Nurul Fahmi Ditindak, Bagaimana Iwan Fals, Metalica?

JAKARTA | Duta.co – Polisi memang sudah mengabulkan penangguhan penahanan Nurul Fahmi (28), tersangka pencoret bendera merah putih dengan kalimat tauhid dan gambar dua pedang saat demo Front Pembela Islam (FPI). Namun, kritik tebang pilih penanganan kasus serupa terus mengalir, termauk dari legislator dan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.

Tentang dikabulkannya penangguhan Nurul, selain penjaminnya  Ustad Arifin Ilham juga  alasan kemanusiaan.

“Dari analisa penyidik terkait alasan subjektif, alasan penangguhan penahanan memang sudah diyakini yang berarti ada jaminan orang dari ustad (Atifin Ilham) dari istrinya. Kemudian istrinya sendiri juga baru melahirkan 12 hari, artinya perlu perhatian dari suaminya yang memberikan nafkah (bagi) keluarganya,” terang Kepala Bagian Bina Mitra Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Awi Setiyono kepada wartawan di Mapolres Jaksel, Jl Wijaya II, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (24/1/2017).

Menurut Awi, penyidik juga mempertimbangkan subjektivitas penahanan dalam penangguhan penahanan ini. “Kita juga akomodir dan alasan objektifnya juga yang bersangkutan berjanji tidak akan melarikan diri, mengulangi perbuatannya dan menghilangkan barang bukti,” sambung Awi.

Dalam kesempatan yang sama, Kapolres Jaksel Kombes Iwan Kurniawan juga menyampaikan hal yang sama. Selain pertimbangan kemanusiaan, Iwan menilai bahwa Fahmi sudah mulai kooperatif selama proses penyidikan berlangsung.

“Jadi penangguhan kita sudah kabulkan dengan pertimbangan tadi sudah disampaikan kan, bahwa yang bersangkutan sudah mulai kooperatif, kedua juga kita pertimbangan kemanusiaan juga bahwa yang bersangkutan punya anak yang baru 12 hari lahir, kemudian juga menjadi pencari nafkah bagi keluarganya,” jelas Iwan.

Fahmi dijerat dengan Pasal 66 UU No 24 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Fahmi ditangkap setelah membawa bendera Merah-Putih bertulisan lafaz Laa Illaha Illallah dengan gambar 2 pedang di bawahnya, saat aksi demo massa Front Pembela Islam (FPI) di depan Mabes Polri, Senin (16/1) lalu

.

Kritik Tebang Pilih

Sementara itu, kritik sikap polisi tebang pilih dalam menangani kasus bendera merah putih yang ditulisi kalimat tauhid dan gambar dua pedang antara lain datang dari politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Al Muzzammil Yusuf menuding polisi tebang pilih.

“Contohnya gambar bendera merah putih yang ada lambang Metallica, Oi (Iwan Fals), dan lain-lain. Nur Fahmi yang tanpa pelapor akan diusut kenapa pelaku lain tidak diusut,” ujar Muzzammil di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/1/2017).

Muzzammil juga mempertanyakan penegak hukum jika kata-kata berbahasa Arab yang ada di bendera itu adalah kata-kata yang tak pantas. “Padahal kata-kata suci, syahadat, bukan menodai,” ujar Muzzammil.

Dia juga mengkritisi polisi yang sampai harus menangkap Nur Fahmi. Penangkapan menurutnya terkesan bahwa pelaku melakukan tindak kejahatan berat. Karena itu, Muzzammil meminta sesama koleganya di DPR bisa ikut mengawal proses ini.

“Saya yakin banyak anggota DPR yang bersama kami untuk penegakan hukum. Saya minta teman-teman yang punya perasaan sama untuk berdiri,” kata wakil ketua Komisi II DPR ini.

Seperti diberitakan, polisi menangkap Nur Fahmi, di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Nur Fahmi (26) adalah pembawa bendera merah putih bertuliskan kalimat tauhid dan dua pedang saat demo FPI di Mabes Polri, Senin (16/1/2017) lalu.

Yusril: Perlu Persuasif

Komentar juga datang dari Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Profesor Dr Yusril Ihza Mahendra. Dia meminta polisi dan aparat penegak hukum lainnya hati-hati menerapkan pasal-pasal pidana dalam UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.

Dalam sebuah artikel di akun fanpage-nya di Facebook, Selasa (24/1), Yusril mengatakan, pelanggaran pasal-pasal larangan membuat tulisan, gambar dan coretan pada Bendera RI perlu ditangani persuasif. Sebab, masyarakat awam, pejabat negara, birokrat, dan bahkan penegak hukum sendiri banyak yang belum paham tentang bendera negara, ukuran, bahan pembuatannya, tata cara penggunaannya dan larangan-larangannya.

