“Sudah saatnya pengelola pesantren bangun dari tidurnya. Pesantren sejak dulu adalah “memerdekakan” dan “memberdayakan”, bukan “memperdayakan” apalagi menjinakkan.”

Oleh: D. H Anis Masykhur, SAg, MA

KURIKULUM adalah jantung pendidikan. Begitulah jargon yang popular di dunia Pendidikan. Sebab pendidikan tanpa kurikulum, adalah sia-sia, karena ketidakjelasan tujuan akhirnya.

Satu bulan lalu, Mendikbud Ristek meresmikan pemberlakuan kurikulum merdeka yang akan dijadikan acuan pokok dalam penyelenggaraan pembelajaran dan pendidikan nasional ke depan.

Sejak era reformasi, setidaknya ada empat nomenklatur kurikulum yang digunakan, yaitu; Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013 (K13), dan Kurikulum Merdeka.

Jika dicermati secara filosofis, sebenarnya antara satu kurikulum dengan lainnya, bukanlah saling menafikan namun malah saling menyempurnakan. Kurikulum Merdeka menjadi titik kulminasi kurikulum pasca reformasi.

Mengapa Kurikulum Merdeka?

Secara umum, keberadaan kurikulum pada dasarnya menghantarkan peserta didik untuk memiliki kompetensi tertentu, yang dalam bahasa pendidikan dibagi ke dalam 4 (empat) kompetensi yakni spiritual, sosial, dan kepribadian. Proses pendidikan ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mendapati dirinya.

Dan kurikulum merdeka sangat menekankan aspek pemanusiaan manusia (humanis) dalam proses pendidikannya. Maka dari itu, konsep dasar kurikulum selalu didesain dengan keharusan berpusat pada peserta didik, adaptif dan kontekstual. Itulah prinsip pokok mengenai kurikulum yang dituangkan dalam pelbagai dokumen kebijakan pendidikan. Kurikulum didesain mengantarkan peserta didik untuk menemukan jati dirinya sebagai manusia (insan kamil) setelah menempuh proses pendidikannya.

Jika dicermati lebih jeli, penetapan kurikulum merdeka juga seakan menjadi “kritik” atas penyelenggaraan pendidikan formal yang dirasa belum dapat mengantarkan peserta didik sebagai “orang merdeka”.

Selama ini—seolah—peserta didik dianggap “terpenjara” dalam “ruang sempit” ilmu pengetahuan yang dipelajarinya, dan menganggap bahwa dunia hanya dapat “ditundukkan” dengan ilmu yang dipelajarinya.

Salah satu contohnya—barangkali—penyelenggaraan pendidikan vokasi yang serasa “memenjarakan” pola pikir dan sikap peserta didik agar mengandalkan ilmunya untuk mengakses pekerjaan di sektor formal. Contoh lain sejenis adalah aktivitas “pemujaan” terhadap sains dan teknologi yang dipandang sebagai satu-satunya ilmu yang paling prospektif. Tentunya, gejala ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat terhadap bidang ilmu yang dipilihnya ketika putra-putrinya hendak melanjutkan studinya.

Kurikulum Merdeka membawa pesan bahwa spirit pokok Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus diperkuat kembali. Dengan kurikulum tersebut, diharapkan muncul karakter “pembelajar” sehingga pendidikan formal akan dirasakan memerdekakan dan membebaskan.

Pesantren itu Sudah ‘Merdeka’

Jika mencermati model pendidikan pesantren dan selanjutnya dibandingkan dengan kurikulum merdeka, model kurikulum pendidikan pesantren betul-betul telah mengimplementasikan “kurikulum merdeka” sejak lama dan juga membawa perubahan signifikan terhadap eksistensi dan orientasinya.

Singkat kata, kemerdekaan pembelajaran pesantren bisa dilihat dari pendekatan dan sistem pembelajarannya serta pola interaksinya antara guru dan murid.

Metode pembelajaran merupakan contoh riil sisi kemerdekaan tersebut. Sebagai contoh adalah bahwa dalam khazanah pendidikan pesantren hingga saat ini dikenal istilah model bandongan, sorogan, wetonan dan lainnya.

