titipan. Ia hanya lahir dari keberanian melawan sistem lama, termasuk bila sistem itu masih bernafas di bawah baju bernama reformasi. []
Jakarta, 10 Oktober 2025





