“Bendera Negara RI sang saka merah putih itu, menurut UU, ukurannya pasti, yakni warna merah dan putih sama besarnya,” kata Yusril. “Lebar bendera adalah 2/3 ukuran panjangnya, bahannya terbuat dari kain yang tdk mudah luntur, ukurannya untuk keperluan-keperluan tertentu juga sudah diatur oleh UU.” Dengan demikian, tidak semua warna merah putih adalah otomatis adalah bendera negara RI.

Kain yang berwarna merah putih namun tidak memenuhi kreteria syarat-syarat untuk dapat disebut sebagai bendera RI, bukanlah bendera RI. “Ambillah contoh, kaleng susu manis bekas yang bagian atasnya dicat merah dan bagian bawahnya dicat putih, kaleng merah putih itu bukanlah bendera negara RI,” Yusril mencontohkan.

“Warna merah putih seperti di kaleng susu bekas itu paling tinggi hanyalah “merepresentasikan” bendera RI, namun samasekali bukan bendera RI. Semua ketentuan itu diatur dalam Pasal 4 UU No 24 Tahun 2009,” sebutnya.

Selanjutnya Pasal 24 UU No 24 Tahun 2009 itu memuat larangan antara lain larangan merusak, merobek, menginjak-injak, membakar atau melakukan perbuatan lain dengan maksud untuk “menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara”.

“Mereka yang melanggar larangan ini diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah,” sebut Yusril.

Dia juga memaparkan, larangan juga dilakukan terhadap setiap orang untuk “mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apa pun pada Bendera Negara”.

Terhadap mereka yang melakukan apa yang dilarang ini diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahu atau denda paling banyak seratus juta rupiah.

Dari rumusan delik pidana UU No 24 Tahun 2009 ini, jelas terlihat bahwa terhadap mereka yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar atau melakukan perbuatan lain yang dilarang undang-undang ini haruslah ada unsur kesengajaan dan niat jahat untuk menodai, menghina atau merendahkan kehormatan bendera negara.

“Jadi mereka yang tidak sengaja dan tidak mempunyai niat untuk menodai, menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara, tidaklah dapat dipidana karena perbuatannya itu,” jelas Yusril.

Dia menambahkan, lain halnya terhadap mereka yang mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 huruf c undang-undang ini, unsur kesengajaan dan niat untuk menodai atau merendahkan martabat bendera negara itu tidak perlu ada.

“Jadi siapa saja yang melakukannya, sengaja maupun tidak sengaja, ada niat untuk menodai, menghina dan merendahkan atau tidak, perbuatan itu sudah dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama setahun atau denda paling banyak seratus juta rupiah,” kata Yusril.

Yusril Juga Sentil Tebang Pilih

Ancaman pidana paling lama setahun terhadap pelanggaran Pasal 67 huruf c di atas, menunjukkan tindak pidana ini tergolong sebagai tindak pidana ringan.

“Karena itu, saya berpendapat penegakan hukum atas pasal ini hendaknya dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan cara yang bijaksana, jangan dilaksanakan dengan tergesa-gesa,” ungkap Yusril.

“Apalagi penegakannya dilakukan tebang pilih terhadap mereka-mereka yang tidak disukai dan berseberangan dengan pemerintah.”

“Sementara yang lain, yang melakukan perbuatan yang sama, tidak diambil langkah penegakan hukum apa pun,” ungkap dia.

“Mengapa saya katakan penerapan Pasal 67 huruf c itu, katakanlah terhadap seseorang yang menulis huruf-huruf atau angka, harus dilakukan secara bijak?”

“Sebabnya adalah sebagian besar warga masyarakat belum mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan dapat dipidana,” bebernya.

“Ketidaktahuan itu juga ada di kalangan pejabat birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat penegak hukum sendiri.”

“Coba saja search di internet, niscaya adanya tulisan pada bendera negara itu akan kita dapati dalam jumlah sangat banyak,” sebut Yusril.

“Saya ingat jauh sebelum adanya UU No 24 Tahun 2009, adanya tulisan-tulisan pada bendera negara kita tatkala umat Islam dari negara kita menunaikan ibadah haji.”

“Biasanya bendera itu dikibarkan oleh ketua rombongan agar jemaah tidak tersesat dan terpisah dari rombongan,” imbuh Yusril.

“Sekarang pun hal itu masih terjadi, saya pernah memberitahu ketua sebuah rombongan umroh bahwa menulis sesuatu pada bendera itu dilarang undang-undang dan dapat dihukum, merekapun terkejut dan mengatakan sama sekali tidak mengetahui hal itu,” tulisnya. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry