MALAPRAKTIK: Belasan pengunjuk rasa yang tergabung ASPP menuntut pengurus IDI menggelar sidang kode etik terhadap dr Moestidjab. (Duta.co/Andi Mulya)

SURABAYA | duta.co – Diduga melakukan melindungi dokter nakal, puluhan massa yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Surabaya Pembela Pasien (ASPP), melakukan unjuk rasa di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya yang bertempat di Jalan Prof Dr Moestopo, Rabu (1/3).

Mereka menuntut agar IDI Surabaya segera menuntaskan kasus dugaan malapraktik yang dilakukan oleh dr Moestidjab, Direktur Utama (Dirut) sekaligus dokter Surabaya Eye Clinic, Jalan Jemursari Surabaya.

Massa melakukan aksi demo dengan melakukan orasi dan membentangkan spanduk bertuliskan tuntutan yang ditujukan kepada IDI Surabaya. Beberapa spanduk yang dibentangkan massa bertuliskan diantaranya,  “Apakah dokter kebal hukum? Sehingga rakyat dikorbankan”, “Adili dokter yang diduga lalai dan bohong”, “IDI jangan jadi pelindung dokter nakal”.

Dalam orasinya, massa berkali-kali menyindir bahwa IDI seringkali tidak transparan dalam menyidangkan dokter yang dilaporankan oleh pasien korban malapraktik. “IDI harus adil, tindak tegas dokter nakal yang telah merugikan masyarakat. Jangan justru menjadi pelindung dokter-dokter nakal,” ujar Antok Siswoyo, kordinator aksi massa dalam orasinya.

Kasus dugaan malapraktik menimpa Tatok Poerwanto, warga Jalan Ubi II Surabaya. Tatok akhirnya mengalami buta permanen usai menjalani operasi katarak saat ditangani dokter Moestidjab. Saat ditanya terkait dugaan malpraktik ini, IDI Surabaya juatru memberikan jawaban yang tidak transparan. “Berkali-kali jawaban IDI hanya tunggu-tunggu terus, tanpa ada hasil,” tandasnya.

Menurutnya, dr Moestidjab dinilai tidak mencerminkan sebagai seseorang yang berprofesi sebagai dokter atas ulahnya tersebut. Apalagi dalam kasus ini, dokter Moestidjab justru menggugat pencabutan surat permohonan maaf yang telah dibuatnya sendiri ke Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam surat permohonan maaf itu, dokter Moestidjab mengakui Tatok mengalami buta permanen akibat dari kesalahannya dalam melakukan operasi katarak.

Sementara itu, Heru Mustafa, staf IDI Surabaya menjelaskan, saat ini kasus dugaan malpraktik atas nama teradu yaitu dokter Moestidjab masih terus ditangani oleh pihaknya. Saat ini masih dalam tahap proses mediasi antara dokter Moestidjab dengan keluarga Tatok Poerwanto (pengadu).

“Masih proses mediasi, tapi antara teradu (dr Moestidjab) dan pengadu (Tatok Poerwanto) masih ada tuntutan yang belum sesuai,” terangnya.

Perlu diketahui, malpraktik yang menimpa Tatok ini berawal saat dirinya mendapat perawatan medis atas penyakit katarak yang dideritanya di Surabaya Eye Clinic pada 28 April 2016 dan ditangani oleh dr Moestidjab. Usai operasi, kondisi mata Tatok kian parah. Oleh dokter Moestidjab, Tatok disarankan kembali menjalani operasi di Rumah Sakit Graha Amerta, Surabaya.

Namun usai menjalani operasi yang kedua kalinya, asisten dr Moestidjab justru mengatakan bahwa operasi tidak dapat dilanjutkan karena adanya pendarahan dan peralatan kurang canggih. Kemudian dokter Moestidjab merujuk Tatok agar segera berobat ke Singapura.

Ironisnya sesampai Singapura, lokasi yang disarankan dr Moestidjab tenyata justru tidak layak. Keluarga pun akhirnya memutuskan membawa Tatok ke Singapore National Eye Centre di Singapura.

Dari hasil keterangan Singapore National Eye Centre itulah terungkap bahwa Tatok telah menjadi korban malpraktik dr Moestidjab. Rekam medis dari Singapore National Eye Centre menjelaskan bahwa kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani lagi karena kesalahan saat operasi pertama yang dilakukan dr Moestidjab. and

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry