Bupati Trenggalek, Emil Dardak ziarah di makam Ki Ageng Menak Sopal.

CERITA Menak Sopal mempunyai banyak versi, maka tim berusaha menggabungkan cerita itu. Sehingga mudah untuk dipergunakan sebagai sumber dalam penelitian sejarah Trenggalek.

Menurut keterangan Ichwan Supardi BA almarhum (anggota tim), cerita Menak Sopal ini mempunyai dua versi, yakni versi barat dan versi timur.

Dan sumber cerita ini diambil dari Sarni Wiryodiharjo, mantan Kepala Penerangan, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek, dan sumber lain berasal dari Soepingi almarhum mantan Kepala Desa Ngantru Kecamatan/Kabupaten Trenggalek.

Berawal, penyebaran agama Islam secara intensif sejak zaman para wali yang didukung oleh kerajaan Kesultanan Demak. Penyebaran Agama Islam di Trenggalek dilakukan secara halus dan hati-hati.

Sampai saat ini, belum ditemukan dokumen tertulis yang menyebutkan tentang penyebaran agama Islam di Trenggalek. Hanya ditemukan cerita rakyat yang sangat terkenal serta diceritakan secara lisan dan turun temurun utamanya tentang tokok Menak Sopal.

Sedangkan untuk menyusun sejarah lokal, maka cerita rakyat atau dongeng (folk-lore) tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Memang harus dipisahkan antara sejarah dan cerita rakyat atau dongeng banyak versi tentang cerita Menak Sopal.

Tetapi pada dasarnya, isinya tetap sama. Dan biasanya cerita semacam ini dihubungkan dengan nama-nama serta tempat dimana cerita itu berkembang.

Menurut Sahibul Hikayat, ada seorang yang berasal dari Mataram yang bertugas mengatur daerah di timur Ponorogo yang sekarang disebut daerah Trenggalek atau bisa disingkat Ki Ageng Galek. Sering kalau kita bicara tentang Mataram, selalu dihubungkan dengan Kerajaan Mataram Islam.

Sedangkan yang dimaksud dengan Mataram dalam cerita Menak Sopal ini tidak demikian, sebab Mataram yang dimaksud di sini adalah Mataram wilayah milik Majapahit.

Hal ini dibuktikan dari kitab negara Kertagama Pupuh VI bait 3 yang menyebutkan antara lain ‘Haji Raja ratw Ing Mataram Iwir Yang Kumara nurun,’ Artinya raja di Mataram, laksana Dewa Kumara datang di bumi.

Penulis pada pernyataan yang terdahulu menyebutkan, bahwa Mataram dicerita ini adalah Mataram pada zaman Majapahit. Sebab dalam cerita itu dinyatakan bahwa Ki Ageng Nggalek ditugasi memelihara seorang putri dari Majapahit yang bernama Amiswati atau Amisayu.

Pada saat itu, kaki putri yang berpenyakit luka-luka dan berbau amis atau busuk. Ki Ageng Galek merasa bingung dalam melaksanakan tugas ini. Sebab semua obat telah dipergunakan, namun penyakitnya tidak kunjung sembuh.

Saking bingungnya, kemudian Dewi Amisayu disuruh mandi di sungai Bagongan yang sekarang terletak di Kelurahan Ngantru, Trenggalek. Karena merasa malu dan sedih, maka Putri Amisayu mengucap sayembara. Bahwa siapa saja yang dapat menyembuhkan luka-lukanya, bila wanita akan dianggap saudara dan bila pria akan dijadikan suaminya.

Berita itu rupaya terdengar oleh raja dari seluruh buaya yang berkulit putih bernama Menak Sraba dan bertahta di Lubuk atau Kedung Bagongan.

Kata buaya mengandung lambang bahaya. Sedangkan putih adalah lambang kesucian atau kesucian dari agama. Sedangkan kata Menak biasa dipakai oleh golongan priyayi atau pejabat pada zaman Islam utamanya dari suku Sunda yaitu golongan bangsawan. Atau ingat cerita Menak Jayeng Rana, Menak Jengga, Menak Koncar, mereka ini lahir sesudah Mataram menjadi kerajaan Islam.

Jadi Menak Sraba adalah pimpinan umat Islam disekitar Trenggalek. Sedangkan Kedung atau Lubuk artinya dalam. Jadi Menak Sraba yang berasal dari Kedung berarti pimpinan umat Islam yang berasal dari pedalaman.

Menak Sraba yang berwujud buaya putih berubah menjadi manusia dan berwajah tampan juga rendah diri. Hal ini tampak didalam cerita itu, ketika Menak Sraba mengobati luka-luka Dewi Amisayu dengan cara menjilati luka dikaki Sang Dewi.

Menak Sraba akhirnya berhasil menyembuhkan Dewi Amisayu. Berkat tindakan itu, Ki Ageng Galek mau menerima Menak Sraba sebagai anggota keluarganya dan mengawinkannya dengan Dewi Amisayu.

Bersambung

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry