Agus Wahyudi, S.Sos., M.Pd – Dosen PGSD, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dalam beberapa waktu ini, melihat anak kecil usia SD sedang membawa mainan berupa dua bola kecil plastik yang diikat tali. Mainan yang kini populer dengan sebutan lato-lato itu sebenarnya bukan baru pertama saya lihat dan mungkin sebagian orang juga pernah melihat dan memainkannya.

Dulu sekitar 1980-an, saat masih sekolah dasar, setahu saya tidak ada nama atau sebutan khusus. Mungkin kita hanya menyebut bola tektok saja. Saya pernah mencoba, tetapi sama sekali tidak terbilang cakap atau mahir menggunakannya. Melihat mainan pada tangan anak tersebut saya tersenyum.

Senang mengetahui lato-lato yang dulu tidak pernah saya pikirkan apa kemanfaatannya ini muncul lagi. Mungkin karena dia membawa sepercik kenangan masa silam. Senang mengetahui lato-lato yang dulu tidak pernah saya pikirkan apa kemanfaatannya ini muncul lagi.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Di luar perkiraan, ternyata beberapa hari kemudian lato-lato menjelma mainan paling viral seantero negeri. Dalam waktu singkat, nyaris semua anak ingin punya lato-lato.

Bahkan, putra kami yang aktivis mahasiswa sekalipun membeli lato-lato dan kini akrab di tangannya. Dunia seolah begitu lato-lato saat ini. Jika saya berjalan ke halaman, akan terdengar anak tetangga memainkan dua bola itu dari kediamannya.

Saat di kendaraan, makin ramai pedagang mendadak yang menjual lato-lato dengan lapak kecil di atas motor, sepanjang kanan dan kiri jalan. Entah mengapa, saya justru bahagia melihatnya.

Karena akhirnya ada mainan sungguhan, bukan app bukan digital, yang bisa membuat anak-anak bergerak meninggalkan gawai. Walau sejenak, bocah sampai mahasiswa setidaknya teralihkan dengan ponsel atau iPad mereka.

Walau sejenak, bocah sampai mahasiswa setidaknya teralihkan dengan ponsel atau iPad mereka. Sayangnya, ketika kemudian makin viral dimainkan di mana-mana, mulai ada yang menyebarkan berita betapa berbahayanya lato-lato. Lalu menguraikan sejumlah penjelasan bahwa mainan tersebut dilarang sebab dianggap berbahaya di beberapa negara.

Tentu saja akhirnya lato-lato menuai kontroversi. Orang tua yang awalnya mendukung mulai melarang anak-anaknya. Beberapa pemerintah daerah atau sekolah lalu berpikir untuk melarang permainan ini.

Bunyinya dianggap mengganggu dan ada potensi bahaya bagi sekeliling atau yang memainkan jika dimainkan tanpa kesadaran baik akan ruang dan waktu.

Uniknya, tentang bunyi yang mengganggu, justru ada pasangan menikah yang menggantikan suara petasan dengan lato-lato. Ketika kedua mempelai lewat, anak-anak berbondong-bondong bersuka ria memainkan lato-lato dengan kecepatan tinggi hingga membuat bola beradu atas dan bawah. Terlihat semua bahagia.

Saat ini terlalu banyak orang tua yang mengeluhkan betapa anak-anak tidak bisa melepaskan perhatian mereka sekejap pun dari gawai. */bersambung

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry