Oleh:Suparto Wijoyo*
INI bukan upacara larung samudera yang diarak dengan semarak, bahkan kadang-kadang sambil berjingkrak meski hal itu tak pernah dilakukan pengkhidmat lautan. Titik air di perairan utara Tanjung Karawang, Jawa Barat, itu sekarang sedang menggelombangkan pesan-pesan yang tidak mudah untuk dipahami, karena lautan tetaplah sebagaimana mestinya: berselimut misteri. Tragedi terjatuhnya Lion Air JT 610 Senin pagi, 29 Oktober 2018, dalam rute penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang itu telah “menghantarkan seluruh penumpangnya” untuk memenuhi takdirnya. Pasti tanpa pemberitahuan sebelumnya. Kabar duka terhadap penumpang Lion Air JT 610 itu mengangkasa yang bersahutan untuk selanjutnya menukik secara dramatik ke lautan. Kini pekabaran yang semula dari darat seperiringan tinggal landasnya pesawat yang hendak “menjejakkan tapak dalam kelembutan udara” pada akhirnya tertelungkup di “damainya” Tanjung Karawang.
Pencarian terus dilakukan oleh otoritas negara. Areal jelajahnya bergeser ke arah yang menjauhi asal mula tempat kejadian. Lebih dari 10 mil laut pencarian tengah diarungi oleh setiap organ negara yang bertupoksi mencari sosok korban. Sosok-sosok yang pasrah dalam dekapan “pamungkas riwayat hidupnya” menuju kesempurnaan diri. Ketahuilah bahwa kehidupan saat ini merupakan detik-detik menuju kematian sebagai gerbang kesempurnaan hidup. Saudara-saudara kita yang terpangil melalui “pentas penerbangan” Lion Air JT 610 tempo hari itu, sesungguhnya menggapai kesempurnaan yang menyemesta lebih dari yang dicanangkan. Hujan tangis dan ekspresi sedih yang mendalam niscaya disorongkan demi kemuliaan anggota keluarga atau handai taulan yang menjadi korban. Sungguh semua itu ada pesan “suratan Tuhan” yang mesti ‘dianggitkan’ agar derita memiliki ruang pendar guna menyulam kekuatan jiwa raga.
Setiap yang bernyawa akan menemui ajalnya. Demikianlah kitab suci memberikan panduan bahwa kehidupan bukanlah segmen yang terputus dari lakon masa depannya. Kematian merupakan gerbang menuju panduan kehidupan yang amat panjang tanpa kesudahan. Itulah keabadian yang dipungut dari duka. Untuk itulah bela sungkawa disampaikan dengan iringan doa kebaikan bagi kisah berikutnya. Kisah yang beralih ke lautan hingga menjadi medium yang sangat mampu merahasiakan beragam organisme yang merentangkan diri dalam haribaannya. Setiap semilir angin maupun derai ombak akan selalu berwicara bersama debur dingin airnya yang memiliki sejuta cerita. Lautan sanggup menampung apa saja yang menimpanya. Laut memiliki ‘kejembaran’ hati dalam menerima apapun yang menyapanya, sukarela ataupun terpaksa. Kapal-kapal layar dan perahu-perahu nelayan adalah secuil sahabatnya yang dengan senang hati menjalin kebersamaan bersama air yang mengalir. Tetapi kapal terbang bukanlah “kawan dekat” lautan, karena dia adalah milik udara.
Tanjung Kerawang hari-hari ini menjadi saksi betapa lautan jauh lebih dalam dari perkiraan dan jauh lebih luas dari apa yang sudah terbentangkan. Pesawat terbang tidak berdaya hingga tampak pasrah dalam gelombangnya. Tidakkah udara kerap mengabarkan sebelumnya dalam cengkerama yang mutlak ada dengan bahasa yang saling dimengerti melalui komitmen kosmologisnya. Kaum manusia ini sangat lemah “mengadu kuat dengannya”, apalagi dibandingkan dengan kedahsyatan lautan dan keluasan angkasa. Dalam spektrum kehidupan yang naturalis tetap saja manusia tidak lebih besar dari debu yang kerap hinggap di mata. Inilah hantaran agar manusia mampu mendengarkan semua suara lirih angkasa maupun serak lautan serta detak jantung bumi.
Lautan menjadi saksi yang paling sejati bersama dengan para nelayan yang setia mengawal ke arah mana gelombang mempantaikan jiwanya. Setiap gulungan ombak bagi nelayan adalah sumber kehidupan yang menguraikan sejumlah ayat-ayat Tuhan. Hati-hatilah dalam bertindak dan teruslah bermesraan dengan sesama makhluk yang engkau saling menempelkan sejarahnya. Nelayan telah menyaksikan atas apa yang terjadi. Kisah jatuhnya Lion Air JT 610 pun membuka rubrik baru cerita keluarga nelayan. Bukan hanya semilir angin dan debur ombak lautan yang sudah kerap menjadi omongan konvensianalnya dalam kerumun keluarga sesaat mereka mendarat. Tetapi kali ini nelayan di lautan Karawang memiliki rekam jejak penceritaan baru mengenai “jerit tangis kegemparan” yang membawa maut.
Bisa terjadi bahwa lautan bukan penyebab kematian karena lautan pada saatnya hanyalah memandikan seluruh benda yang hendak beristirahat di pangkuannya. Kisahnya tentu bukan hanya kesedihan tetapi juga pengharapan yang meski diceritakan dalam narasi yang memuat kecemasan, karena laut memiliki aroma bahaya yang senantiasa mengancam. Sulaman deritanya nyaris sepercikan dengan kisah para istri nelayan yang terungkap dalam novel Pecheur d’Islande alias Nelayan di Lautan Utara karya Pierre Loti tahun 1886, saat dia berumur 36 tahun. Novel yang diterjemahkan dengan apik oleh ahlinya, Sutan Takdir Alisjahbana di tahun 1932.
Rasa duka yang bermula dari udara itu mendekapkan gigil dingin air lautan dan pada saat itulah legenda akan tersimpan amat rapat untuk kemudian kehidupan akan normal kembali dalam telisik ikhtiar. Nelayan yang hari ini mengisahkan mayat yang berserak di wilayahnya, esok akan mengisahkan “jamaah ikan” untuk ditangkapnya. Riuhnya pencarian menyebabkan ikan di tepian pantai sedikit santai karena nelayan pun manusia yang harus bebelasungkawa atas nestapa sesamanya. Dalam lingkup ini saya teringat kembali membaca kisah Santiago yang lebih miris jika dicap sebagai seorang nelayan yang sudah tak mampu lagi menangkap ikan yang membayang dari novel The Old Man and The Sea, karya Ernest Hemingway (1899-1961) yang amat kesohor itu. Untaikanlah doa untuk mereka semua agar mulia dalam jejak hidup berikutnya. Alfatihah.
* Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga