SEMARANG | duta.co – Klinik Utama PMI Kota Semarang hari ini, Minggu (17/9/2023) diresmikan. Selain memberikan pelayanan kesehatan dengan biaya lebih murah, juga siap menggandeng BPJS untuk menjangkau pasien secara lebih luas.
Menurut Ketua PMI Kota Semarang, Dr. dr. Awal Prasetyo, THT-KL, MKes, naiknya status dari Klinik Pratama ke Klinik sebagai usaha hilirisasi stok produk pengolahan darah.
Ia katakan sebagaimana saran Dinkes Kota Semarang dan BPJS agar klinik PMI tidak hanya memberikan pelayanan transfusi darah. Namun lebih dari itu, pasien juga bisa mendapatkan berbagai pelayanan kesehatan yang berkualitas.
“Nanti kalau perlu juga memberikan obat kemostatik, mendukung kesehatan giginya, rehabilitasi mediknya, fisioterapi. Jadi intinya di area spesialisasi itu (hematologi onkologi),”” kata Awal seusai meresmikan klinik.
Oleh sebab itu, selain menggandeng Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKI) Semarang, pihaknya juga melakukan penjajakan dengan BPJS Kesehatan.
“Oleh karena itu kami mengadakan acara diskusi untuk menjajaki peluang pembiayaan kegiatan kegiatan klinik utama ini melalui JKN dengan menghadirkan direktur BPJS, dokter Lily,” ujarnya.
Terkait pembiayaan, Awal menegaskan peran PMI membantu kemanusiaan, sehingga persoalan itu bisa ditekan jika tanpa jaminan kesehatan dari pemerintah.
“Jadi tentu saja teman-teman tahu bahwa PMI adalah organisasi sosial kemanusiaan. Jadi yang pertama kali ditolong adalah manusianya, biayanya nanti bisa dipikul bareng,” ujarnya.
“Kalau di kota Semarang yang sudah Universal Health Coverage (UHC BPJS,-red), maka tentu saja ! program) itu bisa dimanfaatkan. Tetapi kalaupun terpaksa belum memiliki dukungan itu (BPJS), kita upayakan biaya itu tetap lebih ekonomislah walaupun tetap profesional,” sambungnya.
Sebagai informasi, Klinik Utama diresmikan bertepatan pada momen Hari Ulang Tahun (HUT) Palang Merah Indonesia ke-78, Hadir dalam kesempatan itu sejumlah tokoh kesehatan, salah satunya Kepala Dinkes Kota Semarang, dr. M. Abdul Hakam.
Saat dikonfirmasi, Hakam menyatakan mendukung hadirnya Klinik Utama PMI Kota Semarang yang menjadikan pelayanan unggulan pada darah.
“Nah, ini adalah temen-temen dari PMI membuka klinik utama khusus untuk hematologi onkologi di kasus-kasus kelainan darah dan kanker,” ucapnya.
Ketua Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Jateng ini menilai, sudah semestinya kota-kota besar memiliki klinik yang mampu memberikan pelayanan kasus kelainan darah, terlebih 40 persen pasien kelainan darah di kota Semarang berasal dari luar kota.
“Seharusnya kota-kota besar seperti kota Semarang ini harus memiliki hal tersebut. Sehingga harapannya nanti (pasien) tidak numpuk di rumah sakit,” paparnya.
Dokter yang pernah nyantri di PP Futuhiyyah Mranggen Demak ini berharap klinik utama PMI bisa terus berkembang, baik dari sisi kelengkapan peralatan lain yang mendukung maupun sumber daya manusia.
“Harapannya nanti antrian yang di rumah sakit nanti bisa terurai, apalagi layanannya kan juga cukup singkat ya kalau di sini (Klinik Utama PMI),” ungkapnya.
Hakam menambahkan, pihaknya juga mendorong agar PMI tidak hanya bergerak di donor darah, terlebih ada bulan dana PMI yang bisa menjadi salah satu dukungan untuk merealisasikan perkembangan pelayanan di klinik.
“Pastinya klinik utama ini bisa jadi kekhususan tadi, klinik yang khusus kanker dan kelainan darah, klinik ginjal terus klinik apalagi misalnya, kita dorong mas,” ucapnya.
Sebelum peresmian, PMI menggelar dialog tentang pelayanan hematologi onkologi (kasus kelainan darah) di aula lt 4 gedung UDD PMI Kota Semarang. Usai dialog, dilakukan penandatanganan kesepahaman bersama (MoU) dengan Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKI) Semarang.
Pada kesempatan itu, Shofa (21) seorang penderita thalasemia asal Boja Kendal ikut hadir. Ia mengungkapkan, dirinya menderita thalasemia sejak usia 3 tahun dan harus rutin melakukan transfusi (tambah) darah rumah sakit. Namun sejak 10 tahun lalu pindah di klinik PMI Kota Semarang yang lebih murah dan tidak banyak antrian.
“Sejak tahun 2010 mulai transfusi (nambah) darah di klinik PMI Kota Semarang,” ungkapnya.
Ia melakukan transfusi darah di klinik PMI Kota Semarang secara mandiri dengan nominal sekitar Rp500 ribu untuk sekali transfusi darah. Hal itu karena dirinya tidak bisa melakukan aktivasi BPJS Kesehatan dari pemerintah.
“Pake biaya sendiri, ya sekitar lima ratus ribuan,” jawabnya.
Sementara, Ketua Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKI) Semarang Koordinator Jawa Tengah, Dr. dr. Eko Adi Pangarsa, Sp.PD, KHOM, dalam paparannya mengaku kasihan terhadap pasien thalasemia karena minimnya akses pengetahuan tentang penyakit tersebut.
Selain itu, juga keterbatasan akses obat dan pengobatan karena tidak semua bisa ditampung oleh rumah sakit. Sehingga perawatan pasien terpaksa dikembalikan kepada keluarga.
“Tidak semua pasien thalasemia ini bisa terakomodir di rumah sakit,” ujarnya.
Selanjutnya, salah satu direktur BPJS, dr Lily Kresnowati, MKes menyebut ada lebih dari 50 persen kabupaten/kota di Indonesia yang telah menerapkan Universal Health Coverage (UHC). Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang tercepat menerapkan UHC BPJS.
“Pemerintah berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh warganya. Kalau Pemdanya sudah UHC bisa langsung diaktifkan,” katanya. (Rif)