Oleh : M. Shoim Anwar, sastrawan dosen Universitas Adi Buana Surabaya
Berita beredar bahwa Paskibraka yang bertugas pada upacara hari kemerdekaan di IKN harus melepas jilbab. MUI, melalui KHM. Kholil Nafis, menyatakan larangan mengenakan jilbab itu “tak Pancasilais” (mui.or.id , 14 Agustus 2024). Sebelumnya, santer diberitakan pula bahwa dalam rangka pelayanan kesehatan reproduksi pemerintah melakukan “penyediaan alat kontrasepsi” secara cuma-cuma untuk para pelajar dan remaja sesuai PP No. 28 Tahun 2024, Pasal 103 Ayat 4 huruf (e) yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi. MUI dan PBNU sangat mengkhawatirkan keputusan ini ditafsirkan sebagai melegalkan hubungan seks di luar nikah.
Kedua berita tersebut sangat mengusik kehidupan beragama di tanah air. Ini bukan urusan personal, tapi terkait institusi negara. Kita tidak yakin pelajar yang sehari-hari mengenakan jilbab saat bersekolah tiba-tiba melepas jilbab saat jadi anggota Paskibraka di IKN. Ternyata benar, telah dibuat aturan oleh Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai penanggung jawab, supaya wanita yang bertugas sebagai Paskibraka tidak mengenakan jilbab. Surat Edaran Deputi Diklat No. 1 Tahun 2024, poin 10 huruf b menyatakan Sikap Tampang Paskibraka “Rambut dicukur rapi dan tidak diwarnai, dengan ukuran rambut bagi Paskibraka putra dengan perbandingan 3:2:1 dalam sentimeter dan bagi Paskibraka putri 1 (satu) sentimeter di atas kerah baju bagian belakang.”
Petugas Paskibraka di IKN harus melepaskan jilbab telah didesain dalam peraturan tahun 2024. Ini bukan sikap sukarela, tapi dikondisikan atas nama peraturan. Lembaga yang menyusun pasti tidak paham dengan konsep Bhineka Tunggal Ika dan manivestasi Pasal 29 UUD 1945. Mengenakan jilbab bagi Paskibraka, seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada masalah, tidak ada yang berkeberatan. Di satu sisi pelajar diharapkan dapat tumbuh sebagai generasi yang bertaqwa, berprestasi, dan berjiwa nasionalisme, di sisi lain justru digembosi dengan pandangan sekuler yang disusupkan lewat peraturan.
Masalah jilbab pernah ramai saat Orde Baru. Setelah reformasi, jilbab tidak lagi dipermasalahkan, bahkan wanita anggota TNI dan Polri juga banyak yang mengenakan jilbab. Artinya, insitusi yang terkait langsung dengan keamanan negara memandang jilbab sebagai hak warga negara dan tidak melanggar aturan. Jika BPIP membuat aturan yang tidak memberi ruang anggota Paskibraka untuk mengenakan jilbab, atas dasar apa itu dilakukan? Kepala BPIP Yudian Wahyudi pada keterangan pers tertulis (14 Agustus 2024) menyatakan bahwa anggota Paskibraka yang melepas jilbab adalah “kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada.” Peryataan ini bertentangan secara logika. Hukum atau peraturan itu bersifat mengikat, memaksa orang untuk mematuhi. Bahwa melepas jilbab dinyatakan “suka rela” pasti tidak benar, tapi karena dipaksa oleh aturan, karena tidak ada pengecualian dalam bunyi aturannya.
Yudian menyatakan bahwa Paskibraka putri melepas jilbab hanya “saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran Sang Merah Putih pada upacara kenegaraan saja.” Pernyataan ini sangat pragmatis, upaca kenegaraan dibenturkan dengan praktik mengenakan jilbab. Pelaksanaan keyakinan beragama dinilai seperti mengenakan pakaian yang bisa dilepas dan diganti sesuai situasi. Sudah sepatutnya jika Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KHM Kholil Nafis, menyatakan bahwa pelarangan mengenakan jilbab bagi wanita Paskibraka adalah “bentuk kebijakan yang tak Pancasilais” (mui.or.id , 14 Agustus 2024). Ini bukan “kebijakan”, melainkan “ketidakbijakan”.
Jika aturan anggota Paskibraka tidak diperbolehkan mengenakan jilbab, mengapa tidak disosialisasikan dan ditegaskan saat seleksi di tingkat daerah? Mengapa aturan itu diterapkan saat mereka sudah terpilih secara final dan berada di IKN? Jika aturan itu ditegaskan saat seleksi di tingkat daerah, pasti banyak yang menentang juga. Pembuat aturan tidak memiliki sensitivitas secara sosiologis. Lembaga yang dinyatakan sebagai “pembina” justru gagal dalam menerapkan konsep kebinekaan dalam bernegara. Oleh karena itu, surat edaran atau aturan apa pun yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi (Pancasila dan UDD 1945) tidak boleh diberlakukan di negeri ini.
pemberian alat kontrasepsi kepada remaja dan pelajar juga tidak sentitif terhadap tafsir sosiologis. Pertanyaan paling mudah, untuk apa alat kontrasepsi itu diberikan? Meski diberikan dengan aturan tertentu, tafsir yang muncul adalah “kamu kalau (terpaksa) melakukan hubungan seksual, pakailah alat ini.” Logika ini akan berlaku seperti tentara diberi persenjataan, petani diberi cangkul, pencari ikan diberi kail, pemburu diberi panah, dst. Alat akan digunakan sesuai fungsinya. Sementara aturan hukum menyatakan dilarang melakukan perbuatan seksual di luar nikah.
Memberi kontrasepsi kepada remaja dan pelajar sebelum menikah adalah cara berfikir fungsional, bahkan pragmatik. Sangat sulit mengontrol penggunaan alat kontrasepsi setelah diberikan. Aturan seharusnya adalah mencegah secara keras, dengan berbagai sanksi, untuk tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah. Menyikapi hal ini tidak boleh secara abu-abu, apalagi ada kesan ditoleransi. Kita tahu tidak mudah mengontrol kehidupan remaja atau pelajar, apalagi yang terkait privasi, tapi solusi untuk itu tidak boleh bersikap mendua.
Tampaknya, setelah reformasi berjalan selama 26 tahun, kita mengalami banyak masalah dalam urusan sikap bernegara. Penegakan hukum dan etika menjadi masalah yang paling krusial. Hampir semua masalah di negeri ini bertolak dari dua hal tersebut. Sementara dalam waktu yang lebih pendek, 21 tahun lagi kita menuju Indonesia Emas. Krisis teladan terjadi secara masif sehingga dikhawatirkan sikap pesimisme masyarakat terbentuk.
Kebinekaan adalah fakta dalam kehidupan bernegara. Siapa pun harus menerima kenyataan ini. Kebinekaan tidak boleh diperas dengan tafsir yang sempit. Perjalanan sejarah kita sudah menguji, sekaligus memberi peringatan, bahwa pemaksaan terhadap tafsir kebinekaan yang bersifat politis justru merugikan. Kita harus kembali pada hakikat kultural kehidupan yang memang beragam. (*)