
“Keluarga muslim dalam konteks ini sangatlah berperan penting dalam menjaga keunggulan negara tanpa perlu diperdebatkan tingkat statistikalnya.”
Oleh Suparto Wijoyo*
SAYA menjelajah Lamongan yang kini populer dengan sebutan LA untuk bersilaturahim ke orang tua. Bersama handai taulan maupun para kerabat di pedesaan. Juga berlanjut membersamai areal Jawi Kulon untuk acara Idul Fitri 1 Syawal 1446 H, saya berkumpul keluarga, kolega dan para akademisi di Bandung. Alias saya kumpul dengan Urang Sunda asli yang kerap disingkat USA. Ngariung mungpulung, tumplek blek, kumpul bareng. Kini kuhantarkan kenangan perjalanan lebaran ini untuk pembaca Taddabur. Wilujeng Boboran Shiyam, 1 Syawal 1446 H. Hapunten Lahir Tumekaning Batin. Itulah ungkapan tulus yang kuhantar untuk seluruh keluarga dan handai taulan di Tatar Sunda.
Ungkapan yang mengintisari dalam lantun Taqabbalallahu Minna wa Minkum, Shiyamana wa Shiyamakum, Kullu’aamiin wa Antum Bikhair, Minal Aidin wal Faidzin. Inilah langgam cinta yang berkelambu tauhid pada periodesasi “orang-orang beriman” terpanggil berpuasa dalam mongso Ramadan 1446 H. Syawal adalah panen raya kemenangan dengan kurikulum Shalat Ied berjamaah di lapangan maupun di masjidmasjid. Berbagai titik koordinat kota-kota seluruh dunia terpendarkan manusia yang menyujudkan diri dalam jalan syahadah sambil melafalkan takbir, tahmid dan tahlil. Gemahnya mengkristal dalam hati yang akan terus direngkuh dan dirindukan sehingga setiap muslim yang berkesadaran Illahiyah pasti memohon, berdoa untuk dapat dipertemukan kembali dengan Ramadan tahun berikutnya.
Puncak kegemilangan puasa Ramadan itu ditandai dengan 1 Syawal yang menghadirkan Hari Raya, Hari Kemenangan, Idulfitri yang mampu menggerakkan para manusia yang berkebutuhan mencari asal-muasalnya, tertuntun menapaki jejak kampung halaman. Tanah kelahiran dirunut kembali sebagai bentuk tanda keberadaan manusia yang menggedor rimba sosial melalui revolusi laku yang disebut mudik. Berpuluh tahun saya senantiasa samina wa athona, mendengar dan mentaati panggilan untuk pulang ke kampung di mana “darah jabang bayi” tumpah untuk menyapa ruang kehidupan di semesta. Mulai dari mudik ke desa perabadan pertama di bangunkan untukku, hingga ke Bumi Parahyangan, tempat istri menyemai hidup.
Menjelajah dalam “gembala mudik” dari Jawa Timur menyusuri Pantura hingga Jawa Barat dan kembali melalui “liuk jalanan” Pantai Selatan Jawa adalah kelumrahan yang selama ini kami lalui nan syukuri. Iring-iringan kendaraan anggota keluarga tentu merupakan panggilan tradisi yang senantiasa terukir dalam sukma bahwa “betapa pentingnya” rumah tangga dipahami sebagai madrasah yang darinyalah seluruh luaran aktivitas bermula. Negara inipun sejatinya terbangun dari keluarga-keluarga. Untuk itulah kebaikan sebuah negara sejatinya tercermin dari keluarga besar kita semua. Dengan kesadaran inilah maka terdapat fenomena yang amat membanggakan selama ini, yaitu sumbangsih keluarga muslim dalam “menyebarkan lebaran” melalui temu keluarga besar yang dihelat pada acara halal-bi halal maupun “temu rindu” generasi yang sangat geneologis.
Keluarga muslim dalam konteks ini sangatlah berperan penting dalam menjaga keunggulan negara tanpa perlu diperdebatkan tingkat statistikalnya. Ini adalah pandom sosial yang sudah lumrah dalam sebuah komunitas yang muslim adalah mayoritas, meski dirasa, terkadang “inilah mayoritas untuk di negeri ini yang justru kerap mengalami ritme politik polemik, dalam bentuk yang pembaca silahkan “berimajinasi sendiri”. Pada ruang lebaran inilah kami ayunkan langkah beranjang sana bersilaturahmi sini untuk ketemu para akademisi maupun aktivis, kaum pergerakan, seniman, dan tokoh-tokoh masyarakat Sunda. Langkah ini bukan saja untuk membincang soal orde peradaban dan kebudayaan maupun politik sebagaimana diajarkan dalam perangkat ayat-ayat suci Alquran dan sirah nabawiyah, tetapi juga mendengar langsung tentang agenda harmonisasi Jawa-Sunda yang telah dipancangkan oleh para kepala daerah kedua wilayah.
Ingatannya tentu tertuju kepada Gubernur Jawa Timur di tahun 2018 saat membuka tetenger nama Jalan Majapahit di Kota Bandung (Pakde Karwo) dan Gubernur Jawa Barat (Kang Aher) yang juga disambut dengan Jalan Pajajaran serta Jalan Siliwangi di Kota Surabaya. Ini ingatan untuk meneguhkan kebangsaan sejati antara Jawa-Sunda melalui persaksian Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku “panjer budaya” Jawa sewaktu membulatkan tekad untuk “membasuh luka, menebus dosa, memancangkan paseduluran” Jawa-Sunda tanpa sakit hati lagi. Kala itu tahunnya 2018 dalam rentang tarikh hijriyah 1439 H.
Sedemikian penting hal ini diramu sebagai oleh-oleh berlebaran kumpul sama kaum USA. Kaum yang secara leksikal budaya tetap saja apabila hendak ke Surabaya berbilang ke Jawa. Padahal Bandung secara geografis dan geopolitik nasional adalah Jawa. Jawa Barat. Ini tidak lepas dengan cakrawala budaya nan mensejarah. Ada anggitananggitan historis yang nisbi bisa menjadi abadi. Kisahnya seperti drama yang amat heroik, dengan bumbu-bumbu ketakjuban serta harga diri yang dilengkingkan. Pada titik ini saya menyelaminya penuh hayat seperti membaca buku Tales of The Marverios sebuah Hikayat Arabia Abad Pertengahan: Cerita-cerita Manakjubkan yang Baru Diketemukan. Ceritanya sendiri diterjemahkan pertama kali dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Malcolm C. Lyons (2014). Dan selalu yang menakjubkan itu bermuatan keanehankeanehan (al-hikayat al-‘ajibah wal-akhbar al-gharibah). Ikuti ulasan akhir Edisi Taddabur sambil menikmati ketupat lontong dan opor ayam lebaran Ketupat 7 Syawal 1446 H. Barokallah.
*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum, CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.