Pada saat Belanda memperkenalkan model pembelajaran metode klassikal dan private (yang dianggap modern), justru pesantren tidak menganggap penting metode tersebut, meski tidak meninggalkannya sama sekali.

Para kiai dan pendidik pesantren lebih mengedepankan penggunaan metode “menyorog” dibanding metode klassikal. Dalam metode “sorogan”, ustadz mengedepankan kompetensi peserta didik, sedang klasikal lebih dominan menonjolkan proses transformasi ilmu dari pendidik ke peserta didik.

Metode sorogan juga sekaligus menjadi instrumen ‘keren’ dalam pelaksanaan evaluasi kompetensi santri. Model pembelajaran yang mirip dengan “sorogan” ini adalah metode private.

Namun, sejatinya berbeda secara paradigma. Jika dalam sorogan itu berbasis kompetensi, dalam privat berbasis transformasi informasi atau pengetahuan. Sehingga, peran pendidik dalam privat tersebut terlihat lebih dominan.

Nah, proses pembelajaran di pesantren tersebut sebenarnya adalah metode pendidikan yang sangat modern jika dilihat dari perspektif Pendidikan modern, atau lebih merdeka jika ditinjau perspektif pendidikan pembebasan. Bagaimana seorang santri, dituntut untuk mengukur kemampuannya sendiri terlebih dahulu sebelum disetor/disorog/dilaporkan kepada kiai/ustadz. “Pendidikan berbasis kemampuan [kompetensi]” begitulah istilah dulu, atau “Pendidikan yang memerdekakan” istilah pada kurikulum merdeka.

Begitu pula pada metode bandongan. Kemerdekaan santri terlihat pada kemampuan memilih kitab dan pengajar yang sesuai dengan keinginannya. Lalu dia akan masuk ke sebuah kelas, meski kelas barunya tersebut berbeda atau bahkan varian usia yang beraneka ragam. Inilah yang dikenal dengan konsep moving class (kelas bergerak) yang baru-baru diperkenalkan di era 70-an. Bayangkan pesantren sudah menjalankannya sedari dahulu.

Sorogan dan bandongan adalah improvisasi genuine para praktisi dan pengelola pendidikan pesantren dalam hal penguatan strategi pembelajaran. Entah sejak kapan metode ini ditemukan dan tidak dikenal siapa penemu metode ini pertama kalinya. Yang jelas, model yang demikian itu sudah mendarah daging di masyarakat pesantren.

Pendidikan Modern Yang Tidak Memerdekakan

​​​​​​​Era modern menjadi era yang diimpikan masyarakat, karena modern identik dengan kemajuan. Namun sayangnya tolok ukur kemajuan ini terjebak pada eksistensi kemajuan di bidang sain dan teknologi.

Mayarakat modern adalah masyarakat yang menghargai sains dan teknologi. Pendidikan modern adalah pendidikan yang penuh dengan infrastruktur dan aktifitas berbasis sains dan teknologi. Begitulah kira-kira padangan mayoritas masyarakat (bahkan juga pemerintah).

Bagaimana dengan pesantren? Jika pesantren kurang peduli dengan sains dan teknologi, apakah ia disebut tidak modern? Sudah barang tentu, pesantren tidak modern jika tolok ukurnya adalah ‘penghargaan terhadap sain dan teknologi.’ Padahal penghargaan terhadap dua sisi tersebut telah melahirkan banyak anomali di berbagai bidang, termasuk pendidikan.

Ketika sains dan teknologi menjadi “tuhan” baru, maka seluruh energi masyarakat tersedot untuk menggapai tujuan tersebut, termasuk di bidang pendidikan. Kebijakan pendidikan telah digiring menuju ke arah itu. Kemunculan berbagai nomenklatur institusi pendidikan seperti madrasah model, madrasah unggulan, madrasah terpadu dan lain sebagainya adalah bagian dari repons lembaga pendidikan agama atas ‘tuhan’ sain dan teknologi.

Semangat mengejar ketertinggalan saintek ini juga mewarnai UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Nomenklatur lembaga pendidikan seperti sekolah unggulan barangkali menjadi salah satu konsekuensi undang-undang tersebut. Sementara yang tidak bernuansa sains dan teknologi diabaikan.

Tentu kondisi demikian sangat menyedihkan. Hal yang lebih tragis lagi adalah terjadinya penurunan jumlah jam pelajaran (JTM) muatan filosofis-keilmuan seperti muatan agama atau filsafat. Mapel agama saja hanya dialokasikan sebanyak 2 (dua) jam, meski disebut (dalam regulasi) sebagai alokasi minimal.

Akhirnya madrasah (bahkan pesantren modern) mau tidak mau harus larut terbawa arus untuk mengikuti mainstream tersebut jika ingin menjadi lembaga pendidikan “favorit”. Pesantren menjadi kian “terpenjara”.

Penghargaan terhadap mata pelajaran yang tidak akrab dengan saintek menjadi begitu rendah. Sementara di sisi lain, “penuhanan” terhadap muatan bidang studi bernuansa saintek telah menyedot energi lembaga pendidikan modern walaupun berada di bawah pengelolaan pesantren. Pesantren mengalami disorientasi keilmuwan.

Sehingga urusan ‘ciri khas’ madrasah (bahkan pesantren) jadi terkesampingkan. Dalam hal penyelenggaraan pendidikan Islam modern seperti madrasah, definisi madrasah mengalami reduksi yakni menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan.

Di sisi lain, gejala makin maraknya penyelenggaraan bimbingan belajar (bimbel) atau menjamurnya lembaga-lembaga bimbel di luar pendidikan formal malah makin menegaskan bahwa fungsi lembaga pendidikan kian tergerus, menuju peran tanpa makna. Orientasi lembaga pendidikan bergeser dari lembaga pemberdayaan ke penjinakan, dan dari substansi ke nilai/angka (symbol). Sekali lagi, hak demikian meneguhkan ketidakmerdekaannya.

Sebagai kelanjutan regulasi dari sebuah peraturan perundang-undangan adalah adanya Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen). Kemunculan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (yang sudah mengalami revisi berkali-kali) meng-guidance lembaga pendidikan untuk lebih modern, dengan standar yang bersifat “materialism.”

Dengan kata lain lembaga-lembaga pendidikan yang tidak memenuhi standar yang ditentukan—seperti kelengkapan infrastruktur—akan terancam gulung tikar. Secara perlahan lembaga pendidikan Islam yang sebagian besar adalah hasil kreasi yang kental nilai lokalitasnya akan tergusur oleh konsep dari ‘luar.” Yang dikhawatirkan jika pemerintah menjadi agen penerjemahan modernism, yang tentunya merupakan imbas materialis-kapitalis. Padahal untuk belajar, infrastruktur bukanlah segalanya.

Perhatikan aspek lahiriah pelbagai lembaga pendidikan yang disebut bertaraf international atau unggulan. Konseptualisasi lembaga pendidikan jenis tersebut sarat dengan infrastruktur mewah dan megah mewarnainya. Dengan kelengkapan dan kemewahan tersebut serasa dijamin mendapatkan masa depan kehidupan cemerlang. Cara berpikir demikian, jelas tidak merdeka.

Dalam hemat penulis, itulah yang tercermin dalam sekolah atau madrasah yang dianggap “keren” oleh masyarakat. Maka, merespon kondisi yang seperti itu, perlulah reformulasi model penyelenggaraan pendidikan baik pada sekolah maupun madrasah agar para peserta didiknya mendapatkan kemerdekaannya.

Melalui tulisan ini, penulis ingin menggugah kesadaran penyelenggara model pendidikan tertua ini. Sudah saatnya pengelola pesantren bangun dari tidurnya. Pesantren sejak dulu adalah “memerdekakan” dan “memberdayakan”, bukan “memperdayakan” apalagi menjinakkan. Orang pesantren juga harus berjuang merumuskannya, sehingga konsep pendidikan pesantren ini dirujuk masyarakat. Wallahua’lam.(sumber kemenag.go.id)

Dr. H. Anis Masykhur, S.Ag, MA adalah Praktisi Pendidikan dan Pengasuh Pesantren, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Subdit Pendidikan Kesetaraan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